Profil Sanae Takaichi PM Perempuan Pertama Jepang, Mantan Drummer Band Heavy Metal

- Selasa, 21 Oktober 2025 | 17:00 WIB
Profil Sanae Takaichi PM Perempuan Pertama Jepang, Mantan Drummer Band Heavy Metal


Jepang mencatat sejarah baru. Untuk pertama kali dalam sejarah modern, Negeri Sakura kini dipimpin seorang perempuan, Sanae Takaichi. 

Takaichi memenangkan pemilihan di parlemen Majelis Rendah, Selasa (21/10/2025). Dia memperoleh 237 suara, melampaui batas minimal yang dibutuhkan dari total 465 suara yang diperebutkan. Pemimpin Partai Demokrtik Liberal (lDP) itu membutuhkan 233 suara saja untuk memenangkan mayoritas suara.

Dia merupakan sosok konservatif yang juga dikenal sebagai penggemar musik heavy metal serta mantan pemain drum di masa mudanya.

Drummer Heavy Metal Jadi Perdana Menteri

Lahir di Prefektur Nara pada 7 Maret 1961, Sanae Takaichi menempuh pendidikan di Fakultas Administrasi Bisnis Universitas Kobe. Semasa kuliah, dia bukan dikenal sebagai aktivis kampus, melainkan drummer band heavy metal. 

Hobinya terhadap musik keras itu masih dia bawa hingga kini, di tengah karier politik yang kaku dan penuh tekanan.

“Saya suka musik dengan energi tinggi, seperti hidup saya,” ujarnya, dalam wawancara lama yang kini kembali viral setelah terpilih sebagai perdana menteri.

Selain musik, Takaichi juga dikenal gemar bersepeda motor dan menyelam, dua hobi yang jarang ditemui pada politisi konservatif Jepang.

Perjalanan Panjang di Dunia Politik

Takaichi memulai karier politiknya pada 1993 ketika terpilih sebagai anggota parlemen untuk pertama kalinya. Dia kemudian bergabung dengan Partai Demokrat Liberal (LDP), partai penguasa Jepang selama puluhan tahun.

Namanya mencuat saat menjabat Menteri Urusan Dalam Negeri dan Komunikasi di pemerintahan Shinzo Abe (2014-2017 dan 2019-2020). Dia juga dipercaya sebagai Menteri Keamanan Ekonomi di kabinet Fumio Kishida pada 2022–2024.

Pada Oktober 2025, Takaichi akhirnya terpilih sebagai Presiden LDP dan otomatis menjadi Perdana Menteri Jepang, menggantikan Shigeru Ishiba. 

Kemenangan ini menandai sejarah baru karena dia menjadi wanita pertama yang memimpin Jepang sejak berdirinya negara itu.

Konservatif Garis Keras

Meski berstatus “pemimpin perempuan pertama”, Takaichi bukan simbol feminisme liberal. Dia justru dikenal sebagai nasionalis konservatif, dekat dengan mendiang mantan PM Shinzo Abe, dan mendukung revisi Konstitusi Jepang, termasuk pasal yang melarang perang (Pasal 9).

Takaichi juga menentang legalisasi pernikahan sesama jenis serta menolak perubahan sistem keluarga tradisional Jepang yang mewajibkan pasangan menikah memiliki nama keluarga sama. 

Sikapnya itu membuat sebagian kelompok progresif kecewa, namun mendapat dukungan luas dari kalangan kanan dan kelompok religius.

Dijuluki Margaret Thatcher Jepang

Media Jepang dan Barat sering menjulukinya sebagai “Margaret Thatcher versi Jepang” yakni memiliki kareakter tegas, konservatif, dan berani mengambil keputusan tak populer. Dia kerap tampil lugas di parlemen, bahkan beberapa kali beradu argumen keras dengan oposisi.

Namun di balik citra keras itu, Takaichi tetap menonjolkan sisi uniknya, kegemaran pada heavy metal, motor besar, dan gaya bicara spontan yang membuatnya tampak berbeda dari politisi Jepang kebanyakan.

Takaichi menghadapi tantangan berat. Jepang masih bergulat dengan perekonomian stagnan, populasi menua, dan ancaman geopolitik dari China dan Korea Utara. Di dalam negeri, dia juga harus menyeimbangkan antara ideologi konservatifnya dan tuntutan modernisasi dari generasi muda.

Meski begitu, keberhasilannya menembus puncak kekuasaan di negeri yang terkenal patriarkal menjadi momen bersejarah. Dia telah membuka pintu bagi generasi baru perempuan Jepang untuk bermimpi menembus batas politik yang selama ini tertutup rapat.

Sumber: inews
Foto: Sanae Takaichi menjadi perdana menteri Jepang yang baru (Foto: AP)

Komentar