NARASIBARU.COM - Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga dan mantan Staf Ahli Menkominfo RI, Prof. Dr. Henri Subiakto menyebut adanya kekeliruan dalam kasus pelanggaran UU ITE yang dilakukan mahasiswa ITB.
Melalui X @Henrysubiakto, ia menuliskan bahwa Bareskrim melakukan kesalahan dalam menerapkan UU ITE, hal ini disampaikan saat wawancara di @RadioElshinta.
"Saya katakan, polisi kali ini Bareskrim salah dalam menerapkan UU ITE. Kalau hal begini terus berulang, maka publik dan orang2 yg tak paham akan mengira UU ITE mmg gunanya untuk membungkam kritik," ujar Henri Subiakto, dilansir X Senin, (12/5/2025).
Menurutnya, penerapan ini salah karena UU ITE sudah berkali-kali melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), direvisi terkait larangan fitnah, pencemaran nama baik atau penghinaan itu tidak bisa dilakukan penahanan oleh penegak hukum.
Hal ini berdasarkan patokan maksimal sanksinya di bawah 5 tahun, sehingga apabila terdapat penahanan atas nama pasal penghinaan (27A) itu jelas salah fatal.
'Ini mahasiswa ITB yang bikin meme pak Jokowi dan pak Prabowo kok ditahan, berarti mereka dikenakan pasal lain yaitu pasal 35 yg sanksinya memang berat yaitu hingga 12 tahun," tulisnya.
"Tapi itu menunjukkan penerapan yang keliru oleh Bareskrim dalam menggunakan pasal 35 UU ITE," sambungnya.
Pasal 35 merupakan bagian dari norma larangan perbuatan kejahatan terhadap komputer, atau sistem informasi (IT) yg di dalamnya terdapat informasi elektroniknya.
Dikenal juga sebagai sebagai computer crime.
Alasan mengapa sistem informasi dilindungi UU agar integritas, otentisitas (keaslian), dan kerahasiaan informasi milik orang atau badan hukum itu terjaga.
Ini adalah tuntutan perkembangan teknologi dan kehidupan digital.
Sebab kalau informasi elektronik, diakses, dibuka dan diubah atau dipalsukan oleh orang yg tdk berhak, akan merugikan pemiliknya.
Maka UU melindunginya dengan pasal 30, 32 hingga 35 UU ITE. Sanksi bagi pelakunya berlaku pidana yg berat hingga 12 tahun.
"Kenapa demikian? Bayangkan kalau informasi yg kita simpan di sistem IT, di komputer kita, dibuka orang, diubah atau dipalsukan, maka secara ekonomi, dan sosial kita akan rugi besar," jelasnya
"Karena bisa saja informasi itu properti kita (berupa calon tulisan, calon lagu, atau rencana bisnis dll). Jaman digital mengharuskan negara melindungi properti berupa informasi elektronik yg ada dlm sistem informasi yang kita gunakan," tambahnya.
Dilain sisi, Henri mengatakan kasus mahasiswa ITB itu berbeda, informasi yang diubah olehnya bukan informasi milik seseorang atau milik badan hukum yg tersimpan dalam sistem.
Bukan informasi yang kalau dibuka, diambil, diubah dan dipalsukan merugikan secara ekonomi, atau bisnis dan sosial bagi pemilik informasi yangg menyimpannya.
Henri kemudian memberikan penjelasan, berdasarkan pembagian golongan pelanggaran UU ITE.
- Foto atau video pak Jokowi dan pak Prabowo itu bukan informasi elektronik yg dilindungi integritas, keaslian dan kerahasiaannya seperti yg dimaksud dalam UU ITE pasal 32 dan 35.
- Foto dan video pak Jokowi dan pak Prabowo bkn informasi elektronik milik pribadi atau badan hukum yg disimpan dan dilindungi dlm sistem informasi yg mereka miliki.
- Foto atau video itu merupakan informasi terbuka ada dimana-mana bisa dicari secara terbuka. Pasal 32 dan 35 tidak berlaku untuk ini.
- Foto video presiden Prabowo dan Jokowi sdh beredar di medsos sehingga untuk mengubah, dan merekayasa bisa ambil dari medsos atau sumber-sumber terbuka lainnya, tak perlu melawan hukum dengan menerobos apalagi merusak sistem informasi elektronik milik orang lain. Sebagaimana pemahaman yg dimaksud dlm larangan pasal aquo.
Adapun prinsip dasar yg menjadikan unsur pidana pasal 32 dan 35 ini harus dipahami dan harus memenuhi.
