Meski diglorifikasi sebagai efisiensi, dana segar untuk Danantara (Rp 300 triliun) sebenarnya diambil dari penyunatan terhadap pos anggaran penting lain seperti subsidi pendidikan atau kesehatan. Pemerintahan Prabowo tidak menyunat anggaran kementerian pertahanan untuk beli senjata, tidak menyunat porsi pembayaran cicilan utang (yang tahun ini sekitar Rp 800 triliun) dan tidak pula menyunat gaji serta anggaran fasilitas mewah untuk pejabat.
Indonesia juga tidak seleluasa Malaysia dalam menerbitkan surat utang. Utang Danantara pada dasarnya adalah utang negara juga. Dan Indonesia sudah punya utang menggunung, yang terutama melonjak drastis pada masa Pemerintahan Jokowi. Lebih dari itu, Indonesia juga harus menyisihkan dana lebih banyak untuk membayar utang dibanding Malaysia.
Imbal hasil (yield) surat utang Indonesia paling tinggi di ASEAN. Artinya, Indonesia harus menjanjikan bunga lebih besar dari negara lain, untuk setiap dolar yang dipinjam. Yield surat utang negara Indonesia kini sekitar 7 persen, sementara negara lain lebih rendah: Malaysia 3,87 persen, Singapura dan Vietnam masing-masing 3 persen, serta Thailand 2,24 persen. Imbal hasil yang tinggi mencerminkan risiko yang lebih besar, termasuk risiko stabilitas ekonomi dan politik Indonesia.
Danantara tidak punya kemewahan sebesar Temasek atau Khazanah untuk menyediakan modal dasar. Tapi, itu baru sebagian soal.
Soal lain adalah bagaimana modal awal itu dipakai untuk menggandakan laba di masa depan, secara terus-menerus dan berkelanjutan, sehingga menjadi "dana abadi".
Dari Sepakbola Hingga Alibaba
SWF Norwegia, The Pension Fund Global, memanfaatkan modalnya untuk membeli saham-saham perusahaan blue-chip di bursa-bursa dunia. Hampir semua portfolio investasi SWF Norwegia itu ada di luar negeri. Norwegia kini memiliki 1,5 persen saham dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa saham dunia. Nampaknya kecil, tapi itu mewakili kepemilikan saham di sekitar 9.000 perusahaan terbaik di dunia. Dengan cara itu, Norwegia sebenarnya juga memanfaatkan bakat usaha terbaik dari seluruh dunia untuk mendatangkan laba terus-menerus, yang memungkinkan Norwegia menjadi salah satu welfare state paling mewah di dunia.
Kuncinya adalah diversifikasi: memutar uang SWF di sektor yang beragam di seluruh dunia, khususnya di negeri ekonomi maju, sehingga aman dan mendatangkan keuntungan yang stabil.
Cara Norwegia itu belakangan diikuti oleh SWF dari Timur Tengah. SWF dari Arab Saudi, misalnya, membeli perusahaan real-estate di Inggris. Atau membeli saham klub sepakbola seperti Newcastle United. Emirat juga menguasai saham Manchester City Group dan Qatar membeli Paris Saint Germain, serta menjadi sponsor klub terkenal seperti Arsenal dan Barcelona. Jeddah (Arab Saudi) juga belum lama ini menggelar pertandingan final supercopa Spanyol antara Barcelona vs Real Madrid.
Itu semua bagian dari langkah diversifikasi ekonomi, agar mereka tak tergantung hanya pada minyak yang akhirnya akan habis juga.
Temasek Singapura juga punya sebagian besar portofolio investasi (64 persen) di negeri-negeri ekonomi maju, termasuk Amerika Serikat. Portofolio investasi Khazanah Malaysia masih sekitar 53 persen di dalam negeri, termasuk dalam saham-saham BUMN-nya. Tapi, tahun lalu mulai agresif mendanai proyek investasi di luar negeri dan membeli saham perusahaan asing seperti Alibaba. Tujuannya? "Untuk mengurangi risiko ketergantungan pada ekonomi dalam negeri" dengan mengikuti jejak Singapura dan Norwegia.
Indonesia tidak punya kemewahan seperti itu. Alih-alih menanamkan modal di luar negeri, Indonesia sendiri masih membutuhkan banyak investasi untuk menumbuhkan ekonomi dan membuka lapangan kerja di dalam negeri. Apa kata orang jika uang Danantara dipakai untuk membiayai perusahaan asing sementara kita masih dihantui pengangguran dan kemiskinan kronis?
Terlebih lagi, Presiden Prabowo sendiri bersumpah akan mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen antara lain lewat pembangunan mega-proyek hilirisasi. Pemerintah berambisi membiayai sendiri sejumlah megaproyek itu dengan modal awal Danantara. "Kami tidak akan mengemis investasi asing," kata Presiden Prabowo. "Kita harus menjadi negeri mandiri."
Pernyataan gagah seperti itu tidak bertahan lama. Lewat Danantara, tak hanya Indonesia akan makin banyak menumpuk utang, tapi juga menjadi sasaran investasi asing yang menjadikan Indonesia sekadar pasar. Qatar, misalnya, dalam waktu dekat akan investasi untuk membangun dan menjual 1 juta apartemen/rumah di Indonesia. Dubai akan mengucurkan investasi senilai Rp160 triliun ke Indonesia, lewat kerjasama (joint-venture) dengan Danantara. Alih-alih berinvestasi ke luar negeri, Indonesia justru menjadi sasaran investasi makin empuk bagi SWF-SWF asing.
