Sama-sama Kader Gerindra Diduga Terlibat Korupsi, Nistra Yohan Aman Namun Noel Masuk Penjara

- Minggu, 24 Agustus 2025 | 08:30 WIB
Sama-sama Kader Gerindra Diduga Terlibat Korupsi, Nistra Yohan Aman Namun Noel Masuk Penjara


Dalam hitungan hari, publik dikejutkan oleh dua kabar yang sama-sama melibatkan kader Gerindra, tetapi berakhir dengan nasib berbeda.

Di satu sisi, Immanuel Ebenezer alias Noel, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, ditangkap melalui operasi tangkap tangan KPK, ditetapkan sebagai tersangka, lalu ditahan dan segera diberhentikan Presiden Prabowo dari jabatannya.

Di sisi lain, Nistra Yohan, nama yang muncul dalam persidangan kasus BTS 4G BAKTI sebagai penerima aliran dana hingga Rp70 miliar untuk jejaring Komisi I, hingga kini status hukumnya tak jelas. Pemanggilan berlarut, kehadirannya dipertanyakan, bahkan keberadaannya kerap diberitakan tidak pasti.

Kontras inilah yang membangun persepsi publik tentang adanya standar ganda dalam penegakan hukum.

Langkah terhadap Noel berjalan cepat dan tegas. KPK menemukan bukti langsung dalam OTT, menetapkannya tersangka, lalu Presiden segera memberhentikan dari kabinet. Dari sisi hukum tata negara, tindakan ini memang wajar dan menunjukkan disiplin birokrasi.

Namun, perbandingan otomatis muncul: mengapa Noel yang jelas-jelas kader partai langsung “disikat” dan masuk bui, sementara Nistra yang disebut-sebut menerima dana jumbo justru tak terdengar kabar hukumnya? Publik wajar mempertanyakan: apa bedanya?

Dari kacamata prosedural, jawabannya bisa sederhana:

1. KPK bekerja dengan OTT—bukti segar, uang tunai, komunikasi langsung, sehingga proses hukum cepat dan langsung mengikat tersangka.

2. Kejaksaan Agung yang menangani BTS bekerja pada kasus yang kompleks: jejaring pelaku luas, aliran dana berlapis, saksi dan dokumen butuh sinkronisasi. Klaim Rp70 miliar terhadap Nistra muncul dari keterangan persidangan, bukan tangkap tangan, sehingga butuh verifikasi tambahan.

Perbedaan mesin ini menjelaskan tempo berbeda. Tapi, penjelasan prosedural tak cukup jika komunikasi publik minim. Kejagung harus menjelaskan status Nistra secara transparan, agar publik tidak menganggap ada perlindungan politik.

Dua narasi politik berkembang di masyarakat:

1. Noel dianggap “orang Jokowi” yang harus disingkirkan dari pemerintahan Prabowo.

2. Noel disebut “bermain sendiri,” tidak berbagi keuntungan, sehingga dibiarkan jatuh.

Dua-duanya spekulatif. Faktanya: Noel tertangkap OTT KPK dengan bukti kuat, sementara Presiden hanya merespons prosedur dengan pemberhentian. Tidak ada data resmi yang menyebut motif politik tersebut.

Namun, karena kasus Nistra tak kunjung jelas, narasi spekulatif makin kuat. Publik melihat: Noel diproses cepat, Nistra aman.

Bagi Partai Gerindra, ini adalah ujian besar. Apakah partai akan membiarkan publik melihat ada standar ganda antar kader? Atau justru menegakkan disiplin etik internal: siapa pun kader yang berurusan dengan hukum harus diproses dan ditindak secara setara?

Bagi pemerintah, pemberhentian Noel adalah langkah awal. Namun tidak cukup berhenti di situ. Yang dibutuhkan adalah pola konsistensi: transparansi di semua kasus, tak hanya satu.

Bagi DPR, khususnya Komisi I, munculnya nama tenaga ahli di pusaran korupsi BTS harus menjadi alarm. Parlemen seharusnya menjalankan fungsi etik dan pengawasan internal—bukan menunggu kasus tenggelam.

Agar republik ini tidak terjebak pada persepsi “dua standar,” ada beberapa agenda penting:

1. Transparansi Status Kasus. Kejagung harus menjelaskan posisi hukum Nistra secara terbuka, apakah masih saksi, sudah tersangka potensial, atau masih dalam penguatan bukti.

2. Koordinasi KPK–Kejagung. Perkara BTS menyangkut uang negara yang sangat besar, koordinasi lintas lembaga akan mempercepat follow the money.

3. Disiplin Partai. Gerindra perlu menunjukkan standar etik yang sama bagi semua kader, baik pejabat maupun staf orbit DPR.

4. Reformasi Sistem. Kemenaker harus membersihkan skema sertifikasi K3 dari potensi rente, sementara sektor digital harus diaudit untuk mencegah kasus BTS terulang.

Pemerintahan Prabowo telah memberi sinyal tegas dengan pemberhentian Noel. Tetapi sinyal hanya bermakna jika diikuti pola konsistensi. Publik menunggu: apakah hukum akan berlaku setara bagi Noel maupun Nistra, ataukah ada yang terus “aman” karena posisi dan kedekatan?

Pada akhirnya, republik ini tidak butuh kambing hitam atau korban politik. Yang dibutuhkan adalah kepastian proses hukum yang adil, transparan, dan setara untuk semua.

Oleh: Muslim Arbi
Pengamat hukum dan politik
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan NARASIBARU.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi NARASIBARU.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar