Perspektif Hukum Meme Presiden Prabowo-Jokowi Versi Pakar Pidana Universitas Trisakti

- Selasa, 13 Mei 2025 | 14:45 WIB
Perspektif Hukum Meme Presiden Prabowo-Jokowi Versi Pakar Pidana Universitas Trisakti




NARASIBARU.COM - Fenomena meme Presiden Prabowo dan Presiden Jokowi berciuman yang dibuat oleh salah satu mahasiwa tentu menimbulkan dialektika.


Di satu sisi, kata Azmi Syahputra, dosen hukum pidana Universitas Trisakti (Usakti) kebebasan ekspresi seni haruslah diberikan ruang apalagi bila karya tersebut bermanfaat jika dalam hal yang dilakukan demi tujuan kepentingan umum berkait menyampaikan pendapat namun tidak berarti pula tindakan ekspresi karya sebebasnya, melampaui batas.


Apalagi, ungkap Azmi, di era teknologi digital saat ini yang dibutuhkan masyarakat dimana begitu cepat kemajuannya, agar interakasi hubungan antar manusia tertib, maka perlu pengaturan dalam sebuah negara.


"Karenanya hukum hadir dan memuat batasan yang diatur dalam konstitusi secara tegas sepanjang tidak melanggar atau merugikan hak hukum orang  lain," kata Azmi, Selasa (13/5/2025).


Termasuk dalam hal ini nilai, norma etika yang proporsional, kepantasan karena tidak semua orang dapat mengartikan ekspresi yang muatannya kesusilaan  sebagai keindahan kritik gaya baru, maupun keunikan seni.


Azmi menegaskan bahwa batasan Hak Asasi Manusia (Human Rights) maupun hak hukum (legal rights) itu sudah jelas dalam konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J UUD 1945.


“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang Undang dengan maksud semata mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai nilai, agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”.


UU ITE mengatur terkait hal ini antara lain dalam Pasal 35 bahwa "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik."


Esensi dari hubungan hak dan kewajiban asasi itu mestinya melekat dan resiprokal (timbal balik) hubungan hak dan kewajiban sangat penting dalam rangka menjaga proporsional dan hubungan hukum antar warga negara dalam sebuah bangsa


Namun, ujar Azmi, terkadang dalam praktiknya seni juga bisa menjadi bagian protes melihat keresahan, ktitik yang dikemas melalui karya seni, menyalurkan pesan, rasa perasaan yang mendalam untuk eksplorasi terkait keadaan sosial politik sehingga jika sudah masuk area  disini  tentunya kemasan seni bukan lagi menjadi area netral.


"Apapun perilaku termasuk seni tentu ada batasannya walau terkadang jadi dialektika yang subjektif karenanya dominan utamanya dapat terlihat tergantung niat dan motivasi dari sipelukis, asas kepatutan dan jangkauan lukisan yang dibuat (mencakup perluasan distribusi ke media atau apakah  dapat diakses via media  lainnya maka karya seni harus diletakkan pula pada kontekstualnya)," jelas Azmi.


Kebebasan seni jika sudah menyentuh ada hak orang lain yang dirugikan atau berbenturan dengan kelaziman nilai sosial yang dianut orang lain, nilai kesusilaan, tentu layak untuk diuji dalam proses mekanisme laporan polisi guna melihat kejelasan dan menentukan duduk perkara peristiwa secara utuh guna mendapatkan kebenaran materil, apakah ada atau tidak spektrum pidananya? 


Dalam hal ini terutama rumusan Pasal 35  maupun Pasal 27 Ayat (1) UU ITE.


Karenanya, tambah Azmi, kaitkan pasal ini dengan  fakta dan keadaan yang diperbuat, jika karya seni hanya jadi koleksi pribadi ya sah- sah saja namun jika lukisan, penciptaan diketahui ada muatan kesusilaan yang di manipulasi, seolah-olah asli apalagi dokumen bisa diakses secara elektronik ditujukan ke publik.


Tentu disini perlu batasan hukum dan sikap dari pembuat yang lebih bijaksana apalagi menyangkut bila maksud pembuat untuk kritik pada kepentingan publik yang beririsan dengan jabatan publik tentu harus bijaksana dan proporsional.


