'Mengapa Cak Nun Menjuluki Jokowi Firaun?'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Di tengah gegap gempita pujian media dan para pendukung, satu suara tetap jernih dan teguh seperti mercusuar di tengah badai: Emha Ainun Nadjib, atau Cak Nun.
Sejak Joko Widodo masih menjabat Wali Kota Solo pada 2010, Cak Nun sudah mencium aroma bahaya.
Bukan pada pribadi Jokowi, melainkan pada sistem yang menopangnya—oligarki, media, dan elit politik yang bekerja di balik layar.
Dari Solo Menuju Panggung Nasional
Tahun 2012, Jokowi melenggang ke Jakarta sebagai Gubernur. Blusukan dan gaya sederhananya menjadi magnet media dan publik. Ia dijuluki “pemimpin rakyat”.
Namun Cak Nun mengingatkan, “Jangan terpesona pada baju kota atau gaya bicara. Lihat siapa yang mengatur di belakangnya.”
Baginya, Jakarta bukan panggung citra, melainkan ujian kepemimpinan. Ia curiga, Jokowi sedang disiapkan untuk panggung yang lebih besar.
Kecurigaan itu terbukti. Pada 2013-2014, mesin politik bergerak: media, konsultan asing, dan pengusaha besar bersatu mengangkat Jokowi sebagai capres. Citra dipoles, harapan dikonstruksi.
“Kita bukan memilih pemimpin,” kata Cak Nun.
“Kita dikendalikan kekuatan tak kasatmata.”
Ia tak menyebut Jokowi jahat, tapi sadar, pemimpin yang lahir dari sistem rusak tak bisa membawa kebaikan sejati.
Janji yang Lenyap
Saat Jokowi resmi menjadi Presiden pada 2014, janji-janji manis diumbar: tak tambah utang, tak bagi-bagi jabatan, hidup sederhana.
Namun seperti telah diprediksi Cak Nun, satu per satu janji itu menguap.
Utang negara membengkak, jabatan dibagikan ke kroni, dan keluarga Jokowi yang dulu sederhana kini tampil glamor.
“Pemimpin yang dibentuk kamera tak akan membawa keadilan,” tegasnya.
Pembangunan infrastruktur jadi kebanggaan rezim, tapi Cak Nun bertanya: “Apa guna jalan tol kalau petani tetap miskin? Apa gunanya bandara megah kalau rakyat tak mampu beli tiket?”
Pembangunan tanpa keadilan, baginya, hanyalah fatamorgana.
Ekonomi justru memperkaya segelintir konglomerat, sementara harga sembako melonjak dan pengangguran meningkat.
“Ini bukan demokrasi,” ujarnya.
“ini penjajahan oleh anak bangsa sendiri.”
Kekuasaan dan Erosi Kebebasan
Cak Nun juga memperingatkan soal bahaya kekuasaan yang tak terkendali.
Di era Jokowi, kebebasan berpendapat terancam. Tokoh agama yang kritis disingkirkan, bahkan dikriminalisasi. Agama dijadikan alat politik.
Proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara lebih menguntungkan elit, sementara rakyat digusur dan suara-suara kritis dibungkam.
“Negara ini dikuasai oligarki,” katanya.
“Jokowi bukan penguasa sejati, hanya pernik di tangan kekuatan besar.”
Meski dibungkam media, Cak Nun tak pernah berhenti. Ceramahnya tak lagi tayang di TV, acaranya dibatalkan, tapi rakyat tetap mendengarkan.
Di pengajian, podcast, dan ruang-ruang kecil, suaranya tetap menggema.
"Saya tidak takut dikriminalisasi,” ujarnya.
“Saya takut jika rakyat terus tertipu.”
Kesadaran yang Mulai Tumbuh
Kini, di ujung 2025, topeng citra mulai runtuh. Janji tinggal janji. Utang membengkak, harga kebutuhan pokok tak terkendali, dan rakyat makin terpuruk.
Nama Jokowi yang dulu dielu-elukan kini mulai dipertanyakan. Kata-kata Cak Nun yang dulu dianggap sinis, kini terasa seperti peringatan yang terbukti.
“Pemimpin harus ditimbang dari hasilnya, bukan gayanya,” ucapnya.
Ia menyebut apa yang terjadi sebagai “penipuan politik terbesar dalam sejarah Indonesia”.
Dinasti politik disiapkan, kekuasaan diwariskan.
“Kita tidak dijajah asing, tetapi oleh anak bangsa sendiri.”
Namun di balik kekecewaan, Cak Nun tetap menyalakan harapan.
“Bangkitlah, rakyat! Jangan lagi terbuai citra. Jangan jadi bangsa yang mudah ditipu.”
Lentera Nurani
Cak Nun bukan sekadar budayawan atau ulama. Ia adalah suara nurani yang tak pernah letih menyuarakan kebenaran saat banyak orang diam atau terlena.
Ketika artis memuji, media membela, dan tokoh agama ikut menari di panggung kekuasaan, ia tetap bersama rakyat kecil.
Ia mengkritik karena cinta, bukan benci. Ia berbicara bukan untuk kepentingan, tapi untuk amanah.
“Negara ini milik kita,” tegasnya.
“Jika kita diam, kita menyerahkan masa depan anak cucu kepada yang salah.”
Pesan terakhirnya sederhana tapi menggugah: pilihlah pemimpin yang takut kepada Tuhan, yang bekerja untuk keadilan, bukan untuk pencitraan.
Di tengah hiruk pikuk politik penuh topeng, suara Cak Nun tetap nyala—lentera yang mengingatkan: jangan tertipu lagi, karena masa depan bangsa ada di tangan kita sendiri. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Rakyat Aceh Melawan Keputusan Mendagri Tito
Kader PSI Ogah Hapus Tweet-nya soal Jokowi: Biar Dunia Tahu Nabi Baru Lahir dari Indonesia
Respons Gubernur Bobby Perkuat Menteri Tito Bikin Aceh-Sumut Musuhan
Frono Jiwo, Pria yang Disebut sebagai Sosok Asli di Foto Ijazah Jokowi, Kini Muncul Beri Pengakuan