Ia kemudian memaparkan bahwa dari perspektif hukum, proyek ini berpotensi melanggar beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:
1. Undang-Undang Keuangan Negara (UU No. 17 Tahun 2003). Sebagai BUMD, PT Jaswita mengelola aset daerah yang termasuk dalam ruang lingkup keuangan negara. Jika proyek ini tidak memberikan manfaat finansial yang jelas bagi daerah, maka ada potensi pelanggaran terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas keuangan negara.
2. Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU No. 23 Tahun 2014) pada Pasal 331 menyatakan bahwa BUMD harus beroperasi berdasarkan prinsip ekonomi dan akuntabilitas. Jika PT Jaswita hanya menjadi perantara tanpa peran bisnis yang jelas, maka hal ini bertentangan dengan prinsip tata kelola yang baik (Good Corporate Governance).
3. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001), jika ditemukan unsur penyalahgunaan wewenang atau pengelolaan keuangan daerah yang merugikan negara, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor mengatur bahwa perbuatan yang merugikan keuangan negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dapat dipidana. Jika ada penyalahgunaan aset daerah, maka tindakan ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.
4. Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan (UU No. 15 Tahun 2006) karena sebagai auditor utama keuangan negara, BPK memiliki kewenangan untuk mengaudit kerja sama ini. Jika ada indikasi penyimpangan, maka audit investigatif diperlukan untuk memastikan tidak ada kerugian negara atau daerah.
Iskandar Sitoru mengatakan, berdasarkan fakta yang tersedia, proyek ini memiliki beberapa indikator yang dapat mengarah pada dugaan fraud, di antaranya:
1. Pelanggaran hukum (Unlawful Act), jika proyek ini tidak memiliki izin alih fungsi lahan dan melanggar tata ruang.
2. Fraud (Kecurangan), jika ada upaya menyembunyikan fakta atau memanipulasi perizinan demi kepentingan tertentu.
3. Abuse of Power (Penyalahgunaan Wewenang), jika ada pejabat yang memanfaatkan jabatannya untuk meloloskan proyek ini tanpa prosedur yang sah.
4. Conflict of Interest (Konflik Kepentingan), jika proyek ini menguntungkan pihak tertentu secara pribadi, tanpa manfaat bagi keuangan daerah.
5. Maladministrasi, jika proyek ini dilakukan dengan prosedur yang tidak sesuai dengan tata kelola perusahaan yang baik.
Langkah Demul untuk mengaudit seluruh BUMD di Jawa Barat merupakan keputusan yang berani dan diperlukan.
“Kami yakin dugaan fraud bisa ditemukan oleh Auditor Keuangan Negara BPK Perwakilan Jawa Barat. Tidak berlebihan jika kami sebut karena keberaniannya, dia pantas disematkan sebagai 'Prabowo Kecil' sebab berani janji menutup tambang ilegal di Jabar, keberanian itu seperti keberanian Presiden Prabowo Subianto dalam berkinerja,” tegas Iskandar Sitorus.
Audit ini tidak hanya harus dilakukan oleh BPK, tetapi juga melibatkan lembaga lain seperti KPK, jika ditemukan indikasi penyalahgunaan keuangan negara.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa BUMD tidak boleh dijadikan menjadi alat kepentingan bisnis kelompok tertentu.
"BUMD seharusnya memberikan manfaat bagi daerah, bukan sekadar menjadi "boneka" dalam skema bisnis yang merugikan masyarakat. Jika audit ini benar-benar transparan, publik berhak mengetahui apakah proyek ini sesuai aturan atau justru menjadi skandal baru dalam tata kelola BUMD di Indonesia, tutup Iskandar Sitorus.
Sumber: RMOL
Artikel Terkait
Harga BBM Dex Series Naik Lagi per 1 November 2025
Makin Pede! Menkeu Purbaya Pamer Topi “8%”
Mantan Menteri ESDM Kupas Konspirasi di Balik Polemik Freeport
Luhut Akui Proyek Whoosh Bermasalah Sejak Awal: Saya Terima Sudah Busuk Itu Barang