'Konsekuensi Jokowi Sang Machiavellis Sejati'
Oleh: Irfan Wahidi
Di atas panggung kekuasaan, tak semua aktor tampil dengan jubah kesatria. Sebagian datang dengan wajah polos dan tutur lembut, namun menyembunyikan skenario besar untuk menguasai panggung sepenuhnya.
Jokowi, pria yang memulai karier politiknya dari Solo dengan baju kotak-kotak dan janji kesederhanaan, lambat laun menjelma menjadi tokoh sentral dalam politik Indonesia yang penuh intrik.
Seiring waktu, semakin tampak bahwa yang bersangkutan bukan sekadar “rakyat biasa” yang naik takhta, melainkan seorang Machiavellis sejati yang tahu cara merawat dan memperluas kekuasaan dengan segala cara—legal maupun manipulatif.
Jokowi dan Machiavelli: Cermin yang Saling Memantulkan
Niccolò Machiavelli dalam Il Principe (Sang Pangeran) menulis, “It is better to be feared than loved, if you cannot be both.”
Kalimat ini seolah merasuki setiap langkah politik Jokowi di periode kedua pemerintahannya, terutama ketika mulai menggiring konstitusi, memaksa penyesuaian hukum, meminggirkan oposisi, serta menempatkan anggota keluarganya ke dalam struktur kekuasaan nasional dan daerah.
Dalam logika Machiavellistik, kekuasaan tak boleh diserahkan pada angin takdir; ia harus dikendalikan, dijinakkan, bahkan dibungkam bila perlu.
Dan Jokowi melakukannya dengan sangat efektif: dari penguasaan parlemen, kooptasi KPK, pembiaran politisasi hukum, hingga ‘mengawinkan’ kekuasaan dengan dinasti.
Seakan seluruh alat negara hanya punya satu tujuan: memastikan warisan politik Jokowi langgeng—walau dengan mengorbankan roh reformasi dan nilai-nilai demokrasi.
Namun sejarah kekuasaan tak berhenti di masa jaya. Ia selalu bergerak, dan ketika poros kekuasaan bergeser, mereka yang terlalu nyaman di puncak akan merasakan dinginnya angin pertanggungjawaban.
Seorang Machiavellis yang kehilangan kekuasaan tidak pernah pensiun dalam damai. Yang tersisa biasanya hanya paranoia, pengadilan, dan stigma sejarah.
Konsekuensi yang Mengintai: Dari Napoleon Hingga Marcos
Sejarah penuh dengan tokoh-tokoh kuat yang seperti Jokowi, berhasil menundukkan sistem, tapi gagal melampaui masa pensiunnya dengan kehormatan.
Napoleon Bonaparte yang menguasai hampir seluruh Eropa, akhirnya dibuang ke Pulau Saint Helena.
Ferdinand Marcos yang membangun dinasti dan memanipulasi hukum Filipina, akhirnya diusir dan mati di pengasingan.
Bahkan Suharto, diktator terlama Indonesia, akhirnya tumbang dan menghadapi tekanan hukum serta kemarahan publik yang tak kunjung padam.
Jika jejak langkah Jokowi terus mengikuti pola yang sama—mengamankan kekuasaan dengan cara-cara non-demokratis dan memperkuat dinasti politik keluarga—maka potensi konsekuensinya sangat nyata dan bahkan mungkin tak terhindarkan. Berikut beberapa di antaranya:
1. Pengadilan dan Pengasingan Politik
Setelah lengser, tak ada jaminan Jokowi akan tetap terlindungi. Jika kekuasaan bergeser kepada kekuatan yang benar-benar ingin mengembalikan marwah konstitusi, maka semua manuver politiknya—dari nepotisme hingga dugaan penyalahgunaan kekuasaan—bisa menjadi bahan gugatan.
Dalam situasi itu, Jokowi bukan lagi “Presiden RI ke-7”, tapi hanya warga negara biasa yang bisa dipanggil ke meja hijau.
2. Kehilangan Kekayaan dan Status Sosial
Banyak penguasa jatuh yang akhirnya harus melepas semua kemewahan semu yang mereka kumpulkan.
Jika terdapat indikasi bahwa akumulasi kekayaan selama pemerintahan Jokowi tidak sesuai dengan profil penghasilan yang sah, maka penyitaan aset dan pelucutan hak istimewa bukan sesuatu yang mustahil.
Bahkan status sosial yang selama ini dibangun lewat pencitraan bisa luruh di hadapan amarah rakyat.
3. Ancaman Keselamatan dan Keamanan Pribadi
Penguasa yang memerintah dengan meminggirkan lawan, membungkam kritik, dan melanggengkan ketidakadilan biasanya akan dikejar oleh gelombang pembalasan. Bukan hanya dari elite politik, tapi juga dari rakyat yang merasa dikhianati.
Hidup dalam penjagaan ketat, selalu curiga, dan tak pernah benar-benar bebas adalah harga yang mungkin harus dibayar.
4. Reputasi yang Rusak dan Warisan Buruk
Seorang pemimpin bisa dikenang karena membangun bangsa, atau karena menghancurkan harapan rakyat.
Ketika buku sejarah ditulis oleh generasi mendatang, Jokowi mungkin tidak akan dikenang sebagai “presiden rakyat” seperti narasi awalnya, melainkan sebagai tokoh yang membuka jalan bagi kemunduran demokrasi, politik dinasti, dan kehancuran independensi institusi negara.
5. Gelombang Pembalasan Dendam Politik
Musuh-musuh politik yang kini terpinggirkan bisa saja bangkit kembali dengan membawa agenda balas dendam.
Bahkan jika Jokowi sendiri luput, keluarganya mungkin akan menjadi sasaran serangan politik balik, termasuk yang telah ia tempatkan dalam posisi strategis: Gibran di kursi RI-2, Bobby sebagai calon gubernur, hingga Kaesang sebagai ketua partai.
Penutup: Sejarah Tidak Pernah Lupa
Jokowi bisa saja merasa bahwa ia berhasil mengunci semua pintu risiko dengan kecerdikannya. Namun sejarah bukanlah ruang yang bisa ditutup rapat-rapat.
Ia menyimpan, merekam, dan suatu saat akan membuka kembali semua luka yang ditinggalkan oleh para pemimpin yang lebih memilih takhta daripada kebenaran.
Kekuasaan bisa menipu rakyat untuk sementara waktu. Tapi begitu masa berakhir, konsekuensinya tak bisa ditawar.
Dan ketika sejarah menilai Jokowi, ia tak akan bertanya seberapa banyak jalan yang dibangun atau gedung yang didirikan, tapi seberapa besar kepercayaan rakyat yang telah dikhianati.
Apakah konsekuensi itu akan datang kepada Jokowi? Wallahu a’lam. Tapi sejarah tak pernah lupa. ***
Artikel Terkait
Anak Buah Hercules Meradang Gara-Gara Ucapan Sahroni, Sekjen GRIB Beri Sindiran Menohok: Anda Preman Berkedok DPR
Viral! Mobil Dinas Bappenda Bogor Palsukan Plat Nomor, Kena Tilang Polisi
Dedi Mulyadi Disebut Jokowi Jilid 2, Beri Pesan Menohok ke Buzzer
Sosok Ini Pernah Teliti Tiga Ijazah Fakultas Kehutanan UGM 1985, Ijazah Jokowi Disebut Tak Identik dengan Dua Lainnya