NARASIBARU.COM - Di era post-truth, ketika emosi dan opini lebih dominan daripada fakta, narasi besar tentang Indonesia sebagai negara demokrasi yang adil dan makmur mulai dipertanyakan.
Dalam lanskap inilah, Guru Besar ITS, Prof. Daniel Muhammad Rosyid, melontarkan kritik tajam: bahwa sejak UUD 1945 digantikan UUD 2002, bangsa ini telah memasuki fase kemunduran sistemik yang melahirkan “jokowisme” dan korporatokrasi.
Menurut Prof. Daniel, transformasi konstitusional yang terjadi pascareformasi tidaklah netral.
Justru menjadi celah masuknya paham neoliberalisme dan neokonservatisme, yang kini menjelma menjadi kekuatan hegemonik dalam sistem politik dan ekonomi nasional.
Di sinilah letak keprihatinan besar: UUD 2002 bukan sekadar amandemen, tapi transformasi mendalam yang mengubah arah dan substansi kenegaraan.
Banyak kalangan menilai bahwa perubahan UUD 1945 ke UUD 2002 membawa penyegaran dalam sistem ketatanegaraan.
Namun, Prof. Daniel menyebut perubahan itu justru membuka keran liberalisasi yang tidak terkendali. Pendidikan dan kesehatan diserahkan ke mekanisme pasar.
Pengelolaan sumber daya alam dibuka untuk investor asing. Keadilan sosial dan kedaulatan rakyat yang menjadi inti dari UUD 1945 seolah tergeser.
“UUD 2002 telah melahirkan sistem yang memungkinkan segelintir elite politik dan ekonomi memonopoli kekuasaan dan kekayaan. Yang tumbuh subur bukan keadilan, tapi ketimpangan dan kerakusan,” ujarnya, Rabu (21/5/2025).
Istilah “jokowisme” yang digunakan oleh Prof. Daniel merujuk pada gaya kepemimpinan yang teknokratis, populis, tetapi terintegrasi dalam sistem yang melayani korporasi besar.
Pemerintah semakin tampak seperti operator proyek-proyek raksasa: infrastruktur, pertambangan, food estate, dan sebagainya, yang sering kali berpihak pada modal besar.
Yakni situasi di mana perusahaan besar mengendalikan kebijakan negara—menjadi kenyataan. Akibatnya, hukum menjadi tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Korupsi tak terkendali. Regulasi dibuat untuk mempermudah bisnis besar, bukan untuk melindungi rakyat kecil.
Pemilu: Glembuk, Gendham, dan Copet Suara
Demokrasi elektoral yang diagung-agungkan pascareformasi kini berubah menjadi ritual formal yang sarat manipulasi.
Dalam istilah yang digunakan Prof. Daniel: “glembuk, gendham, dan copet suara.”
Glembuk adalah tipu daya politik, gendham adalah bujuk rayu yang menyesatkan, dan copet suara mencerminkan manipulasi hasil pemilu yang merugikan rakyat.
Sistem demokrasi kini justru memunculkan politisi yang berperan seperti badut, bandit, dan bandar.
Mereka tidak mewakili rakyat, melainkan kepentingan pemilik modal yang membiayai kampanye mereka.
Akibatnya, parlemen dan pemerintah tidak lagi menjadi representasi aspirasi rakyat, melainkan alat transaksi kuasa.
Di tengah kekacauan ini, Generasi Z menunjukkan gejala baru: apatisme politik.
Alih-alih berpartisipasi, banyak dari mereka memilih mundur. Tagar #KaburAjaDulu menjadi simbol keputusasaan kolektif terhadap masa depan bangsa.
Mereka tumbuh dalam narasi krisis yang terus-menerus: krisis integritas, krisis kepemimpinan, krisis keadilan.
Narasi “Indonesia Gelap” mulai membanjiri ruang publik digital. Ketidakpercayaan terhadap institusi negara dan sistem politik menjadi begitu kuat, hingga membentuk generasi skeptis yang tidak lagi percaya pada perubahan dari dalam sistem.
Sebagian tokoh Islam dan intelektual nasional mulai menyerukan perlunya meninjau ulang UUD 2002.
Bukan dalam rangka nostalgia, melainkan sebagai usaha untuk mengembalikan ruh asli konstitusi: keadilan sosial, kedaulatan rakyat, dan pengelolaan kekayaan negara sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Namun, tentu saja jalan ini tidak mudah. Butuh keberanian politik, rekonsiliasi nasional, dan diskursus publik yang sehat.
Dalam iklim post-truth seperti saat ini, fakta sering ditenggelamkan oleh opini. Kritik dianggap serangan. Upaya koreksi disebut makar.
Di sinilah pentingnya media independen, pendidikan kritis, dan ruang-ruang diskusi yang bebas dari tekanan oligarki.
Indonesia berada di persimpangan sejarah. Narasi “Indonesia Gelap” bisa menjadi kenyataan jika rakyat kehilangan harapan dan tidak lagi percaya pada konstitusi, pemilu, dan pemerintahan. Tapi dari kesadaran kritis inilah juga bisa tumbuh benih perubahan.
Prof. Daniel Rosyid memberikan suara peringatan yang seharusnya tidak diabaikan. Ia menegaskan bahwa demokrasi bukan sekadar pemilu, tetapi soal nilai dan substansi.
Ia menuntut agar rakyat Indonesia kembali sadar akan hakikat bernegara: bahwa republik ini bukan milik segelintir elite, melainkan milik seluruh rakyat yang berdaulat.
Saatnya generasi muda, intelektual, dan masyarakat sipil mengambil peran. Bukan untuk kabur, tetapi untuk membangun jalan terang di tengah kegelapan.
Sebab masa depan Indonesia hanya bisa diselamatkan oleh rakyat yang sadar, berani, dan tak gentar memperjuangkan kebenaran.
Sumber: SuaraNasional
Artikel Terkait
Kasus Ijazah Palsu, Buni Yani Bongkar Kejanggalan Dugaan Polisi Lindungi Jokowi!
Jokowi Bisa Jawab 22 Pertanyaan Polisi Dalam 1 Jam, Rocky Gerung: Aneh dan Tidak Masuk Akal!
Dipolisikan Usai Koar-Koar Ijazah Palsu Jokowi, Roy Suryo dkk ke Komnas HAM: Kami Dikriminalisasi!
Pemeriksaan Jokowi Hanya Satu Jam, Rocky Gerung: Saya Pernah Diperiksa Minimal 4 - 5 Jam untuk 20 Pertanyaan