NARASIBARU.COM - Abubakr Ahmed sudah siap gugur di tanah yang telah ia pertahankan mati-matian dari pasukan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) Sudan.
Selama 550 hari, ia berjuang sebagai anggota "perlawanan rakyat", sebuah kelompok warga yang dibentuk untuk membantu tentara dan kelompok-kelompok bersenjata yang bersekutu melindungi el-Fasher dari RSF. Milisi RSF merupakan rival mereka dalam perang saudara yang telah berlangsung selama dua setengah tahun.
Kota yang terkepung itu merupakan benteng terakhir tentara di wilayah Darfur hingga akhirnya jatuh pada 26 Oktober.
Menurut Panglima Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) Abdel Fattah al-Burhan, tentara menyerah dan menegosiasikan penarikan pasukannya dengan aman dengan harapan dapat menghentikan pertumpahan darah.
Namun, penarikan pasukan mereka membuat 250 riu orang – warga sipil yang kelaparan dan terkepung – harus menghadapi RSF sendirian.
Ahmed ingat mencoba membuka jalan keluar kota bersama beberapa pemuda dari unitnya. Selama bentrokan terakhir, pecahan peluru mengenai perut Ahmed setelah sebuah granat berpeluncur roket meledakkan sebuah mobil di dekatnya.
Ia berhasil melarikan diri, tidak seperti banyak orang lainnya.
"RSF membunuh warga sipil dan meninggalkan mayat mereka di jalanan," ujar Ahmed, 29 tahun, kepada Aljazirah setelah ia melarikan diri dari el-Fasher.
"Mereka dibunuh tanpa ampun."
Eksodus massal
Dalam tiga hari pertama setelah perebutan el-Fasher, RSF menewaskan setidaknya 1.500 orang. Demikian menurut Jaringan Dokter Sudan, lembaga pemantau lokal.
Angka tersebut mencakup pembunuhan 460 pasien dan pendamping mereka dari rumah sakit al-Saud setempat, yang juga telah diverifikasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Unit verifikasi Aljazirah telah mengautentikasi beberapa video yang menunjukkan pasukan RSF berdiri di atas tumpukan mayat atau mengeksekusi barisan pemuda tak bersenjata.
Pembunuhan massal tersebut telah menyebabkan lebih dari 33.000 orang mengungsi, banyak di antaranya yang tiba di kota dan desa terdekat seperti Tawila dan Tine, sekitar 60 km (37 mil) jauhnya.
Namun, sebagian besar warga sipil masih terjebak di el-Fasher, bersembunyi dari pasukan bersenjata RSF.
Sementara yang lainnya masih menempuh perjalanan panjang dan melelahkan melintasi gurun terbuka untuk mencapai tempat aman. Banyak yang kemungkinan terpisah dari teman dan orang-orang terkasih, tanpa makanan atau minuman.
Salah satu penyintas, Mohammed, mengatakan bahwa ia tiba di Tawila pada 28 Oktober dan ia memperkirakan puluhan ribu pendatang baru akan segera tiba.
Seperti kebanyakan penduduk el-Fasher, Mohammed berasal dari salah satu suku 'non-Arab' yang menetap dan secara historis telah dianiaya oleh suku-suku 'Arab' nomaden yang merupakan mayoritas penduduk RSF.
"Mayoritas orang tidak akan tinggal di el-Fasher karena mereka takut pada RSF. Mereka tidak mempercayai RSF karena mereka tahu mereka akan dianiaya oleh mereka," kata Mohammed kepada Aljazirah..
"Orang Arab akan tinggal di satu tempat dan orang non-Arab di tempat lain. Sayangnya, begitulah keadaannya sekarang," tambahnya.
Genosida Rwanda
Pemimpin RSF, Mohamad Hamdan “Hemedti” Dagalo, mengatakan dalam pidatonya pada Rabu bahwa ia berjanji untuk menyelidiki laporan pelanggaran yang terjadi.
Namun, para penyintas mengatakan pembunuhan di el-Fasher tampaknya merupakan upaya sistematis untuk membersihkan etnis penduduk non-Arab.
Laboratorium Penelitian Kemanusiaan Yale (HRL), yang menyediakan analisis satelit tentang pertempuran di Darfur, mengatakan dalam sebuah laporan pada 28 Oktober bahwa terdapat bukti yang jelas bahwa RSF membunuh orang-orang secara massal saat mereka mencoba melarikan diri.
