Waduh! Sekolah Swasta di Jawa Barat Terancam Bubar, Gegara Kebijakan Nyeleneh Gubernur Dedi Mulyadi?

- Senin, 07 Juli 2025 | 13:05 WIB
Waduh! Sekolah Swasta di Jawa Barat Terancam Bubar, Gegara Kebijakan Nyeleneh Gubernur Dedi Mulyadi?




NARASIBARU.COM - Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriawan Salim, menyebut kebijakan Gubernur Jawa Barat yang mengizinkan SMA/SMK negeri menampung hingga 50 siswa per kelas berpotensi mengancam keberlangsungan sekolah swasta.


Ia menilai, kebijakan tersebut dapat membuat sekolah swasta kekurangan siswa dan terancam gulung tikar.


"Sekolah SMA/SMK swasta berpotensi kekurangan murid bahkan bisa bubar jika kebijakan ini diterapkan Gubernur Jabar. Sebab murid akan bertumpuk terkonsentrasi di sekolah negeri. Tentu tidak akan menyelesaikan masalah anak putus sekolah," kata Satriawan dalam keterangannya, dikutip Senin (7/7/2025).


Gubernur Jawa Barat Dedi baru saja menerbitkan Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor: 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah pada Jenjang Pendidikan Menengah.


Dalam keputusan tersebut, Dedi memperbolehkan sekolah SMA/SMK negeri mengisi satu ruang kelas hingga maksimal 50 siswa.


P2G mengkhawatirkan efek domino dari kebijakan ini, yang tidak hanya berdampak pada sekolah swasta tetapi juga pada para guru yang bisa kehilangan pekerjaannya.


Sebelum kebijakan itu diberlakukan, P2G sudah menerima sejumlah laporan dari SMA/SMK swasta yang mengalami kekurangan siswa.


Satriawan mencontohkan, SMA Bhakti Putra Indonesia di Cisewu, Garut Selatan, hanya menerima 13 calon siswa pendaftar.


Sementara itu, SMA Pasundan di Kota Tasikmalaya hanya menerima 4 calon murid.


"Sebenarnya fakta bahwa SMA/SMK swasta di Jawa Barat sepi peminat sudah terjadi dalam lima tahun terakhir, tetapi malah diperparah oleh kebijakan Gubernur Jabar ini," tambahnya.


Menurut P2G, kebijakan Dedi hanya fokus menurunkan angka anak putus sekolah tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap keberlangsungan sekolah swasta.


Padahal, jumlah siswa dalam satu kelas sebenarnya telah diatur dalam Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 tentang Standar Pengelolaan, serta Keputusan Kepala BSKAP Nomor 071/H/M/2024 tentang Juknis Pembentukan Rombongan Belajar, yang menetapkan bahwa jumlah maksimal siswa SMA/MA/SMK/MAK per kelas adalah 36 orang.


P2G menilai, memaksakan satu ruang kelas diisi 50 siswa akan berdampak negatif terhadap proses belajar-mengajar dan merugikan baik guru maupun siswa.


Kondisi ruang kelas yang dirancang untuk 36 siswa akan menjadi pengap, suara guru tidak terdengar jelas, apalagi jika siswa berisik.


Ruang gerak siswa dan guru menjadi sempit, interaksi antar siswa terbatas, sarana dan prasarana tidak mencukupi, serta guru kesulitan mengontrol kelas, yang pada akhirnya membuat suasana belajar tidak kondusif.


P2G pun menawarkan sejumlah solusi. Dedi dapat menambah ruang kelas atau rombongan belajar di SMA/SMK negeri.


Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga bisa menambah unit sekolah baru (USB) dengan syarat mempertimbangkan keberadaan, sebaran, dan keberlanjutan sekolah swasta di sekitarnya.


Daripada memaksakan penambahan jumlah siswa per kelas di luar kapasitas, P2G mendesak Dedi untuk melibatkan sekolah swasta dalam Skema SPMB Bersama, guna menampung anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri karena keterbatasan kuota.


Selain itu, pemerintah dapat memperluas program beasiswa pendidikan, Kartu Indonesia Pintar (KIP), serta bantuan biaya pendidikan lainnya.


"Skema SPMB Bersama SMA/SMK Swasta ini adalah wujud spirit pelaksanaan makna pesan moral Keputusan MK Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang menekankan sekolah dasar gratis baik negeri maupun swasta," ujar Satriawan.


Sebelumnya, Dedi Mulyadi menyatakan bahwa kebijakan tersebut hanya berlaku untuk SMA/SMK negeri di beberapa wilayah di Jawa Barat.


Keputusan tersebut diambil sebagai solusi atas keterbatasan jumlah sekolah negeri di beberapa daerah, lantaran banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya di sekolah swasta.


Selain keterbatasan sekolah, jarak antara rumah siswa dan sekolah juga menjadi pertimbangan penting dalam kebijakan ini.


"Karena masih banyak siswa yang tidak kebagian tempat di sekolah negeri terdekat dari rumahnya," ucap Dedi.


Sumber: Suara

Komentar