SIMAK! Beda Pandangan Dua Pakar Terkait Cantelan Hukum Yang Digunakan Purnawirawan TNI Memakzulkan Gibran

- Kamis, 03 Juli 2025 | 20:10 WIB
SIMAK! Beda Pandangan Dua Pakar Terkait Cantelan Hukum Yang Digunakan Purnawirawan TNI Memakzulkan Gibran




NARASIBARU.COM - Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menanggapi isu pemakzulan Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka yang kembali mencuat setelah Forum Purnawirawan TNI berencana menggeruduk gedung MPR RI guna mempertanyakan desakannya yang tak jua mendapat respons.


Bivitri menilai tuntutan pemakzulan terhadap putra sulung Jokowi yang dilayangkan Purnawirawan TNi itu jelas.


Hal ini kata dia, berkaitan dengan referensi tuntutan dari pemakzulan ini sesuai dengan pasal 7A pasal 7B konstitusi.


“Kalau suratnya Purnawirawan itu jelas referensinya pasal 7A pasal 7B konstitusi soal pemakzulan. Sehingga mereka harus bahas,” kata Bivitri pada podcast bersama Abraham Samad di Channel Youtube pribadinya, dikutip pada Kamis (3/7/2025).


Ia kemudian menyinggung proses pencalonan Gibran yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan keadilan elektoral.


“Misalnya kapasitasnya Gibran itu sendiri, misalnya di karbit tuh soal umur. Belum lagi soal fufufafa,” jelasnya.


Pandangan lain datang dari pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dr. Yance Arizona.


Ia menerangkan, secara konstitusional, mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah diatur secara tegas dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Pasal tersebut menyebutkan bahwa pemakzulan hanya dimungkinkan apabila yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran hukum, antara lain berupa pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana korupsi, penyuapan, kejahatan berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.


Ketentuan ini menunjukkan bahwa prosedur pemakzulan tidak dapat ditempuh secara sewenang-wenang, melainkan harus melalui pembuktian hukum yang kuat dan berlandaskan ketentuan konstitusi.


“Kalau kita kaitkan dengan impeachment clauses itu yang ada di Pasal 7A, kita tidak melihat mana cantelan yang akan dipakai untuk memberhentikan Gibran sampai hari ini,” jelas Yance.


Lebih jauh, Yance menjelaskan bahwa MPR bukanlah lembaga yang memulai proses pemakzulan, melainkan institusi yang menjalankan keputusan akhir setelah tahapan-tahapan sebelumnya dilalui.


Menurutnya, pintu masuk proses pemakzulan terletak di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bukan MPR. 


DPR dapat menggunakan hak angket atau langsung mengajukan hak menyatakan pendapat jika terdapat dugaan bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sesuai dengan Pasal 7A.


Proses ini melibatkan berbagai lembaga negara dan menuntut adanya kehati-hatian dalam setiap tahapannya.


“Nanti kalau MK menyatakan terbukti, itu bisa menjadi dasar untuk MPR mengadakan sidang dan memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden,” jelasnya.


Kemudian dalam konteks kasus Wakil Presiden Gibran, muncul pertanyaan apakah dugaan pelanggaran etik atau manipulasi dalam proses pencalonannya dapat dimasukkan sebagai pelanggaran berat atau perbuatan tercela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A.


Yance mengurai, secara teoretis hal tersebut bisa dikaitkan ke dalam impeachment clauses, terutama jika terbukti terdapat intervensi kekuasaan dalam proses pencalonan.


Aspek ini membutuhkan penyelidikan hukum yang cermat untuk membuktikan adanya pelanggaran yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela atau penghilangan syarat konstitusional.


"Kalau memang Gibran atau orang tuanya, mantan Presiden Jokowi, terlibat dalam manipulasi proses persidangan MK atau di KPU, itu bisa dijadikan dasar untuk melihat ada manipulasi yang sudah terjadi dan sebenarnya Gibran tidak memenuhi syarat sebagai calon Wakil Presiden,” tegasnya.


Sumber: Fajar

Komentar