Adhie Massardi Sindir Lembaga Survei: Kalau Muncul di 1940-an, Indonesia Tak Akan Pernah Merdeka

- Senin, 14 Juli 2025 | 13:35 WIB
Adhie Massardi Sindir Lembaga Survei: Kalau Muncul di 1940-an, Indonesia Tak Akan Pernah Merdeka


Juru bicara era Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Adhie Massardi, kembali melontarkan kritik tajam terhadap keberadaan lembaga survei politik di Indonesia. Dalam pernyataan terbarunya, ia menyentil peran lembaga survei yang dinilainya tidak netral dan cenderung berpihak kepada pemilik modal. Bahkan, Adhie menyampaikan sindiran historis yang menohok: “Bersyukurlah bangsa 62 karena lembaga-lembaga survei baru lahir sekarang. Bayangkan jika mereka sudah muncul tahun 1940-an,” ungkapnya di akun X (Twitter), Senin (14/7/2025).

Ia kemudian melanjutkan imajinasinya dengan sebuah skenario satir. “Setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan Kemerdekaan, mereka lalu survei: Rakyat ikut Soekarno-Hatta atau ikut Belanda? NKRI tak akan merdeka, karena yang bisa bayar survei waktu itu ya Belanda!” sindir Adhie.

Sindiran Adhie itu merujuk pada maraknya lembaga survei politik yang kerap kali disebut-sebut tidak independen dan hanya menyuarakan kehendak pihak yang menjadi donatur atau klien mereka. Dalam beberapa dekade terakhir, terutama menjelang pemilu, nama-nama lembaga survei ramai bermunculan dengan hasil riset yang kerap kali kontradiktif satu sama lain, sehingga publik pun bingung membedakan mana data yang otentik dan mana yang dipesan.

“Kondisi saat ini menunjukkan degradasi kepercayaan publik terhadap lembaga survei. Mereka seolah bukan alat demokrasi, tetapi alat propaganda kekuasaan,” ujar Adhie.

Ia menilai, jika lembaga-lembaga seperti itu sudah ada sejak masa perjuangan kemerdekaan, maka sejarah bangsa ini bisa saja berbeda. “Bisa saja hasil survei menunjukkan mayoritas rakyat masih ingin dijajah karena propaganda kolonial dan ketakutan akan ketidakpastian kemerdekaan. Lalu apa jadinya kita? Tidak akan ada Republik Indonesia,” tegasnya.

Pernyataan Adhie juga mempertegas kritik lama terhadap adanya praktik politik uang di balik publikasi survei. Tak sedikit pengamat yang menyebut survei kini kerap dijadikan alat untuk membentuk opini publik, bukan sekadar memotret realitas yang ada.

Pengamat komunikasi politik Effendi Gazali, juga pernah menyampaikan bahwa survei telah berubah dari alat ilmiah menjadi alat legitimasi politik. “Jangan-jangan yang dikutip bukan kebenaran statistik, tapi kebenaran pesanan,” katanya dalam diskusi publik.

Fenomena ini menurut banyak pihak justru merugikan demokrasi. Ketika lembaga survei tidak lagi berdiri di atas prinsip objektivitas dan netralitas, maka publik tidak lagi mendapat informasi jernih untuk mengambil keputusan politik. Bahkan, hasil survei bisa menjadi alat untuk menggiring opini massa, menciptakan efek “ikut pemenang” (bandwagon effect), dan menekan calon alternatif.

Dalam konteks itu, sindiran Adhie Massardi menjadi pengingat akan pentingnya integritas dalam dunia riset opini publik. Sebab jika survei berubah menjadi alat propaganda, maka demokrasi akan berjalan tanpa kompas.

Sebagai juru bicara Gus Dur, Adhie Massardi kerap melanjutkan warisan pemikiran presiden ke-4 RI tersebut dalam mempertahankan independensi nalar publik. Gus Dur dikenal sebagai pemimpin yang tidak mudah tunduk pada opini mayoritas yang digiring oleh media atau survei, melainkan teguh pada prinsip dan visi moralnya.

“Rakyat itu harus cerdas. Jangan mau dibodohi oleh angka-angka survei yang tidak jelas sumber dan metodologinya. Lebih baik percaya pada akal sehat dan rekam jejak para calon pemimpin,” tutup Adhie.

Foto: Adhie Massardi (IST)

Komentar