Layakkah Optimistis pada Danantara?
Di samping pertanyaan tentang sumber dana dan bagaimana dana itu diinvestasikan, optimisme kita kepada Danantara akan tergantung pada seberapa percaya kita kepada segelintir direksi Danantara dan pada Presiden Prabowo seorang.
Juga tergantung pada tekadnya untuk serius membangun kepercayaan (public trust), dengan menghabisi praktik korupsi serta konflik kepentingan di kalangan aktor-aktornya. Layakkah Presiden Prabowo menjadi "diktator yang baik hati"?
Penerbitan surat utang (obligasi) oleh BUMN, penjualan saham/aset dan pembentukan proyek joint-venture BUMN dengan investor asing bukan hal yang baru di Indonesia. Bedanya, lewat Danantara, semua itu kini bisa dilakukan dengan lebih cepat dan lebih mudah, melalui pengambilan keputusan yang tersentral di bawah presiden dan orang-orang terdekatnya.
Korupsi luas di tubuh BUMN selama ini membuat kita layak ragu, bahwa Danantara tidak mengalami nasib serupa, menjadi ajang pesta para maling. Pengalaman pengelolaan "dana abadi" model Danantara ini juga pernah memicu skandal kolusi dan korupsi kolosal, seperti yang terjadi pada Dana Taspen, Asabri dan Jiwasraya.
Makin tersentral keputusan, makin rawan manipulasi. Dan makin rapuh. Indonesia sedang menjudikan hidup-matinya pada hidup-mati Presiden Prabowo, serta kesehatan fisik dan kewarasan pikirannya. Semoga Presiden Prabowo dikaruniai umur panjang. Tapi, bagaimana jika Allah menghendaki lain?
Danantara sebagai gagasan sovereign wealth funds (SWF) tidak serta-merta buruk, dan sudah banyak diterapkan di banyak negara. Tapi, ada contoh baik, dan ada pula contoh buruk.
Khazanah Malaysia termasuk kategori baik. Namun, Malaysia juga punya SWF lain, 1Malaysia Development Berhad (1MDB), yang gagal. 1MDB bahkan menyeret nama Perdana Menteri Najib Razak dalam sebuah skandal korupsi terburuk sepanjang sejarah negeri itu. Kegagalan 1MDB terletak pada ketergantungannya terhadap utang serta pada tata kelola buruk, yang tidak transparan dan tidak akuntabel.
Tapi, bahkan jika Danantara sukses dan menguntungkan, masih ada pertanyaan besar: apakah itu benar-benar membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia?
Presiden Prabowo sudah menunjukkan tekadnya untuk melanjutkan program "hilirisasi" Jokowi. Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi, yang dipimpin oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, mengatakan Danantara akan membiayai proyek hilirisasi senilai Rp10.000 triliun sampai 2040. "Sekitar 90 persen di antaranya akan digunakan untuk hilirisasi sektor pertambangan," kata Bahlil.
Kutukan Hilirisasi
Itu dana yang kolosal. Hilirisasi adalah istilah populer Pemerintahan Jokowi. Ide dasarnya bagus, yakni membangun industri pengolahan sumber daya alam agar memberikan nilai tambah lebih besar. Tapi, dalam praktek, ada banyak kelemahan. Hilirisasi nikel tidak memberi pemasukan signifikan dan tidak meningkatkan kapasitas industri. Indonesia justru mengalami de-industrialisasi beberapa tahun ini, sementara dampak lingkungan dan sosialnya sangat menyedihkan.
Di tangan direksi Danantara yang erat berlatar belakang bisnis pertambangan, sebagian besar dana kolosal itu besar kemungkinan akan mengalir ke sektor yang cenderung hanya menguntungkan segelintir orang, dan sebaliknya justru memarjinalkan sektor lain seperti pertanian, kelautan dan kehutanan.
Jika pernyataan Menteri Bahlil benar, bahwa 90 persen dana akan dipakai untuk sektor pertambangan, maka Indonesia juga sedang menjudikan nasibnya pada satu sektor saja. Jika sektor itu kolaps atau merugi, runtuh pula negara.
Danantara bukan panasea. Bukan obat untuk semua masalah. Bahkan mungkin bukan obat sama sekali, melainkan racun, apalagi jika tata kelolanya buruk.
Danantara menuntut stabilitas ekonomi dan politik. Dan seperti sudah terjadi pada era Orde Baru, stabilitas politik sering harus dibayar dengan pemberangusan demokrasi maupun hak asasi manusia.
Watak utama Danantara juga mencerminkan cara berpikir sentralistik dan hirarkis (bahkan militeristik), yang memperkecil inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan secara luas serta memperkecil peluang mereka untuk ikut menikmati kesejahteraan secara adil dan merata.
*Penulis adalah Pendiri Yayasan Zamrud Khatulistiwa
Artikel Terkait
Viral Penampakan Masjid Jokowi di Abu Dhabi, Reaksi Netizen Bikin Ngakak
Prabowo Akan Bayar Utang Whoosh Pakai Uang Negara yang Dikembalikan Koruptor
Aplikasi Maxim: Solusi Praktis untuk Perjalanan dan Penghasilan Tambahan di Indonesia
AHY Pastikan APBN Bakal Ikut Menanggung Utang Whoosh