'Kok KPK Lambat Menangkap Malingnya?'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Begini, saya tidak sedang menyamakan KPK dengan Hansip yang baru bangun siang atau satpam kompleks yang sibuk main ponsel.
Tapi kalau malingnya sudah lama masuk dapur, ngambil piring, bahkan sempat masak mie rebus, lalu baru ketahuan setelah air mendidih—ya kita patut bertanya: kok lambat menangkap malingnya?
Baru-baru ini, Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, menyinggung kasus dugaan korupsi kuota haji di era Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Kasusnya tidak sembarangan.
Bukan sekadar amplop recehan, ini menyangkut ibadah suci lima tahunan umat Islam Indonesia, menyangkut air mata emak-emak yang sudah nabung bertahun-tahun, menyangkut antrian panjang yang mengular hingga 10 sampai 20 tahun ke depan.
Yang bikin nyesek, dugaan korupsi itu justru terjadi setelah Indonesia mendapat tambahan kuota haji sebanyak 20 ribu dari Kerajaan Arab Saudi.
Tambahan ini datang setelah Presiden ke-7, Joko Widodo, terbang langsung ke Riyadh.
Wah, ini bukan sembarang ‘oleh-oleh’ dari luar negeri, ini oleh-oleh yang kemudian diduga jadi rebutan di antara para pejabat.
Fitroh bilang, yang dipermasalahkan adalah soal pembagian kuota.
Kuota haji reguler yang mestinya buat rakyat jelata, eh malah dialihkan ke kuota haji khusus—tempat para konglomerat dan pejabat bisa berangkat tanpa harus antre belasan tahun.
Logika korupnya begini: fasilitas negara buat rakyat kecil, tapi malah dijual ke yang mampu. Ini seperti raskin (beras miskin) dijual ke hotel bintang lima.
Mungkin kita bisa bertanya: Kapan persisnya dugaan ini terjadi? Jawaban Fitroh: “Ya sepertinya di 2024 lah itu.”
Nah, ini yang bikin kepala mengangguk-angguk heran.
Kasusnya 2024, baru disinggung serius pertengahan 2025?
Jadi, siapa yang selama ini sibuk pasang spanduk “Berani Jujur Hebat,” tapi saat rakyat nunggu keadilan, malah seperti sibuk cari sinyal?
Saya tidak mau bilang KPK lamban. Mungkin mereka hanya terlalu hati-hati, terlalu administratif, terlalu patuh prosedur, hingga tak sadar bahwa koruptor bergerak jauh lebih lincah.
Tapi publik bukan tidak cerdas. Kita tahu mana penyelidikan sungguhan, dan mana yang hanya pengalihan isu.
Menariknya, ini bukan sekadar soal teknis pembagian kuota. Ini menyentuh soal politis, moral, dan—kalau boleh saya bilang—pengkhianatan atas kepercayaan umat.
Saat Jokowi pergi ke Saudi dan membawa pulang kabar tambahan kuota, itu disambut dengan syukur.
Tapi ketika kuota itu dikorup, publik bertanya: Siapa yang bertanggung jawab?
Menteri Agama Yaqut? Jokowi? Atau sistem yang memang dibuat bias antara kekuasaan, pelayanan publik, dan kepentingan pribadi? KPK sendiri sudah membuka kemungkinan memanggil eks Menag.
Tapi seperti biasa, bahasa KPK itu selalu normatif: “Tergantung hasil pemeriksaan.” Seperti tukang tambal ban bilang, “Tergantung bocornya di mana.”
Tapi ini bukan tambal ban, Bung! Ini soal nasib ribuan jemaah haji.
Ini soal sistem yang seharusnya melayani umat, tapi justru dipakai sebagai ladang proyek dan rente.
Kalau dulu korupsi bansos kita kecam karena mengambil hak rakyat yang kelaparan, maka korupsi haji adalah pengkhianatan terhadap yang ingin menunaikan ibadah.
Dalam dua-duanya, koruptor adalah maling. Dan maling tetap maling, meskipun pakai jas, peci, atau sorban.
Maka sekali lagi saya tanya: Kok lambat menangkap malingnya? ***
FIX! Pakar Yakini 'Keterlibatan' Eks Menag Yaqut: Setoran Haji Khusus Masuk Kemana?
NARASIBARU.COM - Pakar Hukum Abdul Fickar meyakini kasus dugaan korupsi kuota haji yang kini tengah ditelusuri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal menyasar ke dugaan keterlibatan eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut.
Sebab ia percaya, kebijakan pengalihan kuota haji reguler ke khusus, tidak hanya keputusan dirjen haji semata, melainkan di tingkat menteri.
"Saya ngerti Dirjen atau Direktur itu tidak bisa berbuat apa-apa, ketika diperintahkan oleh menteri umpamanya. Karena itu perbuatan ini bisa perbuatan yang dilakukan oleh beberapa orang, tetapi pengambil kebijakannya adalah kementerian. Dan menteri ini harus mempertanggungjawabkan sebagai tindak pidana korupsi," ujar Fickar saat dihubungi di Jakarta, Senin (23/6/2025).
Fickar mengatakan, tindakan pengalihan kuota haji reguler ke haji khusus sudah barang tentu merugikan masyarakat.
Selain itu, disisi lain menjadi ladang cuan yang berujung pada kerugian negara.
