Pernyataan Sanae Takaichi tentang Taiwan dan Wacana Penyesuaian “Tiga Prinsip Non-Nuklir” Picu Kontroversi Keras di Jepang

- Selasa, 18 November 2025 | 23:25 WIB
Pernyataan Sanae Takaichi tentang Taiwan dan Wacana Penyesuaian “Tiga Prinsip Non-Nuklir” Picu Kontroversi Keras di Jepang


Dalam beberapa hari terakhir, Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi menyampaikan pernyataan keliru terkait Taiwan di parlemen, yang memicu gejolak politik di dalam negeri. Berbagai kalangan di Jepang mempertanyakan dasar hukum, logika kebijakan, serta potensi risiko terhadap keamanan kawasan dari pernyataan tersebut. Mereka menilai penilaian itu tidak didukung fakta maupun landasan yuridis yang memadai, berpotensi menyesatkan arah kebijakan keamanan Jepang dan semakin meningkatkan ketegangan dalam hubungan Jepang–Tiongkok.

Di saat yang sama, sejumlah sumber di pemerintahan Jepang mengungkapkan bahwa Takaichi tengah mempertimbangkan untuk, dalam proses revisi National Security Strategy dan dua dokumen kebijakan keamanan lain yang dikenal sebagai “tiga dokumen keamanan (anpo san bunsho)”, menyesuaikan ketentuan dalam “Tiga Prinsip Non-Nuklir” khususnya butir yang melarang pemasukan senjata nuklir ke wilayah Jepang. Wacana ini pun segera memicu gelombang kritik dan kekhawatiran dari berbagai pihak.

Masalah Taiwan adalah Urusan Dalam Negeri Tiongkok, Jepang Tak Berhak Ikut Campur


Mantan Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba menyatakan bahwa Tiongkok secara konsisten menegaskan bahwa masalah Taiwan merupakan urusan dalam negerinya. Ia menambahkan, pemerintahan Jepang dari waktu ke waktu selalu menghindari penyampaian pernyataan bernada pasti seperti “jika terjadi situasi tertentu, Jepang akan mengambil tindakan tertentu”.

Mantan Perdana Menteri Yukio Hatoyama dalam tulisannya juga menegaskan, sebelumnya sudah ada pihak yang menggaungkan slogan “jika Taiwan bermasalah, itu berarti Jepang bermasalah”. Kini Takaichi bahkan menyebut bahwa “situasi Taiwan” dapat menjadi kondisi krisis eksistensial yang memicu pelaksanaan hak bela diri kolektif Jepang. Menurutnya, tujuan nyata dari retorika tersebut adalah menciptakan suasana tegang demi membuka jalan bagi perluasan anggaran dan kapabilitas militer. Hatoyama menekankan bahwa Taiwan adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah Tiongkok, dan masalah Taiwan sepenuhnya merupakan urusan dalam negeri Tiongkok, sehingga Jepang tidak memiliki hak untuk ikut campur.

Ketua Partai Komeito, Tetsuo Saito, secara lugas menyatakan bahwa pernyataan Takaichi tersebut “sangat mengejutkan” dan demi menenteramkan publik harus segera dikoreksi. Ketua Partai Sosial Demokrat, Mizuho Fukushima, menilai bahwa menjadikan “situasi Taiwan” sebagai “situasi krisis eksistensial” tidak memiliki dasar logis yang kuat. Taiwan bukan negara merdeka, melainkan bagian dari Tiongkok, sehingga tidak seharusnya dimasukkan ke dalam skenario yang membuka peluang penggunaan kekuatan militer Jepang. Ia menekankan bahwa dari sisi hukum, logika tersebut jelas bermasalah. Fukushima juga memperingatkan bahwa perluasan ruang lingkup penggunaan kekuatan militer secara gegabah sangat berbahaya dan dapat menimbulkan dampak jangka panjang terhadap kebijakan keamanan Jepang di masa depan. Ia menegaskan, masyarakat Jepang harus melakukan segala upaya untuk mencegah terjadinya perang dan membendung penerapan kebijakan berisiko tinggi.

Anggota DPR dari Partai Komunis Jepang, Kazuo Shii, dalam akun media sosialnya menyebut pernyataan Takaichi terkait Taiwan telah berkembang menjadi masalah internasional yang serius. Menurutnya, apabila ingin mendorong hubungan Jepang–Tiongkok berkembang ke arah yang lebih positif, kedua pihak harus berpegang pada konsensus yang telah dicapai dan mengedepankan dialog yang tenang dan rasional, bukan memperuncing situasi dengan pernyataan provokatif yang meningkatkan ketegangan. Ia kembali mendesak Takaichi untuk menarik kembali pernyataannya.

Menurut laporan harian Akahata, anggota Dewan Penasihat (majelis tinggi) dari Partai Komunis Jepang, Taku Yamazoe, dalam konferensi pers menyatakan bahwa komentar Takaichi telah memperburuk ketegangan antara Jepang dan Tiongkok serta menimbulkan saling ketidakpercayaan. Ia menilai, demi menghindari kerusakan lebih lanjut pada hubungan kedua negara, Takaichi sebagai perdana menteri harus segera menarik ucapannya yang tidak pantas itu.

