Semiotika Sosial Kejatuhan Jokowi: 'Penjahat Kemanusiaan Penuh Kezaliman'
Oleh: Buni Yani
Publik, terutama mereka yang pernah menjadi pendukung Prabowo pada Pemilu 2019, tidak sabar dengan kelambanannya memproses hukum Jokowi penjahat kemanusiaan yang telah memerintah dengan penuh kezaliman selama 10 tahun.
Sebulan, dua bulan, bahkan setelah 100 hari pun Jokowi masih pecicilan ke mana-mana yang membuat rakyat marah.
Lazimnya pemerintahan baru di banyak tempat di dunia, seratus hari dianggap sebagai angka yang cukup adil untuk menilai kinerja presiden terpilih.
Namun pada bulan keempat pun Jokowi masih seperti presiden periode ketiga.
Bulan kelima juga demikian. Banyak menteri kabinet Prabowo sowan ke Solo, menjadikan pemerintahan Prabowo mengalami gerhana gelap, dan publik yang berpikiran waras tidak bisa menerima kejadian ini.
Dugaan matahari kembar bukan lagi isapan jempol. Jokowi dipandang sedang mempersiapkan Gibran menjadi presiden untuk Pemilu 2029—tetapi lebih cepat dari itu lebih baik.
Sementara itu di pihak lain, publik melihat Gibran adalah anak kecil yang belum cukup umur, tidak memiliki kemampuan sama sekali bahkan untuk hal-hal sederhana, dan naiknya pun menjadi pejabat publk diperoleh melalui proses penuh kecurangan karena menukangi konstitusi.
Kesabaran publik sudah habis begitu memasuki bulan keenam. Jokowi kelihatan semakin kuat mengkonsolidasikan kekuatannya, sementara di pihak lain Prabowo semakin lemah di bawah bayang-bayang gerhana yang diciptakan Jokowi.
Namun Prabowo menjanjikan akan ada kejutan setelah enam bulan memerintah.
Publik terlanjur tidak percaya. Meniru ucapan Prabowo yang viral, banyak orang mengatakan, ah itu pasti omon-omon belaka. Publik sudah terlanjur kehilangan harapan.
Bukankah Prabowo telah mengatakan Jokowi adalah guru politiknya dan berteriak “hidup Jokowi”? Bukankah Prabowo telah berjanji akan melanjutkan program-program gurunya itu?
Namun plot twist tak terduga membuat ternak Jokowi dan geng Solo shock berat. Belum genap enam bulan, gempa politik memang betul-betul terjadi.
Janji Prabowo itu memang benar adanya. Tiba-tiba purnawirawan TNI mengajukan delapan tuntutan yang salah satunya adalah mendesak penggantian Gibran anak haram konstitusi.
Para purnawirawan meniupkan terompet perlawanan untuk menyelamatkan republik yang sedang sekarat akibat ulah Jokowi.
Delapan tuntutan itu tertuang dalam sebuah dokumen yang ditandatangani oleh lima jenderal purnawirawan TNI yaitu Fachrul Razi, Tyasno Soedarto, Slamet Soebijanto, Hanafi Asnan, dan Try Sutrisno. Di antara kelima nama itu, yang menjadi bintang tentu saja adalah Try Sutrisno.
Tidak saja karena senioritas Try di TNI, tetapi juga karena dia pernah menjadi wakil presiden. Tuntutan itu didukung oleh 103 jenderal purnawirawan, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel.
Para purnawirawan menyampaikan delapan tuntutan itu dalam sebuah acara pada 17 April 2025, atau tiga hari sebelum Presiden Prabowo merampungkan enam bulan pemerintahannya.
Yang menarik, dokumen yang ditandatangani oleh para purnawirawan itu sudah dibuat pada bulan Februari 2025.
Pada saat terjadi serangan ke Gibran, bergulir pula dengan lancar dan menjadi perhatian nasional, kasus ijazah palsu Jokowi yang sudah bertahun-tahun jadi polemik dan hampir dilupakan.
Munculnya ahli forensik digital Rismon Sianipar menyuntikkan darah baru pada penelisikan ijazah Jokowi yang punya banyak kejanggalan itu.
Hasil penelitian Rismon melengkapi penelitian ahli digital Roy Suryo dan dokter Tifauzia Tyassuma, dan ini semakin meyakinkan publik bahwa ijazah UGM Jokowi memang bermasalah.
Rismon Sianipar dan Roy Suryo dengan sangat meyakinkan menunjukkan hasil penelitian mereka menggunakan aplikasi digital bahwa foto ijazah UGM Jokowi tidak identik dengan foto Jokowi sekarang ini.
