NARASIBARU.COM - Sekian tahun belakang, institusi kepolisian seperti jadi gudang kekecewaan masyarakat. Oknum demi oknum, dari tamtama sampai perwira tinggi kedapatan melakukan pelanggaran hukum.
Presiden Prabowo gemas juga, terlebih setelah aksi unjuk rasa besar-besaran menyusul kematian pengemudi ojek online Affan Kurniawan di bawah kendaraan Brimob. Ia kemudian membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dilantik pekan lalu.
Selasa (11/11/2025), Republika mendapat kesempatan duduk berbicara dengan Prof Jimly Asshiddiqie yang ditunjuk mengetuai komisi tersebut. Menanyakan bagaimana kerja mereka nantinya? Mengapa ada unsur kepolisian dalam komisi itu? Apa yang bisa diharapkan dari rekomendasi reformasi kepolisian nantinya? Berikut petikan wawancaranya.
Pertama-tama, Prof Jimly secara pribadi pernah tidak punya persoalan dengan kepolisian gitu yang kira-kira menggambarkan mereka punya ketidakprofesionalan?
Secara pribadi gitu kayaknya nggak ada ya. Karena dulu saya lama mengajar di PTIK (sekarang Sekolah tinggi Ilmu Kepolisian). Kayaknya ada sepuluh tahun kali ya. Nah, jadi banyak itu perwira-perwira yang yang juga mahasiswa saya. Tapi sudah 10 tahun 15 tahun terakhir pensiun.
Banyak orang yang penasaran ini, Prof, sebenarnya nanti kerjanya Komisi Percepatan Reformasi Polri ini seperti apa?
Ya, pokoknya targetnya ditugasi oleh Presiden Komisi ini adalah komisi yang serius. Tecermin di anggotanya dan juga sesudah pelantikan Presiden memberi arahan yang sangat serius gitu ya, dalam rangka menata sistem bernegara kita. Bukan hanya polisi sebetulnya. Beliau pikirannya itu jauh lebih luas ya. Misalnya beliau menyebut juga komisi-komisi negara antara lain yang disebut oleh beliau, misalnya Ombudsman. Jadi intinya banyak yang harus dibenahi sistem negara kita ini. Bukan hanya sistem politik tapi juga ekonomi. Bagaimana ekonomi kita terlalu liberal.
Nah, ini harus ditopang oleh upaya reformasi. Tapi ya tentu kita mulai dengan bagaimana ini reformasi dunia kehakiman. Yang paling depan di antaranya itu urusan kepolisian yang kebetulan ini muncul waktu kemarahan emosional dari publik bulan Agustus yang lalu.
Tecermin di banyaknya kantor polisi dibakar. Tapi sebetulnya ini adalah dalam tanda petik gitu ya. Ini sebab-akibat saja polisi ini kena getah dari perasaan umum yang kecewa dan kekecewaan itu juga tercermin misalnya dibakarnya kantor DPRD provinsi/kota Makassar begitu juga di NTB di Jogja itu. Kan itu artinya ada masalah dalam sistem perwakilan rakyat kita bukan hanya kepolisian.
Jadi saluran aspirasi rakyat itu terhambat, tersumbat. Mandat rakyat yang sudah dihasilkan melalui pemilu. Jadi formalistik demokrasinya itu ya kan, tapi aspirasi substantifnya tidak tersalur. Nah, maka kemarin tercermin di amuk massa.
Itu di satu segi. Segi yang lain yang paling depan ini polisi. Jadi, polisi ini kena getah karena dia harus berhadapan langsung dengan masyarakat. Ada juga kasus-kasus kekeliruan misalnya siapa yang meninggal tuh kan. Pengemudi di ojek online itu.
Unjuk rasa di mana-mana, akibat sampingannya kan kebakaran, harta benda adan korban jiwa. Kejadian-kejadian yang kemudian jadi getah bagi lembaga kepolisian.
Nah, tapi presiden dengan responsif dia menerima masukan apalagi dari Gerakan Nurani Bangsa, tokoh-tokoh bangsa. Beliau cepat mengambil keputusan: “Ya sudah kita bikin reformasi.”
Nah, tapi reformasi kepolisian ini tentu harus dibaca sebagai komitmen presiden untuk pembenahan lebih menyeluruh. Bukan hanya ee lembaga kepolisian, tetapi semua, hanya kita mulai dari sini.
