Catatan Kritis atas Kasus Meme Prabowo-Jokowi

- Selasa, 13 Mei 2025 | 20:00 WIB
Catatan Kritis atas Kasus Meme Prabowo-Jokowi


PENANGKAPAN mahasiswi Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang membuat dan mengunggah meme bergambar Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 Joko Widodo berciuman–menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI)–mengundang keprihatinan sekaligus pertanyaan serius mengenai batas kebebasan berekspresi dan praktik penegakan hukum di Indonesia.

Dalam era digital, meme bukan sekadar hiburan visual, melainkan medium ekspresi yang kerap dimanfaatkan untuk menyampaikan kritik sosial dan pesan politik.

Selama tidak mengandung ujaran kebencian, fitnah, atau ajakan kekerasan, ekspresi semacam ini seharusnya dilindungi sebagai bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi.

Oleh karena itu, upaya kriminalisasi terhadap karya semacam ini justru berisiko mencederai prinsip demokrasi dan membungkam kebebasan berekspresi.

Meme yang dibuat oleh mahasiswi tersebut dapat dibaca sebagai bentuk satire terhadap promosi masif teknologi AI oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dalam konteks itu, karya tersebut merefleksikan kegelisahan seorang seniman terhadap bahaya glorifikasi teknologi tanpa kedewasaan etis dan pertimbangan kritis.

Kritik semacam ini tidak hanya sah dalam ruang publik demokratis, tetapi juga penting untuk menyeimbangkan euforia terhadap kemajuan teknologi dengan kewaspadaan moral dan sosial.

Sayangnya, pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) maupun pasal pencemaran nama baik dalam KUHP kerap digunakan secara lentur dan represif.

Ketidakjelasan batas antara kritik dan penghinaan menjadikan aparat penegak hukum berpotensi menyalahgunakan kewenangan, terutama terhadap kelompok rentan seperti mahasiswa atau seniman.

Karena itu, transparansi aparat penegak hukum dalam menjelaskan alasan penangkapan dan proses yang dijalankan menjadi sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik. Lebih dari itu, negara perlu menunjukkan bahwa ia tidak hanya menjamin kebebasan berekspresi secara normatif, tetapi juga secara substantif dalam praktik sehari-hari.

Kasus ini harus menjadi pengingat bahwa ekspresi seni tidak bisa disikapi dengan pendekatan hukum semata. Pemahaman terhadap konteks, niat, dan makna di balik sebuah karya adalah hal esensial dalam masyarakat demokratis yang sehat. Hukum harus melindungi, bukan membungkam; mendidik, bukan menindas.

OLEH: GEMBONG PRIMADJAYA
Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung 2021-2025
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan NARASIBARU.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi NARASIBARU.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar