Di Kabupaten Pati, suasana yang biasanya tenang berubah drastis. Jalanan dipenuhi massa dari berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu. Mereka membawa spanduk, poster, dan pengeras suara, menuntut Bupati Sudewo mundur dari jabatannya. Suara teriakan, yel-yel, dan ketukan drum membahana, menyuarakan kemarahan rakyat yang sudah lama menumpuk. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen, pemutusan hubungan kerja terhadap hampir 200 tenaga honorer di RSUD RAA Soewondo Pati, serta kebijakan regrouping sekolah yang berdampak pada banyak guru honorer, menjadi pemicu utama demonstrasi besar-besaran ini.
Di gedung DPRD Kabupaten Pati, ketegangan politik memuncak. Para anggota dewan terlihat sibuk berdiskusi, menelaah dokumen, dan mempersiapkan hak angket untuk menilai tindakan Bupati Sudewo. Panitia Khusus (Pansus) dibentuk untuk menyelidiki dugaan pelanggaran yang dilakukan Bupati. Setiap keputusan yang diambil akan menjadi penentu nasib seorang kepala daerah yang dipilih rakyat, tetapi kini menghadapi tuntutan hukum dan moral yang sangat berat.
Kebijakan yang memicu kontroversi menjadi sorotan utama. Pertama, kenaikan PBB-P2 yang sangat tinggi menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat pedesaan dan perkotaan. Warga yang sebelumnya sudah berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kini harus membayar pajak dengan beban yang jauh lebih besar. Demonstran membawa dokumen dan bukti kenaikan pajak yang mereka anggap tidak adil, menyerukan agar DPRD segera mengambil tindakan tegas terhadap Bupati Sudewo.
Selain itu, pemutusan hubungan kerja terhadap 220 tenaga honorer di RSUD RAA Soewondo Pati menjadi isu yang menyentuh hati masyarakat. Banyak dari tenaga honorer ini telah mengabdi bertahun-tahun, mengabdikan tenaga dan pikiran demi kesehatan warga. Pemutusan sepihak tanpa pesangon dan solusi pekerjaan yang jelas memicu kemarahan warga dan menggerakkan aksi solidaritas dari berbagai elemen masyarakat, termasuk organisasi profesi dan lembaga sosial.
Kebijakan regrouping sekolah juga menjadi sorotan tajam. Banyak guru honorer kehilangan pekerjaan akibat perubahan struktur sekolah. Dampak kebijakan ini tidak hanya pada kehidupan guru, tetapi juga pada kualitas pendidikan di Kabupaten Pati. Orang tua murid, guru, dan tokoh masyarakat menyuarakan kekhawatiran mereka, menuntut agar DPRD segera memanggil Bupati untuk mempertanggungjawabkan kebijakan tersebut.
Di tengah tekanan ini, Bupati Sudewo tetap menegaskan posisi demokratisnya sebagai kepala daerah terpilih. Ia menyatakan bahwa dirinya dipilih melalui proses pemilihan yang sah dan demokratis, namun juga menghormati hak DPRD untuk menggunakan hak angket dan membentuk Pansus. Pernyataan ini menunjukkan dilema klasik dalam demokrasi: kepala daerah memiliki mandat politik dari rakyat, tetapi mandat itu tidak bebas dari tanggung jawab hukum dan etika.
Masyarakat Pati menyaksikan semua ini dengan mata terbuka lebar. Mereka memahami bahwa demokrasi bukan hanya soal memilih kepala daerah, tetapi juga soal menuntut pertanggungjawaban atas kebijakan yang diambil. Setiap langkah Bupati, setiap kebijakan, kini diawasi secara ketat. Demonstrasi tidak hanya menjadi alat protes, tetapi juga sarana pendidikan politik bagi masyarakat untuk memahami mekanisme checks and balances dalam pemerintahan daerah.
Proses pemakzulan melalui DPRD berjalan dengan ketat. Hak angket digunakan untuk memanggil pejabat terkait, mengumpulkan dokumen resmi, dan mendengarkan kesaksian masyarakat. Setiap bukti diperiksa dengan teliti. Panitia Khusus juga melakukan konsultasi dengan ahli hukum untuk memastikan semua prosedur sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini menegaskan bahwa proses pemakzulan bukan hanya politik, tetapi berbasis hukum dan fakta.
