KEPUTUSAN Partai NasDem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari kursi DPR merupakan langkah berani. Partai menyadari bahwa ucapan arogan dan sikap tidak empatik dapat berbalik menjadi amarah publik yang nyata -rumah Sahroni dijarah, Nafa disorot karena komentar yang dianggap tak peka. Penonaktifan keduanya menandakan bahwa suara rakyat jauh lebih besar daripada pembelaan terhadap individu.
Namun, langkah itu tidak bisa berhenti di dua nama. Jika NasDem ingin selamat dari krisis reputasi, evaluasi harus berjalan konsisten pada semua kader yang kini tengah menjadi sorotan.
Satori, legislator NasDem, sudah resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus gratifikasi dan pencucian uang. Fakta hukum ini tidak terbantahkan. Jika partai berani menonaktifkan kader karena pernyataan, logika politik mengharuskan sikap lebih tegas terhadap kader yang sudah berstatus tersangka.
Secara paralel, publik juga mencermati nama Ananda Tohpati. Ia disebut dalam konten viral di media sosial terkait dugaan keterkaitan dengan bisnis tambang di Raja Ampat -sebuah kawasan konservasi dunia.
Hingga kini, tidak ada bantahan terbuka dari yang bersangkutan maupun dari NasDem. Memang benar, isu viral belum tentu fakta hukum. Tetapi dalam politik modern, persepsi sering kali lebih mematikan daripada putusan pengadilan. Mengabaikan isu publik tanpa klarifikasi berarti membiarkan bom waktu reputasi meledak sewaktu-waktu.
Konteks nasional memperlihatkan bahwa problem dana politik dari sektor sawit bukanlah fiksi. Tempo edisi 2 Maret 2025 menurunkan laporan berjudul “Main Mata Denda Sawit”, mengungkap penyidikan Kejaksaan Agung atas dugaan permainan dalam penetapan denda perkebunan sawit di kawasan hutan.
Petinggi Kementerian Kehutanan disebut menyunat potensi penerimaan negara Rp 300 triliun hingga tinggal miliaran. Laporan itu menunjukkan betapa rapuhnya batas antara kepentingan oligarki, pejabat negara, dan dunia politik. Jika persoalan sebesar ini bisa menjerat kementerian, publik wajar mencurigai bahwa partai politik pun bisa terseret dalam jejaring serupa.
Karena itu, NasDem tidak boleh sekadar reaktif. Penonaktifan Sahroni dan Nafa adalah langkah penyelamatan jangka pendek. Untuk jangka panjang, partai harus membangun sistem evaluasi yang menyeluruh. Audit integritas seluruh kader DPR, transparansi laporan konflik kepentingan, dan keberanian mengambil sikap tegas terhadap nama-nama yang kini menjadi sorotan, adalah bentuk tanggung jawab partai terhadap rakyat.
Publik hari ini tidak lagi sabar dengan klarifikasi normatif. Publik menuntut bukti nyata bahwa partai lebih memilih menjaga kepercayaan rakyat ketimbang melindungi kader bermasalah. Jika NasDem mampu membuktikan itu, citra sebagai partai perubahan bisa kembali hidup. Jika tidak, rakyat sendiri yang akan menjatuhkan vonis di bilik suara 2029.
Tulisan ini bukan serangan, melainkan dorongan konstruktif. NasDem memiliki peluang besar untuk membuktikan diri sebagai partai yang berani berbeda, partai yang memutus rantai kompromi dengan oligarki dan kepentingan sesaat, partai yang benar-benar menempatkan rakyat di atas kepentingan pribadi kadernya.
Namun peluang itu hanya bisa dipertahankan jika keberanian yang ditunjukkan pada kasus Sahroni dan Nafa dilanjutkan kepada kasus-kasus lain yang kini mencoreng nama partai.
Jika partai memilih diam, publik akan bersuara lebih keras. Dan dalam sejarah demokrasi, suara rakyat yang kecewa selalu lebih nyaring daripada megafon partai manapun.
Tri Wibowo Santoso
Kolumnis
Artikel Terkait
DPR Beda dengan ASN: Ferry Irwandi Serukan Penghapusan Tunjangan Pensiun Dewan
Universitas Paramadina dan GoTo Luncurkan Program Beasiswa GoTo–Paramadina untuk Anak Driver Gojek
Video Mahasiswa Diduga Anak Pejabat Berpatwal Lewati Macet Picu Amarah Warganet
Kerusuhan Demo DPR: 22 Orang Positif Narkoba, 10 jadi Tersangka