Perspektif Hukum Meme Presiden Prabowo-Jokowi Versi Azmi Syahputra


"Kata kuncinya perbuatannya pada peredaran gambar karya seni dimaksud menjadi penting, begitu pula maksud dari pelaku untuk dapat atau tidaknya dimintai pertanggungjawaban hukum dikaitkan dengan laporan Pasal yang diterapkan kepolisian," demikian Azmi Syahputra.


Apakah kasus bisa disetop?


Kini kepolisan terus didesak menghentikan kasus yang menjerat mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain berinisial SSS karena disebut tidak memenuhi unsur pidana, menurut pakar hukum pidana.


Mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut ditangkap pada Selasa (6/5/2025) terkait unggahan meme yang memuat gambar Presiden Prabowo dan Presiden RI ke-7 Joko Widodo "berciuman" di akun media sosial X miliknya pada Maret lalu.


Bareskrim Polri kemudian menangguhkan penahanannya pada Minggu (11/05) atas dasar permohonan dari yang bersangkutan, orang tua, kuasa hukum, serta ITB.


Kuasa hukum SSS, Khaerudin Hamid Ali Sulaiman, berkata kliennya meminta maaf kepada Presiden Prabowo dan mantan Presiden Jokowi atas meme itu. Ia juga mengeklaim bahwa kliennya menyesali perbuatannya.


Terlepas dari perkara hukumnya, apa pesan yang termuat dalam meme buatan kecerdasan buatan (AI) itu? Bagaimana semestinya pejabat menanggapi kritik gaya baru ini?


Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Trunoyudo Wisnu Andiko, menyebut proses penyelidikan perkara yang menjerat mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB berinisial SSS ini diawali dari adanya laporan tertanggal 24 Maret 2025.


Laporan itu terkait dengan meme bikinan kecerdasan buatan yang memuat gambar Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Jokowi "berciuman".


Dua pekan setelah menerima laporan, polisi menerbitkan Surat Perintah Penyidikan atau Sprindik pada 7 April 2025 dan langsung ditangani Direktorat Tindak Pidana Siber.


Selama proses penyidikan, kata Trunoyudo, polisi telah memeriksa tiga orang saksi dan meminta keterangan lima orang ahli, termasuk menyita barang bukti baik dari para saksi dan terduga untuk dilakukan pemeriksaan digital forensik.


Polisi kemudian melakukan upaya penangkapan kepada pemilik akun X @reiyanyami di Bandung pada 6 Mei 2025 dan ditahan sejak 7 Mei di rumah tahanan Bareskrim. 


Mahasiswi itu pun ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman hukuman pidana penjara 12 tahun dan denda Rp1 miliar.


Trunoyudo menyebut tersangka diduga melakukan tindak pidana memanipulasi atau menciptakan informasi atau dokumen elektronik yang seolah-olah merupakan data autentik dan atau mengunggah dokumen elektronik berupa gambar yang memiliki muatan melanggar kesusilaan.


Namun, pada Minggu (11/5/2025), penahanan terhadap SSS ditangguhkan atas permohonan dari kuasa hukum dan orang tua. 


Kuasa hukum mahasiswi ITB tersebut, Khaerudin Hamid Ali Sulaiman, menuturkan kliennya menyesali telah membuat dan mengunggah meme Prabowo-Jokowi "berciuman".


"Meminta maaf sebesar-besarnya atas klien kami yang mengunggah dan membuat kegaduhan," kata Khaerudin di Gedung Bareskrim Polri.


Dia bilang orang tua kliennya akan membina sang anak setelah dilakukan penangguhan penahanan. 


Respons serupa juga disampaikan Direktur Komunikasi dan Humas ITB, Nurlaela Arief, dalam keterangan tertulis, Minggu (11/5/2025).


Ia mengatakan pihaknya akan melanjutkan proses "pembinaan akademik dan karakter terhadap yang bersangkutan".


Kemudian disebutkan, "ITB berkomitmen untuk mendidik, mendampingi, dan membina mahasiswi tersebut untuk dapat menjadi pribadi dewasa yang bertanggung jawab, menjunjung tinggi adab dan etika dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi dengan dilandasi nilai-nilai kebangsaan".


