Akankah Para Penegak Hukum Independen Menangani Skandal Ijazah Jokowi?

- Kamis, 22 Mei 2025 | 13:35 WIB
Akankah Para Penegak Hukum Independen Menangani Skandal Ijazah Jokowi?


'Akankah Para Penegak Hukum Independen Menangani Skandal Ijazah Jokowi?'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Di tengah transisi kekuasaan menuju pemerintahan baru, publik menyaksikan satu peristiwa simbolik yang sarat makna: Prabowo Subianto meneriakkan yel “Hidup Jokowi!” sebanyak tiga kali di hadapan umum. 


Bagi yang awam, itu mungkin hanya bentuk penghormatan atau euforia politik. 


Namun bagi yang peka terhadap tanda-tanda zaman, itu bukan sekadar yel, melainkan sebuah isyarat politik yang tajam. 


Isyarat tentang kesinambungan kuasa. Tentang loyalitas. Tentang bagaimana garis komando tetap utuh, bahkan saat tampuk kekuasaan berganti tangan.


Teriakan itu harus dibaca sebagai kebijakan. Sebagai political will. Dalam sistem kekuasaan yang terpusat, satu sikap seorang pemimpin puncak bisa berarti perintah bagi seluruh aparat di bawahnya. 


Ini menyiratkan satu hal yang mengkhawatirkan: bahwa independensi penegak hukum masih menjadi mitos di negeri ini.


Telah menjadi rahasia umum bahwa dalam sistem demokrasi yang sehat, penegak hukum—polisi, jaksa, hingga hakim—harus berdiri tegak di atas prinsip keadilan, bebas dari intervensi kekuasaan manapun. Namun di Indonesia, kenyataan itu masih jauh panggang dari api. 


Kasus dugaan ijazah palsu Jokowi adalah contoh paling telanjang tentang bagaimana hukum tampak lumpuh, bahkan bisu, ketika berhadapan dengan simbol kekuasaan tertinggi.


Polisi bukan sekadar enggan menyentuh substansi kasus ini—justru tercium aroma cawe-cawe dalam proses hukum. 


Di satu sisi, laporan terkait kasus dugaan ijazah palsu yang diajukan oleh TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis) terkesan dipinggirkan. 


Di sisi lain, laporan balik atas dugaan penyebaran hoaks yang dilaporkan oleh Jokowi sendiri—melalui kuasa hukumnya—justru segera ditindaklanjuti. 


Kontras ini menyingkap selektivitas hukum yang mengaburkan keadilan. Penegakan hukum tidak lagi berdasarkan asas, melainkan berdasarkan siapa yang melapor.


Sikap Jokowi sendiri mempertegas arah angin. Alih-alih mendorong proses hukum yang adil dan transparan, ia justru berkata, “Saya prihatin bila kasus ini harus sampai ke ranah hukum.” 


Kalimat yang sekilas terdengar empatik, namun pada hakikatnya menandakan keberpihakan. 


Kata “prihatin” di sini bisa dibaca sebagai sinyal penolakan terhadap upaya membongkar kebenaran melalui jalur hukum. 


Ini bukan hanya pernyataan sikap; ini adalah rambu-rambu bagi semua aparat yang berada di bawah garis komando: jangan sentuh kasus ini.


Lebih ironis lagi, parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi pun memilih bungkam. 


Tidak ada satu pun anggota DPR RI yang bersuara keras, mempertanyakan, apalagi mendorong pembentukan pansus atau penyelidikan lebih lanjut. 


Mereka semua tutup mata dan telinga atas hingar-bingar skandal yang sudah menjadi konsumsi publik. 


Ini bukan hanya pengkhianatan terhadap fungsi pengawasan, tapi juga pengabaian terhadap amanat rakyat yang mereka wakili.


Ketika penegak hukum tunduk pada kekuasaan, ketika parlemen diam demi kenyamanan politik, maka yang tersisa hanyalah rakyat yang kehilangan harapan. Demokrasi pun kehilangan jiwanya. 


Di sinilah kita mesti bertanya kembali: Benarkah hukum di negeri ini masih punya nyali untuk menegakkan keadilan? 


Ataukah ia telah dikurung rapat-rapat oleh kepentingan politik yang mengakar?


Maka jawabannya bergantung pada satu hal: apakah kita masih punya keberanian kolektif untuk menuntut independensi, atau kita memilih diam?


Perseteruan Raja Jawa vs Roy Suryo dan Ketidakakuran Kasunanan Surakarta vs Kasultanan Yogyakarta




Belanda, dengan Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755, membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian: Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin Sunan Pakubuwono III, dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipimpin Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwono I. Sejak ada pembagian itu hingga kini, dua kerajaan tersebut tak pernah akur.


Kini, ketika ada warga Surakarta yang tak pernah akur dengan warga Yogyakarta, apakah itu termasuk implikasi dari tidak pernah akurnya Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat?


Entahlah. Yang jelas, saat ini sedang terjadi “perang tanding” antara Presiden ke-7 RI Joko Widodo asal Surakarta versus Roy Suryo asal Yogyakarta.