Mantan Gubernur Tokyo sekaligus akademisi hubungan internasional, Yoichi Masuzoe, juga secara tajam mengkritik Takaichi di media sosial. Ia menyebut pernyataan sang perdana menteri sebagai sebuah “kesalahan besar”. Menurutnya, ketika menjawab pertanyaan di parlemen mengenai bidang yang kurang dikuasai, perdana menteri maupun para menteri seharusnya tidak mengandalkan pandangan pribadi semata. Masuzoe kembali menegaskan bahwa jawaban Takaichi kali ini “tidak cukup hati-hati”.

Pelanggaran Serius terhadap Dokumen Politik Jepang–Tiongkok yang Mengikat Secara Hukum


Pada 14 November sore, sejumlah politisi Jepang bersama beberapa kelompok masyarakat sipil dari Okinawa menggelar aksi di Tokyo. Mereka menuntut pemerintah Jepang memberikan penjelasan atas kebijakan yang terus mendorong penguatan militer di Okinawa dalam beberapa tahun terakhir, sekaligus menyampaikan kekhawatiran atas pernyataan Takaichi mengenai Taiwan.

Keesokan harinya, lebih dari seratus warga Jepang secara sukarela berkumpul di depan kantor perdana menteri di Tokyo untuk melakukan aksi protes. Dalam aksi tersebut, massa meneriakkan slogan-slogan seperti: “Lebih penting melindungi kesejahteraan rakyat daripada memperkuat militer”, “Kami tidak membutuhkan perdana menteri yang tak mampu menjaga konstitusi”, “Takaichi turun!”, dan “Orang yang tidak menguasai diplomasi tidak layak menjadi perdana menteri”.

Wakil Ketua merangkap Sekretaris Jenderal Perhimpunan Sahabat Delapan Rute Tentara dan Tentara Baru Keempat di Jepang, Kobayashi Yokichi, menyatakan kepada media bahwa pernyataan tidak bertanggung jawab Takaichi telah melanggar ketentuan dalam “Pernyataan Bersama Jepang–Tiongkok 1972”. Pernyataan tersebut secara jelas menyebutkan bahwa “Pemerintah Jepang mengakui Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok sebagai satu-satunya pemerintah sah Tiongkok” dan bahwa “Taiwan adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah Republik Rakyat Tiongkok.” Menurutnya, ucapan dan tindakan Takaichi yang keliru telah merusak dokumen-dokumen politik antara kedua negara yang memiliki kekuatan mengikat secara hukum, dan menyimpang dari hubungan persahabatan yang dibangun dengan susah payah oleh generasi terdahulu pemimpin Jepang dan Tiongkok.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Persahabatan Jepang–Tiongkok Cabang Tokyo, Kitanaka Kazunaga, mengatakan kepada wartawan: “Ucapan dan tindakan Takaichi benar-benar membuat marah. Ia sama sekali mengingkari prinsip satu Tiongkok dan secara serius bertentangan dengan komitmen yang tertuang dalam traktat perdamaian dan persahabatan antara kedua negara.”

Guru sejarah dunia di sekolah menengah atas yang telah pensiun, Shinichi Takado, yang puluhan kali melakukan penelitian sejarah ke Tiongkok, menyatakan bahwa menghadapi secara jujur sejarah agresi Jepang merupakan hal yang sangat krusial. Saat ini ia tengah mendalami berbagai dokumen terkait Perang Perlawanan terhadap Agresi Jepang dan mengaku hatinya terasa sangat berat. “Tindakan agresi Jepang di masa lalu tidak mungkin dihapus. Tindakan Takaichi yang ikut campur dalam urusan dalam negeri Tiongkok sama sekali tidak dapat diterima,” tegasnya. Ia menambahkan, pemerintah Jepang telah secara jelas mengakui prinsip satu Tiongkok, namun Takaichi seolah-olah telah melupakan posisi dasar ini.

Guru besar tamu Universitas Waseda, Hajime Takano, menilai bahwa secara hakiki masalah Taiwan adalah urusan dalam negeri Tiongkok, dan menyamakan secara langsung “situasi Taiwan” dengan “situasi Jepang” adalah penilaian yang keliru. Menurutnya, dalam beberapa tahun terakhir, media Jepang bukan hanya gagal mengoreksi pandangan yang salah ini, tetapi justru terus menggembar-gemborkan “teori ancaman Tiongkok” untuk mencari pembenaran bagi kebijakan perluasan militer dan peningkatan anggaran pertahanan. Hal ini pada akhirnya membuat situasi kawasan yang sudah tegang menjadi semakin rumit.