Makna meme Prabowo dan Jokowi berciuman


Salah satu kuasa hukum SSS, Arip Wampasena, mengatakan meme hasil kecerdasan buatan bergambar Prabowo dan Jokowi "berciuman" itu adalah bentuk ekspresi kritik kliennya melalui karya visual.


Bukan bentuk penghinaan apalagi menyerang martabat seseorang, tambahnya.


Peneliti dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Teuku Harza Mauludi, juga memahami meme itu sebagai sindiran terhadap situasi politik Indonesia saat ini yang disebutnya begitu pragmatis alias lebih mengutamakan kompromi ketimbang ideologi.


"Bagaimana misalnya dua orang yang dulunya berseberangan, seteru di pilpres, kini bersatu karena ada sesuatu yang sifatnya transaksional," papar Harza.


"Ibaratnya seperti, 'Oke saya [Jokowi] dukung Anda [Prabowo], tapi Anda [Prabowo] jadikan anak saya wakil presiden', begitu misalnya."


Mahasiswi ITB SSS


"Itu kan sah-sah saja kalau mau dikritik dalam bentuk seni atau meme."


Pengamatannya, sindiran yang memuat gambar serupa sebetulnya bukan barang baru—terutama di negara-negara Barat.


Jauh sebelumnya, gambar mural Presiden AS Donald Trump berciuman dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Lithuania sempat viral pada 2016.


"Gambar itu juga bentuk kritik karena Trump dianggap terlalu tunduk dan lunak pada Rusia sehingga membiarkan banyak kepentingan Rusia dalam perang di Ukraina dan menguntungkan Rusia," jelas Harza.


Mundur lagi ke belakang, pada 1990, sebuah fragmen di Tembok Berlin memuat adegan berciuman antara Pemimpin Jerman Timur Erich Honecker dan Pemimpin Soviet Leonid Brezhnev.


Mural itu, menurut Harza, juga mengandung sindiran atas tekanan yang dirasakan oleh warga Jerman Timur di bawah pemerintahan komunis.


"Itu juga semacam bentuk sindiran pada zamannya, walaupun belum ada kecerdasan buatan tapi bentuk seni seperti itu sudah ada sejak lama dan di dunia Barat dianggap sah-sah saja dan biasa."


Masalahnya di Indonesia, kata Harza, meme semacam itu oleh sebagian masyarakat yang menjunjung tinggi ketokohan dan maskulinitas dipandang berbeda.


Mereka, sebutnya, tak terbiasa melihat dua laki-laki berciuman. Apalagi keduanya merupakan tokoh besar di Indonesia. 


Sehingga meme Prabowo dan Jokowi itu, tak lagi dilihat sebagai sindiran atau kritik, namun kesusilaan.


"Mereka jadi enggak fokus sama kritiknya, malah fokus pada gambarnya yang seolah-olah hanya untuk menyerang seksualitas dua tokoh tersebut."


"Padahal kalau kita lepaskan konteks itu, sebenarnya [meme] itu sedang mengkritik demokrasi Indonesia saat ini."


Apakah layak dipidana?


Pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), M Fatahillah Akbar, mengatakan kasus meme tersebut sebetulnya tidak perlu diseret ke ranah pidana.


Sebab, katanya, tak ada unsur melanggar kesusilaan maupun memanipulasi dokumen elektronik.


Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur tentang sanksi pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan.


Ancaman pidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp1 miliar.


Akbar menyebut yang dimaksud dengan "melanggar kesusilaan" memuat tiga hal: "perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual" yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan.


Dalam konteks itu, gambar berciuman tidak bisa dimasukkan dalam ketiganya. Ini karena perbuatan "ciuman" antara Prabowo dan Jokowi tidak pernah terjadi.


"Dan di berbagai negara, meme berciuman seperti itu dimasukkan sebagai bentuk kritik," imbuhnya.


"Jadi menurut saya tidak memenuhi unsur melanggar kesusilaan."


Sedangkan, Pasal 51 ayat (1) juncto Pasal 35 UU ITE, mengatur tentang kejahatan orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.


Ancaman pidana bagi yang melanggar pasal ini adalah penjara maksimal 12 tahun dan atau denda paling banyak Rp12 miliar.


Kampus ITB


Untuk pasal ini, Akbar juga berpandangan sama bahwa meme tersebut jelas-jelas bikinan kecerdasan buatan, bukan hasil manipulasi dari data yang asli atau autentik.


"Contoh yang pas untuk pasal itu adalah misalkan waktu pandemi Covid-19, kita diwajibkan [untuk] vaksin dan membuktikan lewat sertifikat vaksin. Tapi ternyata kita belum vaksin dan ingin bikin sertifikat yang seolah-olah sudah vaksin..."


"Caranya kita ubah sertifikat asli milik orang lain, jadi seolah-olah punya kita dan dipercaya."


"Nah itu yang dimaksud memanipulasi informasi atau dokumen elektronik. Dalam konteks meme ini, kan sudah clear bahwa dia menggunakan AI dan orang awam pun tahu gambar itu palsu."


Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, sependapat. 


Ia bahkan menilai polisi hanya mencari-cari celah untuk mengkriminalisasi masyarakat sipil yang menyuarakan kritik setelah pasal 'karet' pencemaran nama baik dalam UU ITE diperketat oleh Mahkamah Konstitusi.


Dalam putusan terbaru MK menyatakan institusi pemerintah dan pejabat tidak boleh mengadukan laporan dugaan pencemaran nama baik demi kontrol publik yang dijamin dalam negara hukum yang demokratis.


"Sekarang polisi memakai pasal baru yang dipaksakan untuk membungkam kritik. Padahal meme tersebut sudah jamak dijadikan sebagai kritik para pemimpin negara kan?" imbuh Maidina.


"Meme itu jelas kritik atas kondisi saat ini, di mana Presiden Prabowo belum bisa lepas dari bayang-bayang Jokowi."


Atas dasar itulah Maidina dan Akbar mendesak polisi menghentikan perkara ini. Bukan hanya menangguhkan penahanan tersangka mahasiswi ITB tersebut.


"Kalau ditangguhkan penyidikan tetap berjalan, tapi mudah-mudahan polisi melakukan SP3 [penghentian perkara] karena tidak memenuhi unsur," ujar Akbar.


Setelah penangkapan mahasiswa ITB oleh kepolisian membuat heboh publik, sejumlah akun membuat dan menyebarkan meme bikinan kecerdasan buatan yang memuat "kemesraan" Prabowo dan Jokowi.


Salah satunya digambarkan dengan Prabowo dan Jokowi yang tidur berdampingan di atas kasur. Keduanya sama-sama mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana pendek biru.


Peneliti dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Teuku Harza Mauludi, mengatakan meme-meme semacam itu tidak bisa dihentikan di tengah maraknya penggunaan kecerdasan buatan.


Apalagi, sambungnya, generasi muda saat ini berpandangan bahwa mereka lahir dengan hak kebebasan berpendapatan.


"Berbeda dengan generasi di masa Orde Baru yang paham betul konsekuensi ketika mengkritik secara terbuka, sehingga cenderung lebih berhati-hati," jelas Harza.


"Generasi Z atau Alpha ini merasa kebebasan berpendapat itu sesuatu yang taken for granted, yang sejak lahir sudah menjadi haknya, ditambah lagi dengan perkembangan teknologi dan media sosial."


Itu mengapa, menurut Harza, sudah sepatutnya politikus maupun pejabat publik "membiasakan diri" menghadapi kritik gaya baru seperti yang dilakukan mahasiswi ITB tersebut.


Sebab pada dasarnya, kritik tidak akan muncul jika masyarakat tak cemas pada isu-isu yang berkaitan dengan publik. 


Ia juga mengingatkan bahwa kritik jangan dilihat sebagai sebuah kebencian yang bersifat personal.


"Tapi ada alasan di belakangnya atas apa yang dilakukan pemerintah, baru kemudian kritik muncul.Jadi semakin banyak meme atau kritik muncul, ya seharusnya jadi ajang refleksi buat para pejabat, berarti ada yang salah di dalam pengelolaan urusan-urusan publik. Dengan begitu demokrasi kita tumbuh, karena yang namanya demokrasi butuh input."


"Selama Anda pejabat publik, harus sadar bahwa Anda tidak imun terhadap kritik. Kritik ada memang karena jabatan yang Anda ampu," imbuhnya. 


Sumber: MonitorIndonesia

Komentar