Dalam proses ini, rakyat dan legislatif bekerja sama sebagai pengawas kekuasaan. Masyarakat menuntut akuntabilitas, DPRD menegakkan hukum, dan kepala daerah harus menjawab tuntutan tersebut. Pemakzulan bukan sekadar sanksi, tetapi instrumen demokrasi untuk memastikan bahwa jabatan publik dijalankan dengan integritas. Integritas ini mencakup transparansi, kepatuhan pada hukum, dan perhatian terhadap aspirasi rakyat.
Dialog kecil terjadi di antara warga yang ikut demo. Seorang ibu menatap anaknya dan berkata, “Ini bukan hanya tentang uang atau jabatan. Ini tentang masa depan kita semua. Kita harus berani bersuara.” Pemuda lain menambahkan, “Kalau kita diam sekarang, nanti yang rugi kita semua. Pemerintah harus mendengar suara rakyat.” Suara-suara ini menunjukkan bahwa proses demokrasi berjalan hidup, tidak hanya di gedung DPRD, tetapi di jalanan, di rumah, dan di setiap hati warga yang peduli.
Kondisi ini menegaskan bahwa pemakzulan kepala daerah adalah proses yang kompleks, dinamis, dan membutuhkan keseimbangan. Kepala daerah, meski dipilih secara sah, harus selalu bertanggung jawab. DPRD, meski memiliki kekuasaan pengawasan, harus menjalankan tugasnya secara adil dan transparan. Masyarakat, meski hanya memiliki suara, memegang peran penting sebagai pengawas dan pemberi tekanan moral. Semua elemen ini saling terkait, membentuk mekanisme checks and balances yang menjadi fondasi demokrasi sejati.
Malam mulai turun, tetapi suara massa di luar gedung DPRD belum juga mereda. Lilin-lilin menyala, poster dan spanduk diterangi lampu senter. Guru honorer, tenaga medis, orang tua murid, dan warga yang terdampak berdiri bersama, menunjukkan bahwa suara rakyat tidak bisa diabaikan.
Kasus Bupati Pati menjadi pelajaran berharga bagi seluruh daerah di Indonesia. Jabatan publik adalah amanah, bukan hak mutlak. Kekuasaan tanpa pengawasan berpotensi menimbulkan ketidakadilan. Proses pemakzulan melalui DPRD dan Pansus, dengan pengawasan rakyat, menjadi instrumen demokrasi yang menegaskan bahwa kepala daerah harus bertanggung jawab atas setiap kebijakan yang diambil. Integritas, kepatuhan pada hukum, dan perhatian terhadap aspirasi rakyat bukan sekadar slogan, tetapi syarat mutlak bagi kepemimpinan yang benar-benar melayani rakyat.
Pada akhirnya, malam di Pati menutup hari dengan nuansa tegang namun penuh harapan. Demonstran tetap berjaga, DPRD tetap bekerja, dan Bupati Sudewo terus menyiapkan jawaban untuk proses hukum yang akan menentukan masa depannya. Kasus ini memperlihatkan wajah demokrasi yang nyata: dinamis, penuh ketegangan, tetapi selalu menempatkan rakyat sebagai pusat pemerintahan. Pemakzulan bukan alat balas dendam, tetapi instrumen demokrasi yang melindungi kepentingan rakyat dan menegaskan bahwa setiap jabatan publik adalah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab
Oleh: Rokhmat Widodo
Pengamat politik tinggal di Kudus
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan NARASIBARU.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi NARASIBARU.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Kondisi Terakhir Mpok Alpa Sebelum Meninggal Diungkap Raffi Ahmad
Beda Perlakuan Penyambutan untuk Jokowi dan SBY di Sidang Tahunan MPR
Sebelum Meninggal, Mpok Alpa Berjuang Melawan Kanker
Innalillahi, Mpok Alpa Meninggal Dunia