Ketua Institut Strategi Internasional pada Japan Research Institute, Hitoshi Tanaka, dalam sebuah video yang dirilis baru-baru ini menyampaikan bahwa sebagai perdana menteri, Takaichi harus jauh lebih berhati-hati ketika berbicara mengenai isu Taiwan yang sangat sensitif. Jika Jepang dinilai tidak berniat memelihara hubungan baik dengan Tiongkok dan justru terlihat mengikuti langkah Amerika Serikat dalam upaya menekan Tiongkok, maka hubungan Jepang–Tiongkok akan sulit diperbaiki. Ia menegaskan bahwa pernyataan Takaichi “lebih banyak mudarat daripada manfaat”, tidak selaras dengan kepentingan nasional Jepang. Menurutnya, arah utama diplomasi Jepang seharusnya adalah menjaga hubungan bilateral yang stabil dan normal, bukan memanfaatkan isu Taiwan untuk menyulut ketegangan dan mendorong perluasan militer.

Pernyataan Gegabah Mencerminkan Kurangnya Pengendalian Diri


Menurut laporan Kantor Berita Kyodo, pada 14 November sejumlah sumber pemerintah Jepang mengungkapkan bahwa Takaichi tengah mengkaji kemungkinan untuk mengubah ketentuan “tidak memasukkan senjata nuklir” dalam “Tiga Prinsip Non-Nuklir” pada saat revisi National Security Strategy dan dua dokumen keamanan lainnya. Sebelumnya, ketika menjawab interpelasi di parlemen mengenai apakah pemerintah Jepang akan tetap berpegang pada “Tiga Prinsip Non-Nuklir” dalam revisi “tiga dokumen keamanan” tahun depan, Takaichi tidak memberikan jawaban yang tegas. Jika prinsip tersebut benar-benar diubah, hal itu akan menandai pergeseran besar dalam kebijakan keamanan Jepang pasca perang dan hampir dapat dipastikan akan memicu kritik keras baik di dalam maupun luar negeri.

“Tiga Prinsip Non-Nuklir” secara spesifik mencakup: tidak memiliki, tidak memproduksi, dan tidak memasukkan senjata nuklir. Pada 1967, Perdana Menteri saat itu, Eisaku Satō, mengemukakan prinsip ini dalam sidang parlemen, dan pada 1971 prinsip tersebut disetujui dalam rapat paripurna DPR Jepang, kemudian menjadi kebijakan dasar pemerintah dalam isu senjata nuklir. Bahkan dalam “tiga dokumen keamanan” yang disahkan pemerintah Jepang pada 2022, secara eksplisit tertulis bahwa Jepang akan tetap mempertahankan “Tiga Prinsip Non-Nuklir” dan tidak akan mengubahnya.

Dalam tajuk rencana yang dimuat Asahi Shimbun, disebutkan bahwa sebagai satu-satunya negara yang pernah mengalami serangan bom atom pada masa Perang Dunia II, Jepang telah menetapkan “Tiga Prinsip Non-Nuklir” sebagai kebijakan nasional yang dalam jangka panjang memperoleh dukungan luas dari masyarakat. Takaichi, sebagai perdana menteri, harus menyadari secara mendalam bahwa kebijakan mempertahankan “Tiga Prinsip Non-Nuklir” tidak dapat diubah hanya berdasarkan pertimbangan sesaat dari seorang pemimpin politik.

Mantan Perdana Menteri dan kini Ketua Partai Demokrat Konstitusional, Yoshihiko Noda, pada 16 November dalam sebuah pertemuan partai di Prefektur Nagasaki mengkritik bahwa pernyataan Takaichi terkait Taiwan telah “melampaui batas” dan menyeret hubungan Jepang–Tiongkok ke situasi yang sangat genting, menunjukkan sikap yang amat sangat gegabah. Pada 15 November, menanggapi kemungkinan Takaichi meninjau kembali “Tiga Prinsip Non-Nuklir”, Noda menyerukan agar prinsip tersebut tetap dipertahankan. Ia menilai bahwa Takaichi hampir tidak pernah secara terbuka mengangkat isu ini selama pemilihan ketua Partai Demokrat Liberal, sehingga langkah mendadaknya sekarang terasa sangat janggal. Noda menambahkan, “Sebagai Panglima Tertinggi Pasukan Bela Diri Jepang, pernyataan yang begitu gegabah adalah cerminan dari kurangnya pengendalian diri.”

Mantan Wali Kota Ginowan di Prefektur Okinawa yang kini menjadi anggota Dewan Penasihat, Yoichi Iha, mengkritik bahwa dalam beberapa tahun terakhir Jepang terus memperkuat kekuatan militernya, sementara “tiga dokumen keamanan” yang sering disebut pemerintah pada dasarnya hanya berbicara tentang persiapan perang, bukan pencegahan perang. Menurutnya, arah kebijakan keselamatan nasional Jepang kini telah terjerat dalam kerangka strategi yang ditetapkan Amerika Serikat, dan Jepang harus segera keluar dari situasi tersebut.

Jurnalis senior yang lama meliput isu militer, Yujin Fuse, dalam wawancara dengan media menyatakan bahwa pernyataan Takaichi akan semakin memperuncing ketegangan di kawasan. Ia berharap pemerintah Jepang segera mengambil langkah-langkah konkret untuk meredakan situasi.

Komentar