SERU! Lagi Ramai Fahri Hamzah vs Maruarar Sirait: Ketika Menteri dan Wakilnya Saling Serang

- Selasa, 08 Juli 2025 | 14:30 WIB
SERU! Lagi Ramai Fahri Hamzah vs Maruarar Sirait: Ketika Menteri dan Wakilnya Saling Serang


Ketika Menteri dan Wakilnya Saling Serang Soal Rumah Rakyat, Hashim Diam Tapi Tak Absen


“Kalau rumahnya saja segede kotak mie instan, itu bukan rumah rakyat—itu pelecehan terhadap rakyat.” (Fahri Hamzah)


“Yang penting rakyat punya atap dulu. Jangan sampai karena idealisme ukuran, rakyat tidur di emperan selamanya.” (Maruarar Sirait)


Mungkin inilah pertunjukan paling dramatis di awal Kabinet Prabowo jilid pertama: dua orang dari kementerian yang sama, Maruarar Sirait dan Fahri Hamzah, saling silang kata—bukan di ruang rapat tertutup, tapi di depan publik, media, bahkan Komisi V DPR.


Isunya: program 3 juta rumah rakyat per tahun—janji kampanye yang menjadi simbol kerakyatan plus produktivitas ala Prabowo


Tapi siapa sangka, di balik jargon mulia itu, justru menyimpan kisah powerplay, perbedaan visi, dan adu gengsi dua tokoh politik yang sama-sama keras kepala.


Dan di antara keduanya, ada satu nama besar yang sejak awal menjadi arsitek janji ini: Hashim Djojohadikusumo (adik Prabowo).


Babak I: Ukuran Bukan Sekadar Angka


Pertarungan terbuka dimulai ketika Maruarar, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, memamerkan desain rumah subsidi berukuran 18 meter persegi


Baginya, ini solusi pragmatis: cepat dibangun, murah, cocok untuk kota besar dengan harga tanah selangit.


Namun Fahri Hamzah, Wakil Menteri yang dikenal galak terhadap siapa pun—bahkan presidennya sendiri di masa lalu—langsung menyebut itu “gagasan tak manusiawi”.


“Saya tidak pernah diajak bicara soal desain rumah 18 meter. Itu melanggar standar hidup layak. Kita ini membangun rumah, bukan gudang sapi,” kata Fahri.


Fahri tak berhenti di situ. Ia menyindir desain itu hanya cocok untuk spekulan tanah, bukan untuk ibu-ibu dengan dua anak. 


Bahkan beberapa anggota DPR dari Komisi V pun memberi nada miring.


Babak II: Uang dari Langit atau dari Tanah?


Setelah ukuran, giliran dana yang jadi senjata perdebatan.


Maruarar kukuh: tak mau utang luar negeri. Ia mengandalkan Danantara dan skema FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan). 


"Uang kita cukup," katanya.


Fahri justru menawarkan solusi “non-APBN”: Kerja sama internasional dengan AIIB, Islamic Development Bank, hingga World Bank


Ia bahkan menyarankan sistem attachment earnings—potongan gaji langsung untuk mencicil rumah. Smart financing, katanya.


Yang jadi masalah: semua ide Fahri itu tidak muncul dari sistem resmi kementerian, melainkan dari presentasi pribadi. 


Maruarar tak sudi menanggapi. Fahri pun mengeluh: “Saya ini wakil menteri, bukan pegawai magang.”


Babak III: Lalu Di Mana Hashim?


Hashim Djojohadikusumo bukan sekadar orang di belakang layar. Sebelum pemilu, dialah yang menggagas ide 3 juta rumah/tahun. 


Dialah yang bicara ke media bahwa proyek ini akan menyerap 6 juta tenaga kerja dan menaikkan pertumbuhan ekonomi 1,5%.


Ia juga yang menjamin tidak akan ada pelanggaran standar kelayakan rumah. 


Saat isu rumah 18 meter mencuat, Hashim—lewat Satgas Perumahan—menegaskan bahwa ukuran minimum tetap harus sesuai standar WHO dan nasional: sekitar 36 meter persegi. 


Ia bahkan menolak mentah-mentah ide rumah mungil yang dinilai “tidak layak secara kemanusiaan.”


“Kami tidak pernah menyetujui rumah 18 meter. Itu bertentangan dengan prinsip dasar pembangunan manusia,” katanya dalam wawancara yang dikutip The Star Malaysia, Juni lalu.


Dengan kata lain: Hashim tak berdiri di belakang Ara, tapi juga tak memaki Fahri. 


Ia memilih jalur tengah: efisiensi yes, tapi manusia tetap di pusat.


Wasit Tanpa Peluit?


Tapi begini soal Hashim: ia bersuara, tapi tak bertindak langsung. 


Ia membentuk Satgas Perumahan, mendesain roadmap, menggandeng investor dari Qatar dan UEA, bahkan mengumumkan obligasi perumahan dengan total Rp130 triliun lewat Bank Indonesia.


Namun ketika Maruarar dan Fahri berseteru—Hashim memilih tidak menjadi pemadam. Ia tak meredakan, hanya meluruskan.


Seorang sumber internal kementerian menyebut, “Pak Hashim itu seperti arsitek stadion yang membiarkan dua pemain gelut di lapangan. Dia kasih garis, tapi tidak turun tangan.”


Janji Kampanye Kakaknya, dan Tanggung Jawabnya Sendiri


Pada 2023 lalu, saat Prabowo masih kandidat, Hashim pernah bilang begini:


“Kami ingin memastikan setiap rakyat Indonesia punya rumah yang layak, bukan hanya atap. Kami tidak akan mengulang kesalahan rezim sebelumnya yang hanya mencetak angka.”


Kutipan itu kini menghantui program yang sedang berjalan. Karena angka sudah diumumkan: 3 juta rumah per tahun. 


Tapi bagaimana jika angka itu berubah jadi medan pertempuran politik internal?


Rumah Itu Harusnya untuk Rakyat, Bukan Ego


Kita bicara soal hunian: tempat tinggal, mimpi sederhana keluarga muda. 


Tapi di tangan dua pejabat keras kepala dan satu wasit yang terlalu berwibawa untuk turun tangan, rumah itu berubah jadi panggung sandiwara.


Sementara rakyat masih menunggu: rumahnya mana?


Epilog


Ketika Maruarar membawa kecepatan dan keberanian, Fahri membawa nalar dan keraguan. 


Di tengahnya, Hashim membawa kredibilitas, tapi juga kekakuan aristokratik.


Program 3 juta rumah mungkin akan tetap berjalan. Tapi bukan tidak mungkin hasilnya mencerminkan siapa yang paling kuat dalam pertarungan ini:


Apakah rumahnya cepat tapi sempit?

Atau kokoh tapi lamban?

Atau justru tetap mimpi di udara?


Yang pasti: pertarungan di Kementerian Perumahan belum bubar. 


Dan Hashim, sebagai wasit dengan peluit emas, belum meniup tanda selesai! ***


Sumber: XyzoneMedia

Komentar