"Skala pembunuhan massal ini saat ini tidak dapat dikomunikasikan hanya melalui citra satelit dan sangat mungkin bahwa perkiraan jumlah total orang yang dibunuh RSF tidak dihitung," kata laporan HRL.
Sheldon Yett, perwakilan Sudan untuk Yayasan Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), menggambarkan pemandangan di el-Fasher sebagai "ladang pembantaian".
"Saya berada di Rwanda saat genosida, dan ada gaungnya di sini. Jenis pembantaian yang kita saksikan dan rasa bangga yang dimiliki [para pelaku] dalam membunuh orang-orang tak bersalah [di el-Fasher] itulah yang membuat saya takut," ujar Yett kepada Al Jazeera.
Selain itu, ia mengatakan bahwa UNICEF telah kehilangan kontak dengan banyak relawan bantuan lokal dan inisiatif yang mereka dukung di lapangan, termasuk staf yang mengelola dapur umum, yang memainkan peran penting dalam mengurangi kelaparan di seluruh Sudan.
Ia mengatakan bahwa banyak dari mereka berada dalam bahaya akut.
RSF memiliki rekam jejak menyasar para pekerja bantuan lokal di seluruh Sudan, seringkali menuduh mereka "berkolaborasi" dengan tentara.
"Situasi banyak mitra nasional kami [di el-Fasher] masih sangat genting, dan kami kesulitan menghubungi banyak orang yang kami andalkan untuk memberikan layanan kepada masyarakat," kata Lytt.
"Itu bukan berarti mereka sudah mati. Tetapi banyak yang berpindah-pindah dan bersembunyi, dan mereka ketakutan," tambahnya.
Kecaman Kosong
Berita dan video kekejaman di el-Fasher memicu pernyataan kecaman dari PBB, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Mereka semua menyerukan RSF untuk "melindungi warga sipil" dan mematuhi hukum internasional.
Namun, para penyintas dan analis mengatakan bahwa komunitas global seharusnya menggunakan pengaruh diplomatik mereka untuk mencoba mencegah kekejaman terjadi.
"RSF mencoba mengambil alih el-Fasher selama berbulan-bulan – dan sejak hari pertama – kami tahu apa yang akan terjadi pada el-Fasher jika mereka berhasil," kata Hamid Khalafallah, seorang pakar Sudan dan kandidat PhD di Universitas Manchester.
"Ini adalah kasus penolakan dan pengkhianatan oleh komunitas internasional, terutama dari organisasi multilateral seperti PBB dan kekuatan Barat … Mereka tidak mencoba melakukan sesuatu yang serius terkait perlindungan warga sipil," ujarnya kepada Aljazirah.
Jean-Baptiste Gallopin, peneliti senior di Divisi Krisis, Konflik, dan Persenjataan di Human Rights Watch, mencatat bahwa RSF memiliki pola melakukan kekejaman massal setelah merebut atau menginvasi wilayah baru, seperti yang terjadi di el-Geniena dan Aradamata di Darfur Barat.
Ia menekankan bahwa para diplomat gagal mengakhiri pola impunitas dengan menolak memberikan sanksi kepada pemimpin RSF, Hemedti, kemungkinan karena keyakinan bahwa hal itu akan menghambat perundingan gencatan senjata.
Impunitas yang berkepanjangan ini membuat RSF cukup nyaman untuk merekam kejahatan mereka sendiri di el-Fasher, kata Gallopin.
"Para diplomat berfokus untuk mencapai gencatan senjata yang sulit dicapai dan dalam proses itu mereka mengesampingkan segala langkah—untuk melindungi warga sipil, atau memberikan sanksi kepada pelaku—yang mereka pikir dapat menghalangi gencatan senjata," ujarnya kepada Aljazirah.
"Namun, tidak ada yang dimintai pertanggungjawaban atas serangan terhadap warga sipil, dan komunitas internasional, pada dasarnya, lepas tangan atas kekejaman yang terjadi
Sumber: republika
Artikel Terkait
KPK jangan kasih publik tebak buah manggis
Viral Detik-detik PM Perempuan Pertama Jepang Geser Kursi Mendekat ke Prabowo, Bahas Apa?
Benarkah Komet 3I/ATLAS Pesawat Alien? Ini Penjelasan NASA
Tanggapan Menohok Purbaya Soal Kebijakan Ekonomi di Era Jokowi dan Sri Mulyani 10 Tahun Terakhir