Kisah Arif Yoshizumi, Perwira Intelijen Jepang yang Membelot Setelah Bertemu Tan Malaka

- Jumat, 16 Juni 2023 | 08:15 WIB
Kisah Arif Yoshizumi, Perwira Intelijen Jepang yang Membelot Setelah Bertemu Tan Malaka


Yoshizumi merupakan komandan Pasukan Gerilya Istimewa. Pasukan yang sebagian besar beranggotakan Kempeitai dan bekas tentara Jepang. Mereka adalah orang orang Jepang yang memilih bersimpati pada republik sekaligus melawan sekutu beserta Belanda yang hendak menjajah kembali Indonesia.


Tomegoro Yoshizumi lahir pada 1911 di Oizumimura Nishitagawa, Prefektur Yamagata, Jepang. Yoshizumi pertama kali masuk ke Pulau Jawa sebagai mata mata militer Jepang pada tahun 1932. Ia sempat menyamar sebagai saudagar yang namanya cukup terkenal di Batavia. Pada tahun 1935, setelah pulang dari Jepang, Yoshizumi untuk kedua kalinya kembali ke Jawa.


Kali ini ia menyamar sebagai jurnalis koran Nichiran Shogyo Shinbun, yakni koran bisnis Jepang di Hindia Timur. Setelah perjumpaanya dengan Tan Malaka di rumah Ahmad Subardjo paska Proklamasi kemerdekaan, Yoshizumi dan Nishijima kerap bertemu Tan secara sembunyi sembunyi di Cikini Raya, Jakarta.


Sejarawan Harry A. Poeze menyebut Kaigun Bukanfu Daisangka yang dipimpin Yoshizumi, memang sangat bersimpati dengan kaum nasionalis kiri Indonesia. "Berkali kali kantor Kaigun Bukanfu digunakan sebagai tempat berlindung orang orang Indonesia dari pengejaran Kempeitai," tulis Harry A. Poeze.


Bersama Tan Malaka, Yoshizumi dan Nishijima merancang aksi militer dan gerilya. Terutama di wilayah Banten, Bogor dan Jakarta. Tujuannya satu, yakni melawan tentara sekutu (NICA) dan Belanda yang hendak kembali menduduki Indonesia. Dalam situasi politik yang tidak menentu itu (Setelah proklamasi kemerdekaan) Yoshizumi aktif membangun laskar gerilya.


Kelompok gerilyawan tersebut kemudian menyatu dengan kelompok Persatuan Perjuangan bentukan Tan Malaka. Sebelum gugur di kawasan hutan Sengon, Wlingi, Kabupaten Blitar, jejak pergerakan Yoshizumi muncul di Surabaya. Yoshizumi berhasil mempengaruhi Affandi, pimpinan PAL (Penataran Angkatan Laut).


Atas arahan Yoshizumi, Affandi mengorganisir ribuan buruh galangan kapal Ujung, Surabaya, yang sekaligus mengarahkan para tenaga tekhnisi untuk mendirikan pabrik dan bengkel senjata. Setelah proklamasi kemerdekaan, pabrik ini merupakan pabrik senjata pertama yang dimiliki Republik Indonesia. Dalam berproduksi dan menyimpan peralatan, para gerilyawan pejuang tersebut juga menggunakan bangunan bekas pabrik gula.


Sejarawan Wenri Wanhar dalam Jejak Intel Jepang, Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi menyebut, ada tiga pabrik senjata yang didirikan. Pertama, di lokasi Pabrik Gula Modjopanggung, Kabupaten Tulungagung. Sejak Agustus 1946, pabrik aktif memproduksi senjata karaben, mitraliur kecil, luplup mitraliur, kakidanto serta peluru dan mortir.


Kemudian yang kedua, di wilayah Karangsari, Blitar. Selain mereparasi dan memproduksi segala jenis senjata, disini juga membuat pakaian untuk seragam angkatan laut. Yang ketiga, di Pare, Kediri. Pabrik senjata yang dipimpin seorang ahli torpedo itu memproduksi penyembur api dan granat api.


Atas undangan Affandi, pada tahun 1947 Presiden Soekarno datang ke Modjopanggung, Tulungagung. Melihat pabrik senjata beserta bengkel, Soekarno tercengang. Dalam Jejak Intel Jepang, Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi, disebutkan, "Menurut Affandi, semua itu otaknya seorang Jepang bernama Yoshizumi".


Selama menjadi intel Jepang, Yoshizumi pernah ditawan Sekutu di Australia. Ia mendapat siksaan berat yang itu membuat badannya menjadi kurus dan terserang TBC. Saat memimpin Pasukan Gerilya Istimewa dan akhirnya gugur di Hutan Sengon, Wlingi, Blitar pada 1948, Yoshizumi juga dalam keadaan sakit sakitan.


Sepuluh tahun kemudian. Yakni tepatnya 3 Februari 1958, Soekarno bertemu Kaisar Jepang Hirohito. Di kediaman sang Kaisar, Bung Karno mendapat perjamuan makan siang. Di acara itu, Soekarno bertemu Nishijima, tangan kanan Laksamana Muda Maeda yang sekaligus kawan Yoshizumi. Catatan Jejak Intel Jepang, Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi, menuliskan, di sela senda gurau Bung Karno menyelipkan sepucuk surat ke tangan Nishijima.


Tulis Soekarno, "Kepada saudara Ichiki Tatsuo dan saudara Yoshizumi Tomegoro, kemerdekaan bukanlah milik sesuatu bangsa saja, tetapi milik semua manusia. Tokyo, 15 Februari 1958, Soekarno".


Isi surat yang lengkap dengan tanda tangan Bung Karno tersebut kemudian terpahat pada dinding Soekarno Hi atau Monumen Soekarno yang berada di pekarangan Seisho Ji, yakni Kuil Budha kuno di kawasan Atago, Minato, Tokyo Jepang.


Sumber: okezone


Halaman:

Komentar