IRONI! 75% Anak Indonesia Bisa Membaca Tapi Tak Paham Isinya, Dipimpin Gibran Yang Tak Suka Membaca – Bagaimana?
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Selembar halaman penuh huruf tak menjamin pemahaman. Bagi jutaan anak Indonesia, membaca ibarat menatap bayangan: tampak tapi tak tergenggam.
Mereka bisa mengeja, melafal kata demi kata, tetapi ketika ditanya apa artinya, jawabannya menggantung di udara.
“Kita menghadapi kenyataan pahit: 75 persen anak Indonesia bisa membaca, tapi tidak paham apa yang dibaca,” ujar Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah yang juga dikenal sebagai akademisi pendidikan, dalam sebuah diskusi kebangsaan, April lalu.
Pernyataan Mu’ti bukan retorika kosong. Ia mengacu pada sejumlah data internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan oleh OECD.
Dalam laporan tahun 2018, Indonesia berada di peringkat 74 dari 79 negara untuk kemampuan membaca.
Sekitar 7 dari 10 siswa Indonesia tidak mencapai standar minimum literasi membaca yang ditetapkan.
Masalahnya bukan sekadar soal buku yang kurang atau guru yang abai. Ada krisis yang lebih dalam: metode pendidikan kita tak mengajarkan anak berpikir, hanya menghafal.
“Anak-anak kita dibentuk menjadi penghafal, bukan pemikir. Mereka dicekoki, bukan diajak berdialog,” kata Mu’ti.
Di sebuah sekolah dasar negeri di pinggiran Kabupaten Cianjur, seorang guru Bahasa Indonesia mengakui bahwa murid-muridnya mampu membaca paragraf pendek dalam buku pelajaran.
Namun ketika ia menanyakan isi bacaan, hanya beberapa yang bisa menjawab dengan tepat. Sisanya, terdiam atau menebak-nebak.
“Bahkan kadang mereka cuma mengulang kalimat dari teks tanpa mengerti maksudnya,” ujar guru itu, enggan disebut namanya.
Hal ini menunjukkan bahwa literasi fungsional – kemampuan memahami dan menggunakan informasi tertulis dalam kehidupan sehari-hari – masih menjadi barang mewah bagi banyak siswa.
Situasi ini diperparah dengan ketimpangan mutu pendidikan antara kota dan daerah.
Akses ke buku bacaan yang baik, pelatihan guru, hingga kurikulum yang mendukung kemampuan berpikir kritis belum merata.
“Selama pendidikan hanya mengejar nilai ujian, bukan kualitas pemahaman, maka krisis ini akan terus berulang,” ujar Najeela Shihab, pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, dalam sebuah forum literasi nasional.
Pemerintah sebenarnya telah menyadari problem ini. Kurikulum Merdeka yang mulai diterapkan bertahap sejak 2022 misalnya, mencoba menekankan kompetensi, bukan hanya hafalan.
Namun implementasinya di lapangan masih tambal sulam. Banyak guru belum siap karena tidak mendapatkan pelatihan yang memadai.
Di sisi lain, budaya membaca di rumah juga tak cukup kuat. Sebuah riset menunjukkan anak Indonesia lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawai daripada membuka buku.
Abdul Mu’ti menegaskan bahwa solusi atas krisis ini tidak bisa ditunda.
“Literasi bukan hanya urusan sekolah, tapi tanggung jawab bangsa. Kalau kita gagal mendidik generasi yang memahami apa yang mereka baca, kita sedang mencetak rakyat yang mudah dibohongi,” katanya.
Ironis, memang. Tapi siapa yang peduli ironi, jika negeri ini toh lebih sibuk memoles citra ketimbang merawat nalar?
Mari kita tengok istana: Gibran Rakabuming Raka, kini Wakil Presiden Republik Indonesia, naik panggung bukan karena prestasi intelektual, apalagi gagasan.
Ia naik karena garis keturunan. Tentu, ini bukan nepotisme—kita hanya sedang menghargai bibit unggul, katanya.
Putra sulung Jokowi itu bahkan terang-terangan mengatakan tidak suka membaca. Bahkan saat menjadi walikota, urusan riset dan bacaan tebal bukan prioritasnya.
Ia lebih suka blusukan digital lewat TikTok dan branding gaya muda—karena siapa butuh isi jika kulit sudah cukup menarik?
Ayahnya, Presiden Joko Widodo, juga bukan dikenal karena keintiman dengan buku.
Ia pernah menjelaskan bahwa dalam mengambil keputusan, ia lebih mengandalkan feeling ketimbang literatur.
Mungkin itu pula sebabnya proyek-proyek besar seperti IKN digenjot tanpa telaah matang. Karena membaca laporan itu berat, lebih baik mendengar bisikan lingkaran dalam.
Kini negeri ini dipimpin oleh mereka yang tak suka membaca, sedang rakyatnya hanya bisa membaca tanpa mengerti.
Kombinasi sempurna untuk mencetak generasi yang mudah diarahkan, cukup diberi slogan dan tontonan.
Pendidikan jadi ritual tahunan, bukan pembebasan. Kurikulum berubah tiap ganti menteri, murid dan guru kebingungan, tapi tak pernah ada pertanyaan: Mengapa kita tak bertumbuh secara kritis?
“Indonesia darurat literasi!” seru para pengamat. Tapi suara itu tenggelam di antara deru anggaran pembangunan IKN dan selebrasi 17-an Rp 87 miliar. Toh, membaca itu tidak menghasilkan elektabilitas. Yang penting visual, bukan verbal.
Mungkin di masa depan, kita tidak perlu sekolah. Cukup ikut kursus jadi viral, hafal jargon, dan siapkan koneksi ke istana.
Maka kelak anak-anak kita bukan hanya bisa membaca tanpa paham, tapi juga bisa memimpin tanpa tahu arah. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Beathor Suryadi: Yang Kami Lihat di UGM Bukan Ijazah Jokowi
Letjen TNI Kunto Dimutasi Usai Sang Ayah, Try Sutrisno, Ikut Dukung Usulan Pemecatan Wapres Gibran
GIBRAN: 19 Juta Lapangan Kerja - Ilusimu Tidak Membuka Lowongan Kerja Baru!
Jokowi: Tuduhan Ijazah Palsu Fitnah Kejam, Rusak Nama Baik dan Martabat