Jika tidak demikian ya tidak bisa pakai pasal tersebut secara sembarangan.
Apalagi, pasal larangan computer crime ini dicampur dengan pidana pelanggaran ilegal content yg jenis pidananya computer related crime.
Kejahatan menggunakan komputer yaitu untuk menghina atau berisi melanggar kesusilaan, ini tambah melenceng lagi.
Sepertinya pasal-pasal tersebut digunakan dicampur asal bisa untuk menjerat pelaku.
Padahal membuat meme satire seperti itu bagian dari kritik yg dibolehkan oleh UUD 45 pasal 28 F, dan tidak dilarang UU, karena bukan fitnah, pencemaran nama baik, bukan pula ujaran kebencian dan permusuhan berdasar Suku, agama, ras, etnis dan kelompok minoritas lain.
"Yang dilakukan mahasiswa adalah benar-benar kritik berbentuk satire. Sepahit dan semenyebalkan apapun kritik itu, hal demikian tdk dilarang UU," teran Henri.
Utasan dari unggahannya, kemudian dilanjutkan dengan mengangkat topik yang sama, yang telah didiskusikan via WhatsApp.
"Ada sahabat mantan pejabat kirim WhatsApp, bertanya terkait tweet saya yaitu bagaimana jika mahasiswa ITB itu diproses krn dianggap melanggar pasal 27 ayat (1) UU ITE yaitu dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik yang muatannya melanggar kesusilaan? Dan sanksi pidana pelanggaran pasal itu lebih dari 5 tahun ada di pasal 45," bebernya.
Henri kemudian memberikan penjelasan terkait pasal yang dimaksud dengan pertanyaan yang sering mucul, pertama apa benar meme yg dibuat dan disebar mahasiswa itu adalah informasi elektronik yg muatannya melanggar kesusilaan? Atau dengan pengertian sempitnya adalah menyebarkan pornografi?
Deretan jawabannya di sampaikan dengan uraian yang sangat detail dan tentu bisa dipahami.
Analisa dari Henri menyatakan meme yang dibuat dan disebarkan mahasiswa tersebut merupakan pornografi.
Unsur pornografi menurut pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 jika secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
Apa benar isi meme materinya memenuhi kriteria unsur pornografi tersebut? Kayaknya tidak tepat juga.
Namun bila materi muatan informasi elektronik berupa meme itu secara eksplisit memenuhi salah satu wujud pornografi sebagaimana kriterianya yg ada di atas, dan dibenarkan oleh keterangan ahli, itupun penyidik belum cukup.
Masih harus melihat unsur kesengajaan pelaku atau keberadaan unsur mensrea, yaitu niat pelaku mendistribusikan informasi elektronik itu.
Jangan jangan niat pelaku tersebut mengkritik atas terlalu dekatnya sikap politik presiden Prabowo dengan mantan Presiden Jokowi.
Jadi mensrea kesengajaannya lebih bermaksud mengkritik bukan mendistribusikan Pornografi.
Demikian agak terlalu jauh bila menggunakan pasal ini. Walau dari besaran sanksi memang pasal ini bisa dipakai untuk nahan pelaku, tapi meme untuk kasus ini sendiri secara eksplisit bukan diniatkan sebagai ekspresi pornografi yg secara nyata melanggar norma kesusilaan.
Meme lebih merupakan satire politik dengan tujuan politik. Karenanya menggunakan pasal pelanggaran kesusilaan untuk sebuah meme politik harus benar benar diuji secara hati hati lewat keterangan beberapa ahli terkait.
Sebagai penutup utas, Henri memberikan gambaran dan peringatan agar tidak mudah menggunakan pasal serta merta dan dikaitkan dengan kasus hanya untuk penahanan.
"Jangan begitu mudah menggunakan pasal seperti ini untuk serta merta menahan pelaku yg motif dan niatnya adalah mengekpresikan pendapat politik yang dijamin oleh konstitusi," tutup Henri Subiakto.
Sumber: Fajar
Artikel Terkait
Pengerahan Prajurit TNI ke Kejaksaan Bisa Intervensi Hukum!
Kasus Ijazah Palsu Jokowi Berbuntut Panjang, Abraham Samad dan Mikael Sinaga Dipanggil Polda Metro Jaya
TNI Dampingi Kejaksaan Kawal Kasus Korupsi, Pengamat: Prabowo Andalkan Kejagung Karena KPK-Polri Masih Kaki Tangan Jokowi!
Apakah Mengedit Foto Orang Lain Menjadi Meme Bisa Dijerat Pasal Serius? Simak Penjelasan Ini!