Roy Suryo, pakar telematika yang juga bekas Menteri Pemuda dan Olahraga serta bekas anggota DPR RI dari Partai Demokrat, sebenarnya seorang bangsawan, meskipun gelar kebangsawanannya itu ia peroleh dari Pura Pakualaman, pecahan dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. 


Gelar Roy dan nama lengkapnya kemudian menjadi Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) Roy Suryo Notodiprodjo.


Jokowi, Presiden ke-7 RI, sebenarnya juga pernah hendak mendapatkan gelar kebangsawanan dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, namun bekas Walikota Surakarta dan Gubernur DKI Jakarta itu dikabarkan menolak karena merasa tidak pantas.


Selain kepantasan, entah apalagi yang menjadi alasan Jokowi menolak gelar dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat itu. 


Yang jelas, Jokowi sedikitnya sudah menerima gelar kebangsawanan dan gelar adat dari 13 kerajaan atau kesultanan dan masyarakat adat dari seluruh Indonesia.


Namun, gelar yang paling tinggi diberikan Bahlil Lahadalia kepada Jokowi: Raja Jawa!


Yang mau menerima gelar kebangsawanan justru anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dengan gelar Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) tahun 2023 saat Gibran yang kini menjadi Wakil Presiden RI itu menjabat Walikota Surakarta.


Namun, gelar kebangsawanan Gibran itu ia peroleh dari Pura Mangkunegaran, pecahan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, sebagaimana Roy Suryo yang mendapat gelar kebangsawanan dari Pura Pakualaman. 


Bedanya, konon Roy Suryo adalah darah biru kerajaan, sedangkan Gibran adalah darah biru politik.


Kini, Jokowi sang Raja Jawa itu sedang berseteru dengan Roy Suryo dan kawan-kawan. 


Musababnya, Tim Pembela Ulama & Aktivis (TPUA), yang di dalamnya ada Roy Suryo, melaporkan Jokowi ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri pada 9 Desember 2024.


TPUA menuding ijazah Sarjana atau Strata 1 (S1) dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang dimiliki Jokowi tidak asli alias palsu. 


Begitu pun skripsinya. Kejanggalan kedua dokumen itu pun mereka uraikan, termasuk jenis hurufnya.


Ente jual, ane beli. Sebagai balasan, Jokowi melaporkan Roy Suryo dkk ke Polda Metro Jaya pada 30 April 2025 dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik.


Roy Suryo sudah diperiksa Polda Metro Jaya. Wong Jogja ini pun keder. 


Sebab, laporannya baru ditindaklanjuti polisi enam bulan kemudian. Sementara laporan Jokowi diproses secepat kilat.


Roy terlihat panik. Rabu (21/5/2025) kemarin, bersama kawan-kawannya Roy mengadu ke Komnas HAM. 


Jokowi dituduh melanggar hak asasi manusia (HAM) karena menyalahgunakan Undang-Undang (UU) No 11 Tahun 2008, yang diperbarui dengan UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk memenjarakan orang.


Sebenarnya, ini bukan perkara pertama perseteruan antara Jokowi dan Roy. Sebelumnya, Roy pernah dipenjarakan tahun 2023 lalu gegara mengunggah ke media sosial foto stupa candi dengan kepala Jokowi.


Namun, Roy tak jera. Kini ia kembali berseteru dengan Jokowi. Mungkin Roy sekarang tidak terlalu takut seperti tahun 2023 lalu, karena Jokowi sudah pensiun.


Padahal, Jokowi masih powerfull (sangat kuat). Ia digamit oleh Presiden Prabowo Subianto. 


Semua aparatur negara, termasuk TNI dan Polri juga masih loyal kepadanya. Lihat saja respons polisi terhadap laporan Jokowi yang secepat kilat.


Bahkan Prabowo pun terkesan takut kepada Jokowi yang oleh Bahlil disebut sebagai Raja Jawa, sehingga jangan pernah macam-macam kepada dia.


Tapi, Roy tak sendiri. Banyak warga Yogyakarta yang anti-Jokowi. 


Sejak awal wong Solo itu memimpin negeri ini, banyak aksi unjuk rasa yang digelar di Yogyakarta dan UGM. Ada aksi Gejayan Memanggil, Bulaksumur Memanggil, dan sebagainya.


Apakah Roy Suryo, wong Jogja itu, akan kembali kalah melawan Jokowi, wong Solo yang disebut Bahlil sebagai Raja Jawa?


Kita tunggu saja tanggal mainnya. Yang jelas, bagi Roy menang atau kalah itu tidak terlalu penting. Yang penting adalah ia sudah menyuarakan kegelisahan banyak orang.


Pasalnya, Jokowi sudah banyak melakukan kebohongan. Soal mobil Esemka dan investor yang katanya antre masuk IKN, misalnya, yang ternyata zonk.


Maka, andaikata nanti polisi dan pengadilan menyatakan ijazah Jokowi asli, publik tak mau percaya begitu saja. Semua karena ulah Jokowi sendiri. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar