Nama Prof. Sulfikar Amir belakangan menjadi sorotan publik setelah komentarnya terkait latar belakang pendidikan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, ramai diperbincangkan.
Akademisi yang mengajar di Nanyang Technological University (NTU), Singapura, ini mempertanyakan kesesuaian jenjang pendidikan yang ditempuh Gibran dengan standar sistem pendidikan di Negeri Singa.
Simak profil dosen kampus Singapura yang sebut ijazah Gibran setara SMA kelas 1 di akhir artikel ini.
Profil Prof. Sulfikar Amir
Sulfikar Amir, Ph.D., adalah akademisi asal Indonesia yang kini berkarier di Singapura. Ia menempuh pendidikan sarjana di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Arsitektur, lalu melanjutkan studi magister di National University of Singapore (NUS). Gelar doktor diraihnya di Rensselaer Polytechnic Institute (RPI), New York, Amerika Serikat, dengan fokus pada kajian Science and Technology Studies (STS).
Saat ini, Sulfikar menjabat sebagai Associate Professor di School of Social Sciences NTU. Ia mengajar bidang sosiologi, terutama science, technology, and society, urban studies, serta kajian bencana.
Risetnya berfokus pada hubungan antara teknologi, infrastruktur, dan masyarakat, termasuk isu resiliensi kota terhadap bencana, serta politik energi dan nuklir di Indonesia.
Selain menulis buku akademis berjudul The Technological State in Indonesia: The Co-constitution of High Technology and Authoritarian Politics (2012), Sulfikar juga pernah membuat dokumenter Healing Fukushima (2016) yang ditayangkan Al Jazeera.
Kuliti Ijazah Gibran
Isu soal ijazah Gibran memang bukan hal baru. Sejak Gibran maju sebagai calon wakil presiden dalam Pemilu 2024, dokumen pendidikan putra sulung Presiden Joko Widodo itu sempat menuai tanda tanya.
Kini, keraguan publik kembali mencuat seiring masuknya Gibran ke jajaran eksekutif. Salah satu tokoh yang membicarakannya adalah Prof. Sulfikar Amir, pengajar di NTU, Singapura.
Dalam siniar Abraham Samad Speak Up di YouTube, pada 2 Oktober 2025, Sulfikar menjelaskan secara rinci sistem pendidikan Singapura. Menurutnya, negeri tersebut menganut sistem pendidikan bergaya British.
Tahapannya dimulai dari Primary School selama enam tahun, yang setara dengan sekolah dasar di Indonesia. Setelah itu, siswa melanjutkan ke Secondary School selama empat tahun. Lulusan secondary kemudian wajib mengikuti ujian O- Level.
Bagi siswa dengan nilai O-Level tinggi, jalur yang terbuka adalah Junior College (JC) atau A Level, yang setara dengan jenjang SMA di Indonesia. Sementara itu, siswa dengan nilai yang lebih rendah biasanya diarahkan ke politeknik selama tiga tahun, sebelum memilih langsung bekerja atau melanjutkan ke universitas.
Menurut Sulfikar, jika disetarakan dengan sistem Indonesia, primary school setara dengan SD, secondary school setara dengan SMP ditambah kelas 1 SMA, sementara jenjang yang benar-benar setara dengan SMA adalah A Level atau Junior College. Ia juga menambahkan bahwa politeknik di Singapura memiliki kesetaraan dengan sekolah menengah kejuruan (SMK).
Ia juga memaparkan berdasarkan pengalamannya sebagai koordinator penerimaan mahasiswa baru di NTU, Sulfikar menegaskan bahwa universitas di Singapura tidak menerima mahasiswa yang hanya menyelesaikan O Level. Calon mahasiswa diwajibkan menyelesaikan A Level atau Junior College, sebab jenjang tersebutlah yang dianggap setara dengan SMA.
Ia juga menjelaskan bahwa di Singapura ada sekolah yang menggunakan istilah High School, namun tingkatan itu tetap sepadan dengan A Level atau Junior College. Artinya, tanpa menyelesaikan level ini, seorang siswa belum memenuhi syarat untuk diterima di universitas.
Meski demikian, Sulfikar mengakui ada sekitar 15–20 persen mahasiswa NTU yang berasal dari politeknik, yang umumnya memiliki kualitas akademik yang baik.
Setelah memaparkan sistem pendidikan di Singapura, Sulfikar menyoroti rekam jejak akademik Gibran. Berdasarkan data KPU, Gibran menempuh pendidikan dasar dan dua tahun SMP di Solo, lalu melanjutkan ke Orchid Park Secondary School di Singapura.
Menurut perkiraannya, Gibran kemungkinan besar menyelesaikan kelas 7 dan 8 di Solo, kemudian melanjutkan kelas 9 dan 10 di Orchid Park. Dengan pola tersebut, seharusnya Gibran berakhir pada ujian O Level.
Setelah itu, Gibran sempat tercatat masuk UTS Insearch di Australia sebelum kembali ke Singapura untuk kuliah di Management Development Institute of Singapore (MDIS).
Berdasarkan standar penyetaraan Singapura, Sulfikar menilai Gibran tidak menempuh A Level yang setara dengan SMA. Artinya, jenjang pendidikan yang ia lalui hanya sampai level O-Level, yang posisinya sepadan dengan SMP plus kelas 1 SMA di Indonesia.
Meski menilai ada ketidakjelasan, Sulfikar menekankan kemungkinan bahwa Gibran diterima di MDIS melalui aturan khusus atau syarat alternatif yang berbeda dari standar universitas negeri seperti NTU.
Ia menegaskan bahwa jika mengacu pada sistem umum, Gibran memang tidak memenuhi syarat masuk universitas berbasis standar A Level.
Sumber: suara
Foto: Prof. Sulfikar Amir, pengajar Nanyang Technological University (NTU) Singapura. (tangkap layar Youtube)
Artikel Terkait
Heboh! Skandal TNI dan Link “Video 8 Menit” Ternyata...
Dokter Tifa Komentari Kondisi Kulit Jokowi dan Iriana yang Dinilai Janggal
Sosok KH R Abdus Salam Mujib, Pengasuh Ponpes Al Khoziny yang Ambruk Sidoarjo
Bahlil Terciduk Colek Bos Danantara Rosan saat Prabowo Singgung Kerugian Rp 300 Triliun