Tom Lembong Tak Niat Jahat tapi Tetap Divonis, Saut Situmorang: Tak Ada Kickback Harusnya Hati-hati

- Selasa, 22 Juli 2025 | 12:00 WIB
Tom Lembong Tak Niat Jahat tapi Tetap Divonis, Saut Situmorang: Tak Ada Kickback Harusnya Hati-hati



NARASIBARU.COM  - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengungkapkan kekhawatirannya terkait penanganan kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat nama mantan Menteri Perdagangan RI (Mendag) Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.

Saut Situmorang yang memiliki latar belakang intelijen merupakan salah satu dari empat Wakil Ketua KPK yang mendampingi Ketua KPK Agus Rahardjo.

Ia menjabat posisi tersebut sejak 2015, tetapi memutuskan untuk mengundurkan diri pada 12 September 2019 karena kasus Revisi Undang Undang KPK.

Harus Hati-hati Urus Perkara yang Ada Kerugian Negara, tetapi Tidak Ada Kickback

Menyoroti kasus Tom Lembong, Saut menilai, seharusnya perkara tersebut diperlakukan dengan hati-hati, sebab tidak ditemukan adanya kickback.

Saut pun memaparkan, satu hal yang ia khawatirkan selama bertugas di KPK adalah perkara korupsi yang menimbulkan kerugian negara, tetapi tanpa ada kickback.

Dalam konteks hukum, kickback bisa diartikan sebagai pembayaran ilegal atau suap yang diberikan sebagai imbalan atas perlakuan istimewa atau bantuan dalam suatu transaksi atau keputusan, sebagaimana dikutip dari integrity-indonesia.com.

Bahkan, Saut mengaku sampai harus sangat berhati-hati dalam menangani kasus dugaan korupsi di mana ada kerugian negara, tetapi tidak ditemukan kickback-nya.

Hal inilah yang terjadi pada Tom Lembong, yang tetap dijatuhi vonis hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan.

Padahal, Tom sudah dinyatakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta tidak memiliki niat jahat dan menerima keuntungan pribadi dari kebijakan impor gula saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan RI periode 2015-2016.

Dalam artian, Tom tidak mendapat kickback dalam perkara ini.


Sehingga, majelis hakim dinilai mencari-cari kesalahan agar Tom dapat dijerat hukum, sampai-sampai menggunakan alasan 'mengedepankan ekonomi kapitalis'.

Adapun pandangan mengedepankan kapitalis tersebut menjadi satu dari empat pertimbangan hakim yang memberatkan hukuman untuk Tom Lembong.

"Satu hal yang paling saya khawatirkan kalau kita lagi expose di KPK itu, beberapa kali bahkan saya malah masuk ke dalam kategori sebel; ada kerugian negara, tapi kickback-nya enggak ada," kata Saut, dikutip dari tayangan yang diunggah di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, Senin (21/7/2025).

"Saya tanya penyidiknya, 'Ada kerugiannya?' 'Ada, Pak.' 'Kickback-nya?' 'Enggak ada.' Jadi, kita enggak bisa masuk," tambahnya, menceritakan pengalaman di KPK.

"Jadi, itu hal yang paling sangat kita hati-hati sepanjang saya 4 tahun di sana [KPK, red.], ketika ada kerugian, [tetapi] tidak ada mens rea dan actus reus [tindakan jahat, red] dalam hal ini," imbuhnya.

"Kemudian juga, kerugian negara ada, tetapi tidak ada kickback. Itu sudah pokoknya kita sangat hati-hati," jelasnya.

Selanjutnya, Saut Situmorang membahas kewenangan KPK untuk menindak penyelenggara negara yang diduga terlibat tindakan korupsi berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Pasal ini mengatur tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh setiap orang, termasuk penyelenggara negara, yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 

Menurut Saut, Pasal 2 ini harus diperlakukan dengan hati-hati pula, karena rentan untuk mengkriminalisasi penyelenggara negara meski aspek kerugian negara, mens rea, dan actus reus-nya masih diperdebatkan.

Situasi tersebut, menurutnya, bisa membuat perkara yang ditangani melebar ke mana-mana.

"Tetapi, kalau kemudian itu [Pasal 2, red] digunakan dengan tidak ada mens rea dan actus reus-nya, kerugian negaranya diperdebatkan, kemudian lari ke mana-mana," tandas Saut.

Vonis Tom Lembong

Tom Lembong dijatuhi vonis hukuman 4,5 tahun penjara dan pidana denda Rp750 juta subsider 6 bulan penjara atas kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan RI (Kemendag) periode 2015-2016 dalam sidang putusan yang digelar di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025).

Vonis ini lebih rendah daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).

Sebelumnya, dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat pada Jumat (4/7/2025) lalu, JPU menuntut agar Tom dihukum dengan 7 tahun penjara dan denda sebesar Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan.

Kasus dugaan impor gula yang menjerat nama Tom Lembong dinilai telah mengakibatkan kerugian keuangan negara senilai Rp578 miliar.

Tom Lembong dalam kasus ini didakwa telah memperkaya 10 orang akibat menerbitkan perizinan impor gula periode 2015-2016.

Selain itu, ia didakwa terlibat dengan menyetujui impor gula tanpa melalui rapat koordinasi dengan kementerian atau lembaga.

Tom Lembong sendiri merupakan lulusan Harvard University (Amerika Serikat) pada 1994 di bidang arsitektur dan perancangan kota, dan pernah menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) periode 2016-2019.

Dipastikan Bakal Ajukan Banding

Adapun Ari Yusuf Amir selaku kuasa hukum Tom Lembong telah memastikan bahwa kliennya akan mengajukan banding pada Selasa (22/7/2025).

Tom Lembong, beserta tim kuasa hukumnya, yakin dan menegaskan tidak bersalah dalam kasus impor gula ini.

Sehingga, menurut Ari, bahkan meski Tom Lembong hanya dihukum satu hari, pihaknya akan tetap mengajukan banding.

"Iya sudah diputuskan kita akan banding hari Selasa, dihukum satu hari saja, Pak Tom akan banding," kata Ari kepada awak media, Minggu (20/7/2025).

Kejanggalan Soal Tak Ada Mens Rea

Putusan vonis terhadap Tom Lembong dalam perkara dugaan korupsi impor gula ini menuai kontroversi.

Apalagi, majelis hakim sudah menyatakan, tidak menemukan adanya mens rea atau niat jahat pada diri Tom dalam kegiatan importasi gula.

Kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, menilai pertimbangan hakim yang menyebut tak ada mens rea terkesan ragu-ragu.

Dalam situasi seperti itu, kata Ari, seharusnya majelis hakim menjatuhkan putusan bebas, sesuai asas in dubio pro reo.

Asas itu berarti, jika hakim ragu, putusan dijatuhkan untuk terdakwa. Artinya, jika timbul keraguan berdasarkan pembuktian di persidangan, hakim menjatuhkan hukuman yang menguntungkan terdakwa.

“Menunjukkan kejanggalan, kegamangan, dan keraguan majelis dalam menjatuhkan putusan,” ujar Ari, dikutip dari Kompas.com. 

Menurutnya, pertimbangan mens rea hanya berdasar pada keterangan saksi yang mengacu pada berita acara pemeriksaan (BAP), alih-alih fakta persidangan.

 Hal ini keliru karena keterangan yang dianggap sebagai bukti adalah keterangan saksi di muka sidang.

“Keterangan saksi yang dijadikan dasar pertimbangan berdiri sendiri sehingga tidak ada persesuaian, maka bukanlah termasuk dalam minimal pembuktian,” kata dia

Sumber: Tribunnews 

Komentar