Dan pihak polisi sendiri pun tidak perlu merasa dipersalahkan dengan ide reformasi ini. Karena kalau dilihat objektif itu polisinya jadi korban aja dari situasi situasi kemarahan publik yang tidak terkendali. Ya korbannya kantor polisi gitu loh.
Nah, jadi ini sekadar momentum untuk kita pakai untuk melakukan upaya perbaikan sistemik mulai dari polisi.
Prof, kerap kali saat ada aparat kepolisian yang melakukan kesalahan misalnya melakukan pungli atau jadi backing judi darat katakanlah. Kemudian ada juga penganiayaan, salah tangkap segala macam. Polri selalu bilang ini adalah oknum. Tapi tapi profesor bilang perlu ada apa perbaikan sistemik. Apakah menurut profesor ini bukan cuma sekedar oknum, ada sebuah kesalahan struktural dibaliknya?
Iya. Struktur mempengaruhi kultur, kultur juga membentuk struktur. Ini timbal balik. Makanya dua-duanya harus dievaluasi. Tapi baik struktur maupun kultur, instrumennya kan aturan. Nah itu juga harus harus dievaluasi jadi menyeluruh.
Kita bukan dalam rangka salah menyalahkan, bukan dalam rangka menghakimi masa lalu yang sudah terjadi. Tetapi kita juga harus melihat ke depan apa yang mesti kita perbaiki. Banyak.
Kepolisian salah satu aja. Bahkan di lingkup ya sistem penegakan hukum nanti ujungnya kan hakim. Hakim, advokat, ya kejaksaan, KPK ini bermasalah semua. Iya kan? Tapi yang di depan, yang di baris paling depan itu polisi.
Seharusnya dibenahi semuanya, tapi kan tugas kami di tim reformasi polisi itu kan hanya polisinya ya. Saya sendiri minggu-minggu ini akan meluncurkan buku. Buku saya sudah jadi ialah ya buku ke-82 yang saya tulis dan saya terbitkan judulnya m”Menuju Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar ‘45”. Maknanya adalah kita ini bahkan perlu mengevaluasi ulang sistem kelembagaan konstitusional kita termasuk kepolisian.
Maksudnya di luar kepolisian keseluruhannya harus dievaluasi. MPR, DPR, DPD harus dievaluasi. Begitu juga cabang kekuasaan kehakiman. Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan, advokat.
Contohnya, advokat menurut undang-undang harus satu perhimpunan atau single bar. Tapi sekarang organisasi advokat ada belasan. Jadi kita melanggar undang-undang semua mulai dari polisi sampai hakim. Melanggar karena menerima kenyataan bahwa organisasi advokat ada banyak dan kita biarkan.
Jadi semua ekosistem penegakan hukum kita ini perlu evaluasi tapi mulailah kita dari polisi dulu gitu dengan memanfaatkan momentum Agustus kemarin.
Evaluasi total ini bisa bentuknya federalisasi kepolisian? Prof Jimly kan pernah mewacanakan hal tersebut pada masa lalu.
Kami bersepuluh belum punya ide, belum punya pendapat. Tim ini satu kesatuan. Sekarang selama tiga bulan pertama ini kita akan paling nggak ya sebulan pertama kita fokus mengundang aspirasi masyarakat dulu.
Kami secara khusus mengundang GNB (Gerakan Nurani Bangsa) untuk memperjelas apa aspirasi konkretnya mengenai reformasi kepolisian yang ada di pikiran para tokoh itu.
Bukan hanya marah-marahnya. Tapi solusi yang mereka bayangkan sebaiknya bagaimana. Nah, Kita mau dengar dulu. Nah, terus nanti sesudahnya tentu tokoh-tokoh misalnya tokoh mahasiswa, BEM, terus misalnya tokoh-tokoh pengacara, advokat, terutama yang senior-senior kita kumpulkan.
Karena mereka ini yang dalam pelayanan hukumnya langsung berhubungan dengan polisi dan kejaksaan. Nah, kita mau dengar perspektif mereka bagaimana. Demikian juga tokoh-tokoh aktivis-aktivis LSM. Kita mau dengar karena kita nggak bisa hanya merumuskan pikiran kita sendiri karena ini menyangkut kepentingan seluruh rakyat.
Jadi rekomendasi kebijakan sangat penting untuk reformasi. Tapi cara rekomendasi itu dirumuskan, itu jauh lebih penting.Karena ini menyangkut kepentingan umum.
