'Ketika Semua Pihak Sudah Menerima Copy Ijazah Jokowi, Mengapa Yang Diyakini Asli Tetap Disakralkan?'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Di tengah situasi politik yang makin absurd, narasi tentang keaslian ijazah Presiden Joko Widodo menyeret kita pada satu kenyataan pahit: bahwa kebenaran kini dikurung dalam salinan, sementara yang asli dijaga seperti relik suci.
Kini kita menyaksikan situasi ganjil yang bahkan tak pantas jadi lelucon republik.
Kubu penegak hukum menyatakan sudah mengantongi copy ijazah Jokowi.
Kubu pemburu ijazah—yang meragukan keasliannya—juga mengaku punya salinan yang sama.
Tapi, baik salinan satu maupun lainnya, tak satu pun berasal dari tangan UGM secara resmi.
Dan yang disebut “asli”? Tetap disimpan oleh sang Presiden, diam-diam, jauh dari jangkauan publik.
Inilah paradoks zaman: dokumen negara yang semestinya menjadi simbol keterbukaan malah menjelma jadi dokumen suci yang tak boleh disentuh sembarangan.
UGM sendiri telah angkat bicara, dengan nada formal yang kaku dan birokratis. Mereka menyatakan Jokowi adalah alumnus sah.
Namun ketika diminta menunjukkan dokumen, sikapnya berubah.
Tak ada skripsi di katalog. Tak ada ijazah di ruang terbuka. Hanya ada satu kalimat penutup: “Kami meyakini beliau lulus.”
Sebagai institusi pendidikan tinggi, UGM seolah lupa bahwa dunia akademik tidak dibangun di atas keyakinan, melainkan pada verifikasi dan keterbukaan.
Pernyataan berbasis “meyakini” mungkin cocok bagi mimbar khutbah atau seminar motivasi, bukan untuk menegaskan keabsahan gelar akademik seorang kepala negara.
Tentu saja, perdebatan ini tidak akan muncul jika sejak awal dokumen akademik Presiden bisa diakses sebagaimana mestinya.
Tapi hari ini, yang terjadi justru sebaliknya: dokumen dibiarkan remang, lalu publik dituntut untuk percaya.
Mereka yang bertanya dicap pembenci. Mereka yang kritis dianggap menyebar hoaks.
Padahal, masalah ini bukan semata soal ijazah. Ini adalah persoalan etik dan tanggung jawab publik.
Ketika seseorang menjadi Presiden, maka seluruh dasar keabsahan dirinya harus terbuka untuk diuji.
Tidak cukup hanya menyodorkan copy—apalagi yang fotokopiannya kini berseliweran di dua kutub politik yang saling curiga.
Yang ironis: kedua belah pihak kini saling klaim punya copy yang benar. Tapi salinan tak pernah bisa menjawab kejujuran.
Hanya dokumen asli, yang diverifikasi secara publik dan ilmiah, yang bisa menyudahi semua polemik ini.
Ketertutupan ini berbahaya. Ia bukan hanya menodai integritas pribadi Jokowi, tetapi juga mengguncang fondasi etika pendidikan tinggi.
Bila benar dokumen itu ada dan sah, mengapa tidak dibuka? Mengapa kampus sebesar UGM—yang semestinya menjadi mercusuar kebenaran—malah memilih jalan aman: diam, netral, atau sekadar mengulang pernyataan rektor yang kosong dari pembuktian?
Dan bagaimana kita menjelaskan pengakuan Jokowi sendiri, yang menyebut IPK-nya di bawah dua? Apakah ia sedang merendah? Ataukah memang ada detail akademik yang tak pernah selesai dirapikan?
Dalam iklim demokrasi yang sehat, publik berhak bertanya. Dan pejabat publik—terutama yang sedang memegang kekuasaan penuh—berkewajiban menjawab.
Tidak cukup dengan klaim. Tidak cukup dengan salinan. Dan tentu, tidak cukup hanya dengan keyakinan.
Seperti kata seorang akademisi tua yang bosan melihat drama ini:
“Jika semua orang sudah pegang salinannya, lalu mengapa yang asli begitu sulit ditunjukkan? Jangan-jangan, republik ini hanya dibangun di atas fotokopi.” ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Buktikan Keaslian Ijazah Jokowi Tak Sesederhana Ucapan Susno
Viral Siswa SMA Tak Bisa Baca Angka 814121, Bikin Warganet Cemas soal Kualitas Pendidikan
Mantan Menkes Kaget Indonesia jadi Ajang Uji Coba Vaksin TBC Bill Gates
Devita Tengger Pemeran Video Viral 1 Menit 50 Detik Viral di TikTok Full HD, Artis Apa?