Kesimpulan mereka, ijazah UGM Jokowi yang beredar luas menggunakan foto diri orang lain.
Bahkan foto diri tersebut kelihatan seperti foto yang ditempelkan di atas stempel karena tidak ada warna merah tinta stempel di atasnya.
Ini temuan baru yang tentu saja sangat mengguncang dan membuat heboh politik nasional. Perlawanan buzzer dan ternak Jokowi tenggelam oleh besarnya magnitude dan skala perbincangan publik atas kasus ini.
Mereka tidak bisa lagi melawan narasi yang sudah masuk ke dalam kesadaran publik bahwa Jokowi memang pembohong yang ijazahnya palsu.
Perlawanan sia-sia ini menunjukkan semakin lemahnya Jokowi dan gerbong di belakangnya.
Dua gempuran dahsyat ini membuat Jokowi dan geng Solo mulai gemetaran dan kelihatan oleng. Dalam sebuah video menanggapi laporannya ke Polda Metro Jaya, suara Jokowi mulai kedengaran was-was dan khawatir.
Meskipun dia berusaha tampil tenang dan berusaha memposisikan diri sebagai pihak yang terzalimi karena telah “dihina sehina-hinanya”, suaranya tak bisa berbohong. Dia kelihatan lelah dan risau.
Bagaimana kita bisa memaknai dua kejadian penting ini menggunakan semiotika sosial sebagai pisau analisis? Apakah ada keterlibatan Prabowo?
Apakah dua kejadian itu merupakan perwujudan dari janji Prabowo bahwa akan ada kejutan setelah enam bulan menjabat?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang beredar sekarang ini di banyak grup WA, obrolan santai, dan diskusi serius.
Bahwa Prabowo adalah orang Jawa dari garis bapak dan Minahasa dari garis ibu adalah fakta yang harus kita catat.
Prabowo lahir dari keluarga yang heterogen baik dari segi latar belakang agama maupun suku bangsa.
Persentuhannya dengan budaya dan pendidikan Eropa sejak SMP menjadikannya berwawasan global—dan menambah pluralitas dalam dirinya.
Prabowo kemudian menikah dengan Titiek Soeharto yang beragama Islam, dan dekat dengan tokoh-tokoh Islam sejak muda.
Di lettingnya, Prabowo dimasukkan ke dalam perwira “hijau” karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh Islam itu.
Pergaulannya yang luas membuat Prabowo menjadi orang yang semakin lentur dalam beradaptasi dengan budaya dan lingkungan baru.
Sebagai orang yang lahir dari keluarga setengah Jawa, Prabowo cukup memahami unggah-ungguh Jawa.
Dia paham apa itu high-context culture yang melekat dalam budaya Jawa—yaitu suatu tradisi yang menghargai komunikasi dengan simbol dan gestur, bukan bahasa verbal yang terang-terangan.
Yaitu suatu budaya yang mensyaratkan pemahaman pada apa yang tersirat di samping pada apa yang tersurat.
Karenanya, bagi mereka yang memahami budaya Jawa dengan baik, pendekatan Prabowo pada kompleksitas hubungannya dengan Jokowi harus dipahami dalam kerangka ini.
Prabowo tahu bahwa rakyat menolak Gibran dengan keras, tetapi dia harus mengesampingkan penolakan itu untuk tujuan yang lebih besar.
Dia juga harus pintar dan hati-hati menangani tuntutan mengadili Jokowi karena Jokowi telah berjasa mengantarkannya menang pada Pemilu 2024.
Memahami konteks sosial dan budaya ini, maka bagi sebagian orang, teriakan “hidup Jokowi” dan pujian-pujiannya itu memiliki arti sebaliknya.
Bukan apa yang terkatakan, tetapi apa yang terjadi dan berlaku di ruang publik secara nyata itulah pesan yang sebenarnya.
Bahwa kemudian Prabowo membatalkan mutasi Letjen Kunto dari jabatan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I menjadi Staf Khusus Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) untuk digantikan oleh orangnya Jokowi merupakan sinyal nyata Prabowo sedang melakukan operasi senyap: puji terus, tetapi gergaji kekuatan Jokowi sedikit demi sedikit.
Langkah catur Prabowo yang kemudian tidak mengizinkan mundurnya Hasan Nasbi “kepala babi”—orang yang sejak awal dikenal sebagai orangnya Jokowi—sebagai juru bicara Istana dimaksudkan untuk menimbulkan kesan draw, permainan berimbang.
Bahwa dikembalikannya Hasan Nasbi menjadi juru bicara Istana merupakan pertukaran atas dikembalikannya Letjen Kunto ke posisi semula.
Tetapi semua analis tentu paham bahwa posisi juru bicara Istana jelas jauh kalah strategis dibandingkan dengan posisi Pangkogabwilhan.
Bila terjadi huru-hara politik, yang akan punya kontribusi menyelamatkan posisi Prabowo secara riil di lapangan bukanlah juru bicara Istana, tetapi Pangkogabwilhan. Sesederhana itu kita membaca langkah bidak permainan catur ini.
Bila naskah delapan tuntutan para purnawirawan sudah dipersiapkan sejak Februari, dan Prabowo dengan begitu meyakinkan berjanji akan ada kejutan setelah enam bulan, maka ini sangat susah dianggap sebagai hal yang terpisah dan berjalan sendiri-sendiri.
Kedekatan Prabowo dan Try Sutrisno yang duduk satu meja dalam acara halal-bihalal purnawirawan TNI AD memperkuat analisis bahwa Prabowo menyetujui penggantian Gibran. Bahkan mungkin sudah lama Prabowo berkomunikasi dengan para purnawirawan.
Untuk kasus ijazah palsu pun Prabowo kelihatan membiarkan perkara ini berkembang seperti apa adanya dan membiarkan Jokowi berjuang sendiri.
Prabowo tidak kelihatan melindungi Jokowi—hal yang tentu berbanding terbalik dengan puja-puji verbal terhadap “mentor” politiknya itu. Sangat besar kemungkinan inilah yang membuat Jokowi kelihatan khawatir dan risau.
Harapan Jokowi satu-satunya kini terletak pada Kapolri Listyo Sigit, orang dekatnya, yang sedang menangani proses hukum ijazahnya. Penyelidikan sudah berlangsung selama sebulan sejak adanya pengaduan ke Bareskrim.
Penyelidikan sudah rampung sekitar 90 persen, dan sisa 10 persen menunggu hasil uji laboratorium forensik Bareskrim.
Drama ini penuh ketegangan. Rakyat hanya akan percaya bila hasil uji forensik menunjukkan ijazah Jokowi memang palsu adanya.
Bila dinyatakan asli, rakyat akan menolaknya, rakyat tidak akan percaya. Penyebabnya dua hal.
Pertama, karena kepolisian masih di bawah Sigit Listyo yang merupakan orang dekat Jokowi. Kedua, karena kepolisian selama ini punya reputasi buruk dalam merekayasa kasus.
Katakanlah dilakukan uji forensik oleh pihak kedua, selain oleh Bareskrim, lalu ternyata ijazah Jokowi memang asli adanya, ini pun tidak akan memadamkan perlawanan.
Jokowi akan dilaporkan kembali karena telah membuat gaduh, karena baru mengeluarkan ijazahnya yang asli setelah bertahun-tahun kemudian.
Alhasil, Jokowi sekarang maju kena mundur kena. Yang jelas rakyat menginginkan Jokowi dihukum seberat-beratnya akibat kezalimannya selama 10 tahun.
Kejatuhan Jokowi begitu nyata. Partai-partai politik yang dulu menjadi sekutunya dan begundal-begundal yang selalu mendampinginya sedang melakukan perhitungan.
Sebagian besar mereka sedang menunggu di pinggir gawang untuk melakukan tendangan telak begitu Jokowi sedang sekarat politik.
Mereka-mereka yang dulu begitu intensif menjilat Jokowi adalah orang yang paling cepat pindah kubu begitu Jokowi terdesak dan menemui ajal politik.
Semiotika sosial kejatuhan Jokowi sangatlah tidak rumit untuk dibaca bahkan oleh orang awam sekalipun.
Zaman informasi yang mempercepat jalannya sejarah tidak berpihak kepadanya. Bahkan kebenaran sekalipun tak akan menolongnya.
Karena dia terlanjur menjadi musuh bersama rakyat akibat kezalimannya yang tak termaafkan. ***
Artikel Terkait
Heboh Polantas di Medan Diduga Minta Transfer Uang Tilang Rp 200 Ribu, Kini Dipatsus 30 Hari
Mengejutkan! Begini Kesaksian Penulis Buku Jokowi Undercover Soal Ijazah Palsu
Heboh! Pernikahan Diduga Sesama Jenis di Sulsel, Kepala Desa Ungkap Fakta Ini
PSI Ingin Jokowi Jadi Ketua Umum Gantikan Kaesang