Putusan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong menuai kritik dari kalangan ahli hukum. Salah satunya datang dari Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, yang menilai bahwa konstruksi hukum dalam perkara ini tidak sepenuhnya sesuai dengan asas-asas dasar hukum pidana.
“Kalau kita bicara kerugian negara, majelis seharusnya memberikan pertimbangan yang lebih rinci dan berbasis hitungan aktual. Tapi yang muncul justru sebatas kutipan teori dan doktrin,” ujar Hardjuno dalam rilis pers Sabtu (19/7).
Ia menyinggung bahwa rujukan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XI/2014 yang menyatakan keuangan BUMN termasuk keuangan negara memang sah, namun tidak cukup dijadikan satu-satunya dasar untuk menjerat seseorang secara pidana.
Dalam putusan majelis, Thomas Lembong dinyatakan terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Namun menurut Hardjuno, terdapat kekosongan argumentasi mendalam soal pembuktian mens rea atau niat jahat dari terdakwa.
“Ini aneh. Dalam hukum pidana modern, orang dihukum itu karena dua unsur terpenuhi: actus reus (perbuatan jahat) dan mens rea (niat jahat). Kalau mens rea tidak dibuktikan, dasar menjatuhkan pidananya jadi lemah,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Hardjuno menyoroti pula posisi diskresi yang dilakukan oleh Tom saat menjabat sebagai Mendag. Menurutnya, keputusan kebijakan seperti impor gula memang bisa dinilai dari sisi administratif, tapi tidak serta-merta bisa dijadikan dasar pemidanaan.
“Dalam banyak kasus serupa di negara demokratis, seperti Jepang atau Jerman, ketika menteri membuat kebijakan yang kemudian diperdebatkan, itu ranah etik dan administrasi. Bukan pidana. Kita jangan sampai menggunakan hukum pidana sebagai instrumen balas dendam atau kriminalisasi kebijakan,” tegasnya.
Selain itu, Hardjuno juga mengkritik pertimbangan hakim yang menyebut bahwa Tom tidak mengedepankan nilai-nilai demokrasi ekonomi dan Pancasila. Bagi Hardjuno, pertimbangan normatif semacam itu semestinya menjadi ranah etika politik, bukan menjadi dasar pemberatan pidana.
“Kalau alasannya karena lebih berpihak pada ekonomi kapitalis, itu debat ideologis, bukan argumentasi hukum. Hukum pidana tidak boleh jadi arena perdebatan ideologi,” katanya.
Di akhir pernyataannya, Hardjuno menyarankan agar lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga peradilan, lebih hati-hati dalam menarik garis antara kesalahan administrasi dan tindak pidana. “Pemisahan yang tegas itu penting agar penegakan hukum tidak keluar dari rel keadilan,” pungkasnya.
Sumber: suaranasional
Foto: Hardjuno Wiwoho (IST)
Artikel Terkait
Jokowi Pernah Pamerkan STNK, Dokter Tifa Sentil Ijazah: Kalau Asli Pasti Bangga
Niat Lepas Rindu, Sang Ayah Malah Cabuli Anak Kandungnya di Semarang
Minta Maaf Dulu, Tebar Janji Kemudian: Manuver Politik Kaesang Usai PSI Gagal ke Senayan
Heboh! Koper Milik WNA Filipina di Pasar Minggu Berisi Senjata Api, Ratusan Peluru, dan Granat