Resiliensi atau Retorika? 'Membedah Narasi Sri Mulyani di Tengah Kinerja Ekonomi Buruk'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,87% pada kuartal I-2025 sebagai tanda “resiliensi” di tengah tantangan global, wajar bila publik justru kebingungan.
Di balik rentetan istilah teknokratik dan narasi optimisme, tersimpan ironi: pertumbuhan di bawah 5% sejatinya adalah sinyal bahwa target-target ambisius pemerintahan Prabowo-Gibran tak tercapai.
Bahkan, data ini seolah menjadi bel peringatan dini atas krisis yang sedang mengintai.
Pertumbuhan ekonomi yang stagnan bukanlah sekadar angka; ia adalah penentu utama bagi perluasan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan, dan daya beli masyarakat.
Ketika angka itu tak mencapai ekspektasi—apalagi dalam konteks pemerintahan baru yang menjanjikan “ekonomi berdikari”—maka yang terdampak pertama adalah kesempatan kerja.
Dan ini bukan sekadar asumsi: PHK massal telah mulai terjadi, bahkan sebelum Prabowo benar-benar menjalankan program-program janjinya secara penuh.
Dunia usaha, terutama sektor manufaktur dan startup digital, perlahan mulai menurunkan kapasitas produksi dan memangkas tenaga kerja.
Sri Mulyani mungkin benar bahwa ketidakpastian global—perang, suku bunga tinggi, dan pelemahan permintaan dunia—menjadi faktor eksternal yang memengaruhi kinerja perekonomian nasional. Tapi itu bukan jawaban yang utuh.
Justru di sinilah negara seharusnya hadir dengan strategi mitigasi yang konkret, bukan sekadar optimisme dan jargon koordinasi lintas kementerian.
Jika daya beli rakyat masih harus ditopang oleh insentif jangka pendek seperti diskon listrik dan tarif tol, bukankah itu tanda bahwa fondasi ekonomi sedang rapuh?
Lebih lanjut, investasi, yang sejatinya menjadi motor penggerak pertumbuhan jangka panjang, hanya tumbuh 2,12%. Sementara konsumsi pemerintah malah terkontraksi.
Apa artinya? Negara tidak cukup agresif mendorong belanja produktif, dan pelaku usaha masih enggan menanamkan modal karena efek “wait and see” terhadap arah pemerintahan baru.
Di tengah narasi besar tentang hilirisasi dan makan bergizi gratis, kepercayaan pasar rupanya belum pulih. Kinerja sektor konstruksi—indikator paling awal geliat investasi—hanya tumbuh 2,18%.
Tak bisa dipungkiri, Sri Mulyani adalah teknokrat kawakan dengan segudang pengalaman dan jaringan internasional.
Namun, narasi yang dibawanya kali ini terkesan terlalu normatif dan defensif.
Ia seolah lupa, bahwa Prabowo sebagai Presiden terpilih telah mengusung janji-janji bombastis seperti pertumbuhan ekonomi di atas 6% dan transformasi ekonomi besar-besaran.
Dengan angka 4,87%, maka realitas sedang menunjukkan hal sebaliknya: janji tidak sejalan dengan kenyataan.
Lebih membingungkan lagi, pemerintah justru menonjolkan keberhasilan produksi beras sebagai titik terang, seolah itu cukup untuk mengimbangi tekanan pengangguran dan stagnasi investasi.
Bahkan sektor industri pengolahan, yang mestinya menjadi lokomotif pasca-hilirisasi tambang, hanya tumbuh 4,55%.
Apakah produksi beras bisa menyerap angkatan kerja terdidik? Apakah kenaikan produksi padi bisa mengkompensasi melemahnya ekspansi sektor teknologi dan konstruksi?
Kini, masalah terbesar bukan sekadar pertumbuhan yang rendah, tetapi sulitnya menumbuhkan kinerja lebih kuat di kuartal-kuartal berikutnya.
Ketika sentimen bisnis melemah dan daya beli hanya bertahan karena insentif, maka tantangan struktural makin nyata: rendahnya produktivitas, ketimpangan antarwilayah, inefisiensi birokrasi, dan lemahnya industrialisasi di luar tambang.
Pertumbuhan ekonomi 4,87% bukanlah bukti ketangguhan. Ia adalah panggilan darurat.
Bukan saatnya menteri menyusun narasi penghibur, tapi menyusun kebijakan transformatif. Indonesia butuh kejujuran data dan keberanian sikap.
Jika tidak, angka pertumbuhan yang rendah ini akan menjadi awal dari spiral ketidakpercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola ekonomi secara efektif. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Prabowo Sebut Ratusan Siswa Keracunan MBG Karena Makan Tak Pakai Sendok, Publik Heran: Presiden Udah Ketularan Bodohnya Gibran!
Mengerucut Satu Nama! Kardinal Ini Disebut Jadi Kandidat Terkuat Paus Jelang Conclave
Israel Kalap, Serang Sekaligus Palestina, Yaman, Lebanon, dan Suriah
Tuding Nabi Muhammad Sosok Fiktif, LBH Ansor Jember Polisikan Youtuber Donald Ignatius