Negara Tak Hadir, Preman Menjadi Hukum

- Minggu, 11 Mei 2025 | 13:50 WIB
Negara Tak Hadir, Preman Menjadi Hukum


DI balik sosok keras Hercules Rosario Marshall, seorang figur jalanan yang kerap dikaitkan dengan kekuasaan dan kontroversi, terdapat refleksi mendalam tentang absennya negara dalam menjalankan mandat konstitusionalnya: melindungi rakyat, menegakkan hukum, dan menjamin keadilan sosial. 

Pandangan tajam ini datang dari Ian Douglas Wilson, akademisi asal Australia yang meneliti secara mendalam dinamika kekuasaan informal di Indonesia pasca-Orde Baru.

Dalam bukunya “The Politics of Protection Rackets in Post-New Order Indonesia” (Politik Jatah Preman), Wilson menempatkan Hercules bukan sebagai pengecualian, tetapi sebagai simptom struktural dari negara yang gagal hadir. Ketika hukum tak lagi menyentuh lorong-lorong gelap kehidupan sosial, dan ketika negara tidak lagi mampu menciptakan ketertiban yang adil, maka kekuatan informal mengambil alih. Dalam ruang kosong itulah, tokoh-tokoh seperti Hercules tumbuh bukan hanya sebagai pelaku, tapi sebagai “makelar kekuasaan”, sebagai solusi kelam dari tatanan hukum yang timpang.

Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa negara berdiri untuk menciptakan keadilan sosial (Pembukaan UUD 1945), menjamin ketentraman masyarakat, serta menumbuhkan kehidupan berbangsa yang beradab. Tapi realitas di lapangan, seperti yang ditulis Wilson, menunjukkan sebaliknya: hukum hanya hadir dalam pasal, bukan dalam praksis. Dalam dunia yang tak menjamin keadilan, kekerasan menjadi mata uang sosial yang lebih dipercaya daripada proses hukum formal.

Fenomena ini bukan sekadar kegagalan hukum, melainkan krisis etika dan budi pekerti dalam pengelolaan negara. Ketika ormas, proposal “pengamanan”, hingga jejaring politik digunakan sebagai topeng kekuasaan koersif, maka kita menghadapi bentuk baru premanisme yang tak lagi bersenjata, tapi bersurat resmi dan berbalut jas. Mereka tidak sekadar meminta jatah, tetapi menciptakan logika jatah sebagai bentuk “kontribusi sosial”.

Ironi terbesar, seperti dicatat Wilson, adalah bahwa kekuasaan informal ini justru disuburkan oleh elite formal yang menggunakannya untuk mengerjakan hal-hal yang tak bisa dilakukan secara sah. Preman, dalam banyak kasus, bukan musuh negara, melainkan mitra bayangan dalam demokrasi yang cacat.

Di tengah upaya industrialisasi dan masuknya investasi asing seperti perusahaan otomotif BYD, kehadiran para “mitra lingkungan” yang menawarkan stabilitas dengan nada samar adalah alarm keras. Ini bukan sekadar praktik pemalakan, tapi refleksi dari negara yang tidak hadir dalam menjamin kepastian hukum dan ketentraman warga.

Pertanyaan besar yang menggantung adalah: apakah kita sungguh hidup dalam negara hukum dan demokrasi? Ataukah kita sedang berada dalam negara bayangan, di mana kekuasaan sejati ada di tangan mereka yang bisa mengendalikan rasa takut tanpa perlu berteriak?

Wilson tak menulis kisah kriminal. Ia menulis epitaf tentang negara yang kehilangan pijakan moralnya. Dan jika kita tidak segera menjawab panggilan ini dengan pembenahan sistemik, penegakan hukum yang berkeadilan, serta restorasi etika publik, maka sejarah akan mencatat: premanisme bukan lagi penyimpangan, melainkan konsekuensi logis dari negara yang lalai hadir.

Inilah saatnya negara berhenti bersandar pada kekuasaan bayangan, dan kembali menjadi pelindung sejati bagi rakyatnya dengan adil, beradab, dan bermartabat. rmol.id

Oleh: Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla
Penulis adalah pemerhati kebangsaan
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan NARASIBARU.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi NARASIBARU.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar