NARASIBARU.COM - Panggung penegakan hukum di Indonesia ternyata menyimpan bara dalam sekam.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, secara blak-blakan membongkar adanya 'perang dingin' yang telah lama terjadi antara dua institusi raksasa: Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Pengakuan mengejutkan ini diungkap Mahfud dalam sebuah podcast di kanal YouTube Forum Keadilan TV, di mana ia menjadi saksi hidup betapa tidak harmonisnya hubungan kedua lembaga tersebut selama dirinya menjabat.
Bukan sekadar isu, Mahfud membeberkan bukti konkret dari ketidakharmonisan tersebut.
Menurutnya, pemandangan paling nyata adalah keengganan pimpinan tertinggi kedua lembaga, yakni Kapolri dan Jaksa Agung, untuk duduk bersama dalam satu meja rapat koordinasi yang krusial.
Mahfud MD menyebut, pertemuan mereka seringkali hanya sebatas acara seremonial kenegaraan.
Di luar itu, ada semacam kesepakatan tak tertulis untuk saling menghindar.
"Jika salah satu hadir, yang lain cenderung tidak hadir," ungkap Mahfud, menggambarkan betapa alotnya koordinasi di level tertinggi yang seharusnya menjadi motor utama penegakan hukum di tanah air.
Lebih jauh, Mahfud menegaskan bahwa ego sektoral ini tidak hanya berhenti di ruang rapat, tetapi berimbas langsung pada mandeknya penanganan kasus-kasus besar.
Ia menyoroti bagaimana perbedaan pandangan dan tafsir hukum antara Kejaksaan dan Polri menjadi tembok penghalang bagi keadilan.
Salah satu contoh yang paling menyita perhatian publik adalah kasus Ferdy Sambo.
Mahfud mengungkap adanya proses tawar-menawar terkait tuntutan hukuman, sebuah cerminan dari tidak adanya satu suara yang bulat di antara aparat.
Tak hanya itu, Mahfud juga menceritakan "hilangnya" kasus Pagar Laut secara misterius akibat perseteruan tafsir.
"Kisah ini diceritakan Mahfud pada dan dalam video."
Kejaksaan Agung, kata Mahfud, bersikukuh bahwa kasus tersebut adalah tindak pidana korupsi.
Sebaliknya, Polri memandangnya hanya sebatas pemalsuan dokumen.
Akibat kebuntuan ini, kasus tersebut lenyap tanpa kejelasan.
Kondisi ini, menurut Mahfud, bahkan memicu lahirnya langkah-langkah yang problematis secara hukum.
Ia mengkritik keras nota kesepahaman (MoU) antara TNI dan Kejaksaan Agung mengenai pengamanan jaksa.
Mahfud menilai MoU tersebut cacat hukum karena menabrak undang-undang.
"Ia menilai nota kesepahaman (MoU) tersebut melanggar undang-undang, karena seharusnya pengamanan dilakukan oleh Polri atau atas permintaan dari Polri."
Ia menduga kuat kerja sama dengan TNI itu adalah jalan pintas yang diambil Kejaksaan.
"Mahfud menduga kerja sama ini muncul karena banyak hal yang tidak berjalan di Kejaksaan jika harus melalui jalur kepolisian."
Pernyataan ini seolah mengonfirmasi adanya ketidakpercayaan yang mendalam antara dua institusi penegak hukum tersebut.
Mahfud MD Bongkar Aib! Kasus Korupsi Riza Chalid dan Setya Novanto Sengaja Ditutup?
Sebuah pengakuan mengejutkan datang dari mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD.
Ia secara blak-blakan mengungkap adanya dugaan upaya 'menutup' kasus-kasus korupsi besar yang menjerat nama-nama kelas kakap seperti pengusaha Riza Chalid dan mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto.
Menurut Mahfud, kasus yang melibatkan Riza Khalid sebenarnya bukan perkara baru.
Namun, kasus tersebut seolah tenggelam dan tak tersentuh oleh aparat penegak hukum selama bertahun-tahun sebelum akhirnya kembali diusut dan diproses.
Hal ini disampaikannya dalam sebuah wawancara di podcast Forum Keadilan TV, di mana ia menyoroti bagaimana kasus tersebut bisa tersembunyi dari radar publik dan penegakan hukum.
"Kasusnya sudah ada sejak lama, namun tersembunyi dan baru ditangkap sekarang," ujar Mahfud MD dalam podcast tersebut.
Secara terus terang, Mahfud mengaku dirinya pun tidak mengetahui detail kasus tersebut selama bertahun-tahun karena adanya kesan kuat bahwa kasus itu sengaja tidak dibuka ke publik.
"Saya tidak tahu menahu sebelumnya karena kasusnya ditutup."
Pernyataan "kasusnya ditutup" ini memicu spekulasi liar mengenai siapa 'kekuatan' yang mampu membuat perkara sebesar itu tidak berjalan.
Publik tentu masih ingat nama Riza Khalid yang sempat menggemparkan lewat skandal "Papa Minta Saham" bersama Setya Novanto terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
Lebih lanjut, Mahfud MD mengaitkan terungkapnya kembali kasus ini dengan penanganan kasus Setya Novanto dalam korupsi e-KTP.
Ia menyinggung adanya kerja sama krusial antara Kejaksaan Agung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengejar dan menangkap Setya Novanto yang saat itu dikenal licin.
Kerja sama lintas institusi ini, menurutnya, menjadi salah satu kunci yang membuka jalan bagi penegak hukum untuk bergerak lebih leluasa, termasuk dalam menetapkan Riza Khalid sebagai tersangka.
Hal ini seolah mengindikasikan bahwa tanpa adanya 'gebrakan' dan kolaborasi luar biasa, para penegak hukum menghadapi tembok besar dalam menangani kasus yang melibatkan tokoh-tokoh dengan jejaring kuat.
Pengakuan Mahfud ini bukan sekadar cerita lama, melainkan sebuah cerminan betapa kompleks dan penuh intriknya perang melawan korupsi di Indonesia.
Pernyataan seorang mantan pimpinan lembaga keamanan tertinggi di negara ini menjadi alarm bahwa dinamika politik dan tarik-ulur kepentingan antarlembaga kerap menjadi penghambat utama dalam menyeret koruptor kelas kakap ke meja hijau.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Bupati Koltim Abd Azis Masih Ngotot Tidak Kena OTT
Detik-Detik Bupati Koltim Abd Azis Digiring ke KPK
Tok! Aipda Robig Polisi Penembak Mati Siswa SMK di Semarang Divonis 15 Tahun Penjara
KPK: Penangkapan Bupati Kolaka Timur Bukan Drama, Ada Fakta Perbuatannya