Kalau misalnya kemudian ada masukan yang Prof dan kawan-kawan di Komisi dapatkan dari tokoh masyarakat, mereka ekstrem meminta pergantian kepemimpinan kepolisian. Sementara ada sejumlah jenderal di komisi, bagaimana kira-kira menyikapi dinamika itu?
Ah, gampang itu. Iya, kan gampang itu. Jadi sebagian besar orang yang berteriak-teriak di medsos itu menyederhanakan masalahnya. Reformasi itu sama dengan ganti Kapolri, kan begitu.
Pertanyaannya sederhana saja. Apa ganti orang dijamin jadi lebih baik? Selama sistemnya masih kayak begini, siapapun masuk ke dalam sistem yang tidak baik tetap saja sama.
Plato dulu pernah menulis buku Respublika. Dia membayangkan negara yang baik itu harus dipimpin oleh filsuf. Orang yang baik, orang yang bijaksana, orang pintar. Maka muncul konsep namanya The Philosopher King.
Tapi menjelang akhir hayatnya, dialog-dialog, paper-paper diai itu kemudian dikumpulkan oleh murid-muridnya dijadikan buku yang paling tebal yang judulnya “Nomoi”. Nah, “nomoi” itu artinya norma.
Dalam buku itu dia (Plato) berubah pikiran. Negara ideal itu bukan lagi dipimpin oleh filsuf yang cerdas, cerdik, cendekia, bukan. Itu harus dipimpin oleh nomoi, dari situlah muncul konsep nomokrasi.
Jadi yang memimpin yang ideal itu bukan orang, tapi sistem aturan. Maksudnya sebaik-baik orang masuk dalam sistem yang buruk ya ikut buruk dia. Nyatanya sistemnya harus baik, orangnya juga harus baik. Seimbang.
Nah, jadi maksud saya kalau ganti Kapolri ya belum tentu beres Sistemnya ini harus kita evaluasi menyeluruh bukan hanya orangnya tapi juga strukturnya dan orang yang di dalam struktur itu.
Kemudian kulturnya, lalu instrumen kebijakannya. Substansi kebijakan-kebijakan itu harus dievaluasi mana yang harus diperbaiki, harus lebih menyeluruh.
Tapi kemudian Prof, sejauh mana kira-kira rekomendasi ini? Apakah bisa sampai ke revisi undang-undang kepolisian misalnya atau bisa sampai menempatkan kepolisian di bawah Kementerian Dalam Negeri misalnya? Apakah bisa sejauh itu?
Jangan loncat-loncat itu, satu persatu. Nah, itu kita kumpulkan dulu. Kita belanja masalah dulu. Apa saja yang harus diperbaiki? Baik menyangkut struktur, kultur, maupun instrumen sistem aturannya apa aja.
Dan itu banyak sekali ya kan.Salah satunya mengenai struktur. Misalnya da pendapat,, bagaimana ini kok TNI dipersepsi seolah-olah di bawah Kementerian Pertahanan, kok Polri nggak.
Nah, ini kan orang banyak orang salah paham. TNI itu bukan di bawah Kemhan. Oke. TNI itu di bawah presiden, Panglima tertinggi. TNI dipimpin oleh panglima. Jadi dia itu bawahan presiden bukan di bawah Kemhan. Jadi menggunakan kata di bawah itu keliru. Jadi hubungan TNI dengan Kemhan itu koordinasi bukan subordinasi.
Nah, hal yang sama, ada pendapat “Oh, kalau tentara di bawah Kemhan berarti Polri harus juga di bawah kementerian”. Ribut orang polisi. Jadi, dia lebih senang langsung di bawah presiden.
Jadi ini dua-dua lembaga sama-sama di bawah presiden. Hanya koordinasinya untuk administrasi anggaran dan sebagainya, kalau TNI itu koordinasinya dengan Kemhan.
Nah, polisi dengan apa? Sementara ini dengan menko (menteri koordinator). Menko itu sama saja dengan kementerian yang lain. Dia koordinasi saja, bukan atasan. Jadi, Kapolri tidak berada di bawah Menko. Tidak. Itu kan cuma koordinasi.
Jadi kalau ada diskusi bagaimana koordinasinya dengan Menteri Dalam Negeri aja itu ya masuk akal aja bisa didiskusikan. Atau ada yang mengusulkan bagaimana koordinasinya dengan Menteri Hukum terutama di bidang penegakan hukum. Nanti kita lihat masukan-masukannya sambil kita luruskan salah pengertian yang ada selama ini.
