Kisruh Mutasi Letjen Kunto, Beathor Suryadi: Panglima TNI Harus Mundur

- Minggu, 04 Mei 2025 | 18:50 WIB
Kisruh Mutasi Letjen Kunto, Beathor Suryadi: Panglima TNI Harus Mundur


Keputusan mendadak Presiden Prabowo Subianto yang membatalkan pencopotan Letjen TNI Kunto Arief Wibowo dari jabatan strategis Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I memicu gelombang kritik dan spekulasi tajam. Salah satu kritik paling keras datang dari politisi senior PDI Perjuangan, Beathor Suryadi, yang mendesak agar Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengundurkan diri.

Menurut Beathor, kisruh pembatalan mutasi Letjen Kunto bukan hanya sekadar dinamika internal TNI, tetapi menyentuh langsung prinsip-prinsip tata kelola dan marwah institusi militer. Ia menilai bahwa surat mutasi Letjen Kunto sudah melalui mekanisme yang sah, disusun oleh Staf TNI secara profesional, dan telah berada di meja Presiden untuk disahkan.

“Staf TNI pasti bekerja dengan baik, surat mutasi Letjen Kunto itu telah sesuai proses dan prosedur dan sudah di meja Presiden Prabowo. Tapi setelah itu Presiden berubah sikap. Namun, demi menjaga marwah kemiliteran, Jenderal Agus sebaiknya mengundurkan diri,” ujar Beathor kepada www.suaranasional.com, Ahad (4/5).

Surat keputusan mutasi perwira tinggi TNI yang sebelumnya memuat nama Letjen Kunto sebagai salah satu yang akan digeser dari posisinya mendadak tidak berlaku. Penjelasan resmi dari dari Mabes TNI terkait pembatalan ini sangat normatif.

Kunto, yang juga dikenal sebagai putra mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, memang dikenal luas di kalangan militer sebagai sosok perwira berdedikasi, berpengalaman, dan memiliki jaringan kuat. Ia juga disebut-sebut memiliki pandangan strategis yang tidak selalu sejalan dengan lingkaran kekuasaan saat ini. Situasi ini memunculkan spekulasi bahwa pembatalan mutasi lebih kental dengan aroma politik ketimbang pertimbangan profesionalitas militer.

Desakan agar Panglima TNI mengundurkan diri adalah langkah yang tidak lazim dalam konteks militer Indonesia. Namun, bagi Beathor, mundurnya Jenderal Agus bentuk tanggung jawab yang telah mencopot Letjen Kunto dan diduga atas intervensi mantan Presiden Jokowi.

Secara struktural, memang Panglima TNI berada di bawah Presiden sebagai panglima tertinggi. Namun, dalam praktiknya, TNI memiliki ruang otonomi dalam menentukan mutasi dan rotasi jabatan berdasarkan sistem merit dan penilaian objektif. Ketika keputusan yang telah disepakati dalam lingkungan militer dibatalkan tanpa argumen rasional, maka integritas Panglima dipertaruhkan.

Beathor juga menyatakan bahwa kasus ini bisa menjadi preseden buruk bagi soliditas TNI.

“Kalau mutasi bisa dilakukan secara politis, apalagi pada jabatan penting seperti Pangkogabwilhan, maka ke depan akan sulit menjaga independensi dan kepercayaan internal. Panglima bisa saja jadi bulan-bulanan keputusan politik,” ujarnya.

Batalnya pencopotan Letjen Kunto bukan sekadar urusan personal. Posisi Pangkogabwilhan I membawahi wilayah strategis termasuk Sumatera dan sebagian Kalimantan, serta merupakan garda pertahanan pertama terhadap ancaman lintas batas. Ketika terjadi ketidakpastian di pucuk pimpinan wilayah itu, efek domino terhadap kesiapan dan kepemimpinan bisa muncul.

Selain itu, peristiwa ini juga bisa menurunkan kepercayaan perwira tinggi terhadap sistem promosi dan rotasi jabatan. Jika intervensi politik semakin dalam, akan sulit mengharapkan profesionalisme tumbuh utuh di tubuh TNI.

Beathor sendiri menegaskan bahwa ia menyuarakan hal ini bukan sebagai bentuk permusuhan Panglima TNI, tetapi sebagai bentuk keprihatinan terhadap kondisi TNI pasca-reformasi.

“Bangsa Indonesia ingin TNI kuat, disiplin, dan profesional. Tapi kalau sistemnya dicederai, maka lebih baik pemimpinnya mengundurkan diri secara terhormat ketimbang tunduk pada kekacauan,” tutupnya.

Foto: Beathor Suryadi (Dok Pribadi)

Komentar