Bila Akal Sehat Bicara: 'Gibran Sangat Layak Dimakzulkan!'
Oleh: Ali Syarief
Akal sehat memang tidak berisik. Ia tidak memaki-maki di jalanan, tidak mencaci di media sosial, dan tak mengibarkan spanduk.
Tapi akal sehat adalah suara paling jernih dari nurani publik. Ia tahu kapan harus bersuara. Dan hari ini, ia berkata: “Gibran layak dimakzulkan.”
Pernyataan itu mungkin terdengar keras. Tapi tidak emosional.
Justru ia lahir dari pengamatan yang tenang atas serangkaian peristiwa politik yang secara terang-benderang melanggar etika, hukum, dan akal sehat publik.
Kita ingat betul bagaimana jalan menuju kursi wakil presiden itu dibuka dengan membelokkan konstitusi. Bukan oleh kekuatan rakyat, tapi oleh kekuatan keluarga.
Mahkamah Konstitusi mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden bukan karena kebutuhan bangsa, tapi demi satu orang yang kebetulan keponakan Presiden.
Di saat itulah demokrasi Indonesia kehilangan salah satu prinsip utamanya: fairness.
Akal sehat mana yang bisa menerima bahwa seorang kepala negara membiarkan iparnya, yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi, memutus perkara yang langsung menguntungkan keponakannya?
Akal sehat mana yang percaya bahwa ini sekadar kebetulan politik?
Gibran tidak salah sendirian. Tapi ia adalah hasil dari kesalahan yang disengaja.
Ia bukan aktor utama, namun ia menikmati panggung yang dibangun dari pelanggaran norma.
Dan ketika seseorang menerima kekuasaan dari proses yang cacat, maka yang layak dipertanyakan bukan hanya niatnya, tapi juga legitimasinya.
Sebagian orang membela dengan mengatakan: “Toh rakyat memilih.”
Tapi rakyat memilih dalam sistem yang sudah dimanipulasi sejak hulu.
Ketika hukum dibengkokkan, moral dibungkam, dan logika dikaburkan, maka pemilu bukan lagi ajang memilih, melainkan ajang mengukuhkan hasil rekayasa.
Bagaimana dengan kompetensinya? Gibran adalah sosok muda yang, sayangnya, belum menunjukkan kedalaman gagasan.
Ia berbicara dalam potongan-potongan jargon, tak menawarkan arah kebijakan yang visioner.
Ia adalah wakil presiden dalam bayangan kekuasaan, bukan dalam terang kepemimpinan.
Pemakzulan bukan sekadar soal pelanggaran hukum berat.
Ia bisa diajukan bila seorang pejabat negara kehilangan legitimasi moral dan konstitusional!
Dalam konteks ini, Gibran adalah simbol dari krisis integritas sistem. Dan sistem yang krisis tak akan pulih tanpa koreksi.
Seorang negarawan besar pernah mengatakan: “Negara yang tak mampu menjaga moralitas konstitusinya, akan pelan-pelan kehilangan kepercayaan warganya.”
Maka pertanyaannya: seberapa jauh kita akan membiarkan rasa percaya itu runtuh, demi membela satu nama?
Bila akal sehat benar-benar kita dengar, maka pemakzulan bukan sekadar masuk akal—ia adalah kewajiban moral.
Bukan karena kita benci pada Gibran sebagai pribadi, melainkan karena kita cinta pada republik ini.
Dan cinta, kadang-kadang, harus berani menolak sesuatu yang tampaknya sah, tapi lahir dari proses yang batil.
Penutup
Kita boleh memaafkan kekeliruan individu. Tapi membiarkan kebusukan sistemik adalah bentuk pengkhianatan terhadap masa depan.
Bila akal sehat masih punya tempat di negeri ini, maka suara itu sudah sangat jelas: “Makzulkan Gibran. Demi logika. Demi konstitusi. Demi akal sehat itu sendiri.” ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
BKPM Temukan Potensi Investasi Rp 2.000 T Menguap di Era Jokowi
Lindungi Gibran dari Isu Pemakzulan? Jokowi Dicurigai Seret Prabowo ke Masalah Ini
Ini Kekuatan Iran yang Diyakini Buat AS Khawatir dan Akhirnya Pilih Gencatan Senjata
Usai Ungkap Ijazah Jokowi Cetakan Pasar Pramuka, Beathor Diberhentikan BP Taskin