Berarti ini kerja yang bakal panjang sekali, Prof?
Iya. Harusnya karena ini mau serius ya nggak bisa sebentar. Tapi kami sudah sepakat kita pasang target tiga bulan saja nanti lapor kepada Presiden. Sebelum rekomendasi kita mengumpulkan pendapat. Tiga bulan ini kita harapkan sudah selesai, jangan lama-lama.
Menurut Prof Jimly secara pribadi apa sih persoalan fundamental di kepolisian?
Banyak. Makanya tugas kami menghimpun masukan. Nah, tugas media kita ini minta bantu. Media itu jembatan antara policy maker dengan konstituen, dengan stakeholder ya kan.
Nah, jadi masyarakat luas itu banyak sekali menyuarakan kekecewaan dan media itu menampungnya. Kami sudah punya mekanisme sudah kami bikin di supaya semua nanti tayangan-tayangan di televisi, di YouTube itu nanti kita capture lalu dirangkum.
Apa saja ide-idenya, lalu kita diskusikan di tim. Nah, tim itu nanti itu akan mendiskusikannya mana yang paling mungkin kita pilih menjadi kebijakan. Jadi banyak sekali isunya, kita petakan dulu satu persatu karena banyak sekali. Sekali kita kerja kalau bisa betul-betul menyelesaikan permasalahan untuk jangka panjang.
Nanti baru kemudian dari masukan-masukan tersebut, sebelum kita lapor kepada Presiden, kita buat pertemuan besar. Kepada semua pihak kita sampaikan rancangan rekomendasi kita. Silakan ada yang mau ngasih masukan lagi. Bila da yang protes, “Oh kami tidak setuju ini”, ya boleh aja nanti kita diskusikan lagi. Kita coret salah satu rekomendasinya boleh saja.
Jadi salah satu kelemahan kita ini ya public policy making tidak disertai meaningful participation alias partisipasi publik yang bermakna, seperti putusan MK itu. Nah, mengapa? Karena lama-kelamaan demokrasi kita itu makin mengalami formalisasi formalistik. Yang penting suara jumlah suaranya lebih banyak. Majority rule ketok palu, tok! Tiap hari ketok palu atas nama suara terbanyak. Nah, itu adalah ciri demokrasi formalistik.
Kita kalau bisa jangan begitu ya kan supaya lebih substantif substansi keputusan kebijakan itu.
Nah, kami bersepuluh itu nanti merumuskannya menjadi lebih konkret. Jadi rumusan kebijakan yang 10 orang anggota ini punya kepalanya beda-beda. Lima dari kepolisian bahkan panglima Polri pun ikut jadi anggota ya. Satu mantan wakapolri, tiga mantan kapolri. Bahkan mantan Kapolri ada satu yang mendagri jabatannya.
Jadi ini orang hebat semua. Nah, sedangkan yang yang bukan alumni ya kan ada saya, ada Profesor Yusril (Ihza Mahendra), yang adalah menko ( Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan). Ada Profesor Mahfud yang mantan menko. Nah, terus ada Pak Otto Hasibuan yang adalah pengacara senior yang juga wamenko (Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan). Dan bahkan ada Menteri Hukum (Supratman Andi Agtas).
Nah, jadi ini orang betul-betul yang menguasai masalahnya sehingga kita nanti bisa dua kemungkinan: Mudah untuk menyerap aspirasi, merumuskannya menjadi kebijakan yang direkomendasikan atau yang kedua bukan malah mudah menjadi semakin sulit karena orang-orangnya keren semua.
Nah, jadi ini seninya saya mesti memimpin dengan sebaik-baiknya. Jadi mudah-mudahan mendapat dukungan dari masyarakat dan karena itu media saya anjurkan tolong digencarkan diskusi publik di lingkungan masing-masing, karena kita pantau.
Sumber: republika
Artikel Terkait
BRIN: Tanda-tanda Perang Dunia Ketiga Makin Terang
Sekelompok Ibu-ibu Kawal Roy Suryo ke Polda Metro, Serukan “Mana Ijazahmu?”
Don Dasco, Pasupati Stabilizer Pemerintahan Prabowo
Dikecam Gegara Video Cium Anak, Gus Elham Tutup Kolom Komentar dan Kunci Instagram