Dharma Oratmangun, Sosok yang Wajibkan Kafe Bayar Royalti saat Putar Musik dan Suara Burung

- Rabu, 06 Agustus 2025 | 08:30 WIB
Dharma Oratmangun, Sosok yang Wajibkan Kafe Bayar Royalti saat Putar Musik dan Suara Burung


Nama Dharma Oratmangun mendadak menjadi pusat perbincangan hangat di kalangan anak muda, musisi, hingga para pemilik usaha.

Sebagai Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun adalah sosok sentral di balik penegakan aturan royalti untuk pemutaran musik di tempat-tempat komersial seperti kafe dan restoran.

Kebijakannya memicu pro dan kontra, terlebih setelah muncul pembahasan bahwa royalti bisa mencakup suara alam seperti kicauan burung yang telah direkam.

Lantas, siapakah sebenarnya Dharma Oratmangun? Mengapa kebijakannya begitu viral dan apa dasar hukum di balik aturan yang kini menjadi sorotan utama industri kreatif dan F&B ini? Mari kita kenali lebih dalam profil dan pemikirannya.

Profil Dharma Oratmangun: Dari Panggung Musik ke Kursi Ketua

Sebelum dikenal luas karena perannya di LMKN, Dharma Oratmangun telah memiliki rekam jejak panjang di industri musik Indonesia. Ia adalah seorang musisi dan penyanyi senior yang telah merasakan asam garam dunia musik tanah air.

Keaktifannya dalam memperjuangkan hak-hak musisi membawanya menjadi salah satu penggagas sekaligus Ketua Umum Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI).

Dengan pengalaman dan pemahamannya yang mendalam akan ekosistem musik, Dharma dipercaya untuk memimpin LMKN.

Lembaga ini memiliki mandat krusial berdasarkan undang-undang untuk menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti atas karya cipta lagu dan musik. Tujuannya adalah memastikan para pencipta lagu, penyanyi, dan produser menerima hak ekonomi yang adil atas karya mereka.

Mengapa Kebijakan Royalti Ini Menjadi Viral?

Polemik royalti musik sebenarnya bukan isu baru. Namun, gebrakan yang dilakukan LMKN di bawah kepemimpinan Dharma Oratmangun untuk menyosialisasikan dan menegakkan aturan ini secara lebih masif membuatnya kembali menjadi perhatian publik.

Pemicu utama kehebohan adalah cakupan royalti yang dianggap sangat luas. Banyak yang terkejut ketika mengetahui bahwa kewajiban membayar royalti tidak hanya berlaku untuk lagu-lagu hits dari band ternama. Perbincangan melebar hingga mencakup penggunaan suara-suara lain untuk kepentingan komersial, termasuk suara alam.

Dalam klarifikasinya, Dharma Oratmangun memberikan penjelasan yang kemudian banyak dikutip. "Burung berkicau itu kan suara alam, suara alam itu kan ciptaan Tuhan, tidak ada hak ciptanya. Tapi ketika suara alam itu direkam, kemudian dieksploitasi secara komersial, maka perekam itu punya hak terkait."

Pernyataan ini menegaskan bahwa fokusnya adalah pada "karya rekaman" yang memiliki hak terkait, bukan suara alam itu sendiri. Namun, simplifikasi di media sosial telanjur membuat isu ini viral dengan narasi "putar suara burung di kafe harus bayar royalti."

Langkah yang diambil Dharma Oratmangun dan LMKN memiliki landasan hukum yang kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Di dalamnya secara jelas tertulis bahwa setiap penggunaan karya cipta secara komersial untuk mendapatkan keuntungan ekonomi wajib memperoleh izin dan membayarkan royalti kepada pemegang hak cipta.

Argumen utama di balik kebijakan ini adalah keadilan. Selama bertahun-tahun, banyak karya musik telah menjadi "soundtrack" di berbagai ruang usaha, membantu membangun suasana dan menarik pelanggan, namun para kreator di baliknya seringkali tidak mendapatkan kompensasi finansial yang layak.

"Nah sekarang kalau dia putar suara burung atau suara apapun, itu ada hak dari produsen fonogramnya. Produsen yang merekam itu kan punya hak terkait. Hak terhadap materi rekaman itu, itu juga hak terkait dari bentuk rekaman audio itu,," tegas Dharma. LMKN bertugas memastikan siklus ini berjalan adil.

Meski bertujuan mulia, implementasi kebijakan ini menghadapi sejumlah tantangan. Para pelaku usaha, khususnya skala kecil dan menengah (UKM), merasa terbebani dengan adanya biaya tambahan. Banyak pemilik usaha yang merasa kurang mendapatkan informasi yang jelas mengenai tata cara dan perhitungan royalti.

Muncul pertanyaan apakah tarif royalti akan sama rata antara jaringan kafe besar dengan kedai kopi independen.

Selain itu, para musisi, terutama dari jalur independen, mempertanyakan jaminan bahwa royalti yang terkumpul akan sampai ke tangan mereka.

Sumber: suara
Foto: Ketua LMKN, Dharma Oratmangun dalam sebuah wawancara di kawasan Senayan, Jakarta, Jumat, 23 Mei 2025. [Suara.com/Adiyoga Priyambodo]

Komentar