"Siapa yang berkuasa atau yang mengambil keputusan pada waktu itu? Umpamanya menteri, menterinya siapa? Kalau sekarang Pak Nazaruddin, sebelumnya Pak Yaqut. Kapan itu terjadinya? Maka orang-orang itulah sebenarnya yang paling bertanggung jawab," kata dia.
Fickar mengatakan, bila keuntungan jatah haji reguler itu sepenuhnya didapat negara, sementara haji khusus atau haji plus pasti masuk ke pihak swasta.
Hal ini lah yang kemudian berdampak pada kerugian negara.
Kini, sambung dia, KPK tinggal menelusuri saja siapa pihak-pihak yang mendapat keuntungan dari kebijakan itu.
"Kalau istilah lagu Bengawan Solo itu, air mengalir sampai jauh. Kemana saja itu setoran-setoran dari program jemaah haji khusus itu masuknya kemana? Apakah murni ke negara atau masuk ke kantong-kantong oknum-oknum tertentu umpamanya? Bisa ke kantong menteri, ke kantong dirjen, atau ke kantong direktur, atau ke kantong yang lain," kata dia.
Peluang Memeriksa Gus Yaqut
Sebelumnya, KPK membuka peluang untuk memanggil mantan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dalam rangka penyelidikan kasus dugaan korupsi kuota haji.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengatakan pihaknya masih mendalami dan mengumpulkan keterangan dari para saksi lain dalam kasus ini.
Materi pertanyaan terhadap Yaqut akan disusun berdasarkan hasil pemeriksaan saksi-saksi sebelumnya sebelum dilakukan pemanggilan.
"Kita tunggu dulu prosesnya, karena penyelidik masih mendalami juga keterangan-keterangan yang sudah disampaikan saksi sebelumnya," kata Budi kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (23/6/2025).
Menurut Budi, peluang pemanggilan Yaqut cukup besar guna membuat terang perkara dugaan korupsi penyelenggaraan haji di masa kepemimpinannya, khususnya pada tahun 2024.
"Tentu KPK membuka peluang kepada pihak-pihak siapa saja yang memang mengetahui dari konstruksi perkara ini untuk kemudian dipanggil dan dimintai keterangannya,” ucapnya.
KPK diketahui tengah menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi (TPK) dalam pengelolaan kuota haji tahun 2024 yang terjadi pada masa kepemimpinan Menag Yaqut Cholil Qoumas.
Sejauh ini, lima kelompok masyarakat telah melaporkan dugaan tersebut ke KPK.
"Sebagaimana yang disampaikan Pak Plt Deputi (Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu), laporan masyarakat mengenai dugaan TPK kuota haji saat ini masih dalam proses penyelidikan," kata Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, Jumat (20/6/2025).
Kelima pelapor adalah Gerakan Aktivis Mahasiswa UBK Bersatu (GAMBU), Front Pemuda Anti-Korupsi, Mahasiswa STMIK Jayakarta, Aliansi Mahasiswa dan Pemuda untuk Keadilan Rakyat (AMALAN Rakyat), serta Jaringan Perempuan Indonesia (JPI). Laporan tersebut disampaikan pada awal Agustus 2024.
"KPK harus melakukan pemeriksaan secara mendalam dan meluas terkait dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) kuota haji karena telah merugikan masyarakat yang antre puluhan tahun," kata Koordinator AMALAN Rakyat, Raffi, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (5/8/2024).
Menurut Raffi, perkara ini bermula dari kesepakatan Rapat Panja Haji tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2024 yang digelar bersama Menag Yaqut pada 27 November 2023.
Dalam rapat tersebut disepakati bahwa kuota haji Indonesia tahun 2024 adalah 241.000 jemaah, dengan rincian 221.720 jemaah reguler (sekitar 92%) dan 19.280 jemaah khusus (sekitar 8%).
Namun, dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VIII DPR bersama Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah pada 20 Mei 2024, terungkap bahwa Kementerian Agama secara sepihak mengubah kuota tersebut menjadi 213.320 jemaah reguler (88,5%) dan 27.680 jemaah khusus (11,5%).
Artinya, terdapat pengalihan sebanyak 8.400 kuota dari jemaah reguler ke jemaah khusus tanpa persetujuan DPR.
Raffi menyebut kebijakan ini melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, yang menetapkan bahwa kuota haji khusus maksimal hanya 8 persen dari total kuota nasional.
Sementara itu, Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menyampaikan bahwa dugaan korupsi terkait kuota haji khusus tak hanya terjadi pada tahun 2024, melainkan juga terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
Untuk tahun 2024, Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI mengklaim telah menemukan sejumlah kejanggalan dalam pelaksanaan ibadah haji.
Salah satu yang disorot Pansus adalah pembagian kuota 50:50 terhadap alokasi tambahan sebanyak 20.000 kuota haji yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi.
Saat itu, Kementerian Agama membagi tambahan kuota tersebut menjadi 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Tak Berani Hadiri Gelar Perkara, Jokowi Pengecut!
Habiburokhman Minta Forum Purnawirawan TNI Hentikan Desakan Pemakzulan Gibran: Hormati Hasil Pemilu Ya
Unggahan Fahri Hamzah Kutip Pemikiran Sumitro Malah Dirujak Netizen
Membongkar Locked-Room Mystery Diduga Modus Kematian Arya Daru: Saat TKP Berbicara Bohong!