“Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan, tanpa penghisapan.” - Soekarno, Sidang Umum PBB, 1960, To Build The World Anew
INDONESIA bukan sekadar negara. Ia adalah ide besar, sebuah ikrar luhur yang menggabungkan keragaman menjadi satu tekad: hidup bersama dalam keadilan dan persatuan. Ia lahir bukan dari garis batas geopolitik, melainkan dari kesadaran bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan kekuatan. Dari Sumpah Pemuda 1928 hingga Proklamasi 1945, bangsa ini dibangun oleh keberanian untuk menyatukan puluhan suku bangsa, bahasa, dan budaya dalam satu semangat kebangsaan.
Dengan gugusan pulau-pulau yang menyimpan jejak geologi purba dan keanekaragaman hayati luar biasa, Indonesia adalah miniatur dunia. Kita memiliki Amazon kita sendiri di Kalimantan, Andes kita di Papua, dan Great Barrier Reef kita di Raja Ampat. Maka sudah seharusnya Indonesia menjadi contoh dunia -bukan hanya karena kekayaannya, tapi karena kemampuannya menjaga warisan itu secara adil dan berkelanjutan.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Di tempat yang oleh satelit terlihat paling hijau, justru luka mulai tampak. Pulau Gag, yang selama ribuan tahun tersembunyi dalam pelukan keheningan Raja Ampat, kini bergema karena suara alat berat. Vegetasi terganggu, struktur tanah berubah, dan luka ekologis mulai merekah, mengabarkan bahwa peradaban kita mulai tergelincir dari jalurnya.
PT GAG Nikel, anak usaha dari PT ANTAM dan Harita Group, memang telah memenuhi prosedur hukum dan administrasi negara: AMDAL, IPPKH, izin eksplorasi, bahkan komitmen sosial. Namun hukum tak selalu identik dengan kebijaksanaan. Laporan investigatif Kompas menunjukkan bahwa “mata yang mulai terbuka” tak hanya datang dari para aktivis lingkungan, tetapi dari warga sendiri -yang mulai menyadari bahwa tanah tempat mereka hidup, tanah tempat leluhur mereka beristirahat, kini menjadi proyek atas nama pembangunan nasional.
Kami tidak sedang mengutuk industrialisasi. Kami memahami pentingnya nikel untuk masa depan energi bersih. Kami tidak anti hilirisasi. Kami bahkan bagian dari upaya itu. Tapi pertanyaannya sederhana: apakah ini jalan terbaik yang bisa dipilih bangsa yang katanya berpihak pada keberlanjutan dan keadilan sosial?
Dalam hukum fisika, cahaya membelok saat melewati medium yang berbeda. Semakin besar perbedaan indeks bias, semakin tajam sudut pembelokannya. Jika kebijakan kita tidak menghitung indeks bias sosial dan ekologis, maka ia akan membelok liar -bukan menuju hasil terbaik, tapi justru ke arah kehancuran yang sunyi. Prinsip least action dalam fisika menyatakan bahwa seluruh sistem alam, dari partikel hingga planet, memilih jalur dengan energi paling efisien untuk hasil maksimal. Jika alam bisa berpikir efisien, mengapa kita justru boros dalam menyusun kebijakan?
Kami adalah pendukung Presiden Prabowo. Kami berdiri dalam barisan yang percaya pada kemandirian pangan, hilirisasi industri, dan peran strategis negara. Tapi yang kami khawatirkan bukanlah niat Presiden -melainkan pembelokan di tangan para pembantunya yang mewarisi pendekatan lama: eksploitasi tanpa pertimbangan etik ekologis, dan pembangunan yang diukur hanya dengan tonase dan grafik ekspor.
Sebagaimana peringatan Prof. Sumitro Djojohadikusumo bahwa industrialisasi hanya masuk akal bila membawa transformasi struktural dan kemandirian bangsa, kita harus berani bertanya: apakah tambang nikel di Pulau Gag membawa kita ke arah sana? Atau hanya menjadi halaman berikutnya dari kisah penghisapan baru yang lebih halus -dan lebih legal?
Hari ini Pulau Gag. Besok Pulau Gebe. Lusa bisa jadi kawasan konservasi lain yang kini masih sunyi. Kita sedang bermain di batas yang sangat tipis antara kemajuan dan kehancuran. Transisi energi bukan lisensi untuk menghancurkan lanskap terakhir kita, melainkan tantangan untuk membuktikan apakah kita benar-benar dewasa sebagai bangsa.
Dalam hukum optika, pembelokan cahaya adalah adaptasi, bukan kegagalan. Tapi dalam politik, pembelokan tanpa kendali bisa menjadi bencana. Yang harus kita cegah sejak dini adalah arah kebijakan yang menghancurkan sesuatu yang paling fundamental dalam kehidupan berbangsa: persatuan Indonesia. Karena ketika tanah adat dirusak, ketika komunitas lokal kehilangan makna dan masa depan, maka benih perpecahan mulai ditanam -bukan oleh provokator, tapi oleh kelambanan kita sendiri dalam mendengar.
Kita pernah menjadi bangsa yang memberi teladan bagi dunia: dalam revolusi, dalam diplomasi, bahkan dalam keragaman. Kini saatnya kita memberi teladan dalam keberanian membatalkan yang salah, dan memilih jalur yang mungkin lebih sulit, tetapi lebih benar.
“The seeker after truth is not one who studies the writings of the ancients and, following his natural disposition, puts his trust in them, but rather the one who suspects his faith in them and questions what he gathers from them.” - Ibn al-Haytham (Alhazen)
Kita perlu mendengar ulang. Mendengar bukan dengan telinga, tapi dengan kebersihan hati dan kejernihan fikiran. Mendengar suara dari dalam hutan, dari dalam laut, dari langit yang bersaksi, dan dari hati rakyat yang terus berharap. Menuntaskan pekerjaan antar generasi sebagaimana mereka, pada 1928 dan 1945 menuntaskan tekad pada hati mereka menjadi ikrar dan perwujudan pada tindakan. Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!
OLEH: R. MUHAMMAD ZULKIPLI
Penulis adalah praktisi di bidang manajemen.
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan NARASIBARU.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi NARASIBARU.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Binance recommends: SunnyMining carbon neutral cloud mining, easily earn $13,000 a day with one click
Susi Pudjiastuti Bongkar Fakta Tambang Swasta di Raja Ampat, Sindir Balik Menteri ESDM Bahlil
Ivan Gunawan Sentil Kemenag karena Ada 2 Jamaah Haji Terlantar: Tahun Ini Gak Ada Petugas Haji?
Dulu Meninggalkan, PKS Siap Gandeng Anies Lagi: Dia Tokoh Indonesia, Saudara Kita, Saudara PKS