"Bapak-bapak dan Ibu-ibu, mohon perhatiannya,” ujar salah seorang ibu dalam dialek daerah.
"Untuk menu makan gotong royong kita kali ini, siapa yang setuju Lontong Sayur, dan siapa yang sepakat menu Nasi Kuning?" lanjut sang Ibu.
Sontak perhatian warga tersedot, lalu sementara waktu menghentikan aktivitas masing-masing.
Para pemain di atas panggung membagi diri dalam dua aspirasi, membelah persepsi sambil menakar asupan gizi dari dua menu yang ditawarkan oleh panitia konsumsi.
Ya, memang seperti itulah makna demokrasi dalam praktiknya di RT Gang Gugus Depan.
Sesederhana memilih dua menu makanan. Sebatas membandingkan berapa bulir keringat dari usaha yang dikeluarkan versus berapa jumlah karbohidrat ditambah bumbu perasa yang dimasukkan untuk penggantinya.
Putu Wijaya, dalam karya monolognya berjudul "Demokrasi" (1994-2006), yang dikonstruksi ulang oleh Ali Wafan dalam bentuk tulisan, bermaksud hendak berbagi wacana, pemahaman dan realita konkret hari ini kepada penonton, perihal bagaimana "Demo-Kreasi" secara substansi akan lahir kembali melalui garis koordinasi pada struktur politik terkecil (RT Gang Gugus Depan) dalam masyarakat kita.
Tentunya alur pertunjukan drama berdurasi 60 menit yang dipersembahkan oleh Komunitas Santri IAIN Pontianak ini, dimainkan dengan tetap mempertahankan konsepsi teror mental ala Putu Wijaya, tebal dengan paradoks serta plot-plot humoris.
Artikel ini telah lebih dulu tayang di: pontianakpost.jawapos.com
Artikel Terkait
Ternyata Ledakan SMAN 72 Jakarta Terjadi saat Khutbah Jumat
Ledakan di SMAN 72 Jakarta, Densus 88 Dalami Unsur Terorisme
Geram Tanah Miliknya Diklaim, JK Ingatkan Lippo Group: Jangan Main-main di Makassar!
Demo Gorok Komisaris PT Transjakarta Dikecam Publik Jepang: Jangan Izinkan Orang G*la Ini Masuk ke Jepang