'Sedikit Demi Sedikit, Kotak Pandora Jokowi Mulai Terbuka'
Oleh: Irfan Wahidi
Pada awal masa kekuasaannya, Joko Widodo tampil seperti harapan yang keluar paling akhir dari kotak Pandora.
Ia dielu-elukan sebagai anak rakyat yang naik ke puncak kekuasaan berbekal kesederhanaan, kesantunan, dan kerja nyata.
Tapi seperti kisah dalam mitologi Yunani itu, euforia itu pelan-pelan memudar.
Satu per satu, kejanggalan, penyimpangan, dan ambisi kekuasaan yang tersembunyi mulai keluar dari kotaknya.
Dan sekarang, sedikit demi sedikit, kotak Pandora Jokowi mulai terbuka.
Tak ada yang menyangka, bahwa di balik senyum ramah dan gaya blusukan yang merakyat, tersimpan naluri kekuasaan yang tak kalah tajam dari politisi kawakan.
Dimulai dari pengangkatan anak dan menantu ke posisi strategis, publik mulai melihat Jokowi bukan sekadar pemimpin teknokrat, melainkan juga kepala klan politik baru.
Dinasti yang dibentuknya bukan sekadar soal garis darah, melainkan soal penempatan loyalitas di atas meritokrasi.
Pesta Demokrasi yang Didesain
Kotak Pandora itu semakin terbuka ketika publik menyaksikan bagaimana Pilpres 2024 disusun sedemikian rupa.
Mahkamah Konstitusi, lembaga yang seharusnya berdiri sebagai benteng konstitusi, justru menjadi alat pembuka jalan politik bagi putra sulung Jokowi.
Putusan kontroversial yang memberi karpet merah bagi Gibran untuk mendampingi Prabowo Subianto bukan hanya mencoreng wibawa hukum, tapi juga memperlihatkan betapa kekuasaan bisa mengatur tafsir konstitusi sesuai selera.
Semua tampak begitu mulus, hingga publik terperangah melihat demokrasi berubah menjadi dagelan.
Proses pemilu yang seharusnya menjadi instrumen kedaulatan rakyat justru menjadi instrumen reproduksi kekuasaan keluarga. Kotak Pandora Jokowi pun semakin terbuka lebar.
Birokrasi sebagai Alat Kekuasaan
Tak berhenti di situ. Birokrasi yang dulu dibersihkan dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), kini menjadi alat pelestari kekuasaan.
Penempatan komisaris BUMN kepada para pendukung, loyalis, hingga relawan adalah bentuk politik balas budi yang mengakar.
Belum lagi proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dibungkus dengan retorika modernitas, tetapi menyimpan aroma ambisi pribadi dan pencitraan warisan kekuasaan.
Dana triliunan rupiah digelontorkan ke Kalimantan sementara daerah lain menghadapi kelangkaan pangan, kesenjangan pendidikan, dan kerusakan lingkungan. Jokowi seolah mewarisi kebiasaan Orde Baru: membangun tugu-tugu, bukan manusia.
Dukungan yang Membungkam Kritik
Yang lebih menyakitkan adalah bagaimana Jokowi mereduksi makna partisipasi politik menjadi sekadar loyalitas.
Elite partai dirangkul, oposisi dikooptasi, dan kritik dimatikan lewat pendekatan keamanan.
Ketika masyarakat sipil bersuara, mereka dicap sebagai pembenci negara. Ketika mahasiswa turun ke jalan, mereka dijawab dengan gas air mata, bukan dialog.
Padahal Jokowi pernah menjadi simbol perubahan. Tapi kini, perubahan itu melenceng jauh dari harapan rakyat.
Alih-alih memperkuat demokrasi, ia justru mempermainkannya.
Harapan di Dasar Kotak
Namun, seperti kisah Pandora, satu hal tetap tersisa: harapan. Harapan bahwa rakyat tak akan lupa.
Harapan bahwa sejarah akan mencatat siapa yang benar-benar bekerja untuk bangsa, dan siapa yang bekerja untuk diri dan keluarganya.
Harapan bahwa pemimpin berikutnya belajar dari kekeliruan ini dan tidak akan membuka kotak yang sama.
Kotak Pandora Jokowi memang belum terbuka sepenuhnya. Tapi isi di dalamnya mulai menampakkan wajah.
Dan rakyat mulai menyadari: bahwa harapan tak bisa disandarkan pada satu orang.
Ia harus diperjuangkan bersama-sama, agar kotak yang sama tak kembali dibuka oleh generasi berikutnya.
Artikel Terkait
Baru Jabat 7 Bulan, Pujian Gibran Wapres Terbaik Terlalu Dini
Rismon Sianipar Sebut Identik Bukan Otentik, Roy Suryo Tertawa Dengar Penjelasan Bareskrim
Ijazah Simalakama dan Stigma Pembohong
VIRAL Kesaksian Dokter Spesialis di MK: Saya Dipecat Karena Menkes Tersinggung Tulisan Saya