Bangga Dengan Ketololan: 'Negeri Yang Membiakkan IP 2 dan Phobia Buku'
Oleh: Ali Syarief
Bayangkan sebuah negeri yang dulunya melahirkan Chairil Anwar, kini gemar melahirkan anak-anak muda dengan Indeks Prestasi (IP) kurang dari dua.
Negeri yang dulunya dijadikan tempat belajar oleh bangsa-bangsa Eropa, kini jadi tempat numpang lewat influencer yang tak kenal perbedaan antara filsafat dan filsawan.
Negeri yang dulunya sarat dengan aroma tinta dan debat di warung kopi, kini lebih akrab dengan aroma lem tikus politik dan suara sorak sorai para buzzer bayaran.
Ah, saya jadi ingin manyampaikan pesan “Negara ini besar bukan karena pejabatnya pintar, tapi karena rakyatnya sabar.” Namun sabar pun ada batasnya.
Ketika Presiden bisa berseloroh soal IP yang tidak mencapai angka 2, dan wakil presidennya bilang terang-terangan bahwa dia tidak suka membaca, maka yang sabar pun bisa mendidih, dan mendidihnya bukan di atas api unggun nasionalisme, tapi di atas api kemarahan publik yang kerap disuruh diam demi stabilitas palsu.
Ya, saudara-saudara. Presiden kita dengan bangga menyebut bahwa IP-nya waktu kuliah di UGM hanya 1 koma sekian.
Ini bukan pengakuan yang menjatuhkan diri, tapi pengumuman bahwa ketololan pun bisa jadi pangkat.
Seolah berkata pada dunia, “Lihat, saya bodoh saja bisa jadi presiden, apalagi kamu.”
Sebuah motivasi yang salah alamat, seperti memberi semangat kepada kambing agar jadi singa di hutan belantara.
Lebih tragis lagi, si anak bungsu, Gibran, yang kini menjabat Wakil Presiden Republik Indonesia, terang-terangan bilang bahwa dia tidak suka membaca buku.
Seolah buku adalah musuh, dan ilmu adalah penyakit menular.
Jika ini pernyataan dari seorang kuli batu di ujung kampung, kita bisa memaklumi.
Tapi ini pernyataan dari orang yang menempati puncak kekuasaan—mereka yang seharusnya membaca, berpikir, dan menjadi mercusuar moral serta intelektual bangsa.
Apa yang kita pelajari dari dua tokoh ini? Bahwa menjadi bodoh dan malas membaca bukan penghalang untuk berkuasa.
Bahkan mungkin, di negeri ini, itu adalah syaratnya.
Tentu saja, jika Anda terlalu pintar, terlalu jujur, dan terlalu banyak membaca, maka Anda justru dicurigai sebagai musuh negara.
Anda akan dianggap terlalu kritis, terlalu cerewet, terlalu berbahaya bagi sistem yang nyaman dengan kebodohan.
Saya jadi bertanya-tanya, mengapa kita sampai pada titik ini? Jawabannya sederhana: karena kita mengagungkan bentuk di atas isi.
Karena kita lebih sibuk mengecat tembok istana daripada memperbaiki isi kepala penghuninya.
Karena kita lebih kagum pada foto-foto pembangunan IKN daripada membaca laporan BPK soal korupsi di dalamnya.
Karena kita lebih percaya pada narasi TikTok daripada membaca dokumen negara. Karena kita lebih doyan pencitraan daripada pencerdasan.
Bangsa ini sedang sakit. Dan yang paling menyedihkan, yang sakit bukan hanya elite-nya.
Rakyatnya pun mulai tertular, mulai ikut-ikutan menganggap bodoh itu keren, anti-intelektualisme itu gaul, dan tidak suka membaca itu jujur.
Mereka berkata, “Yang penting kerja nyata.”
Padahal, kerja nyata tanpa pikiran itu bukan kerja, tapi hanya gerak tubuh yang dungu.
Buruh pun berpikir. Petani pun berpikir. Tapi pemimpin kita tidak?
Saya ingin bertanya kepada bangsa ini: mau dibawa ke mana negeri ini jika para pemimpinnya bangga dengan kebodohan dan rakyatnya bersorak menepuk tangan?
Mau sampai kapan kita terus menepuk dada sambil menengok ke belakang, mengenang kejayaan masa lalu, sementara hari ini kita sibuk menormalisasi kebodohan?
Maka, saya tutup dengan ironi pahit: Kita hidup di zaman ketika membaca dianggap keanehan, berpikir dianggap ancaman, dan kebodohan dianggap keberanian.
Selamat datang di republik ketololan—di mana IP 1,9 adalah prestasi, dan buku hanyalah hiasan di rak IKEA. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
TERKUAK! Prof Sofian Effendi Akui Dihubungi Jokowi Lovers Usai Bongkar Fakta Ijazah Palsu: Mereka Akan Laporkan Saya ke Bareskrim
Rektor UGM Dipanggil Prabowo: Benarkah Ada Yang Disembunyikan Soal Ijazah Jokowi?
Gubernur Dedi Mulyadi Mengaku Tak Tahu Ada Pesta Rakyat di Pernikahan Anaknya
Kronologi Lengkap Guru Madin Tampar Murid Didenda Rp 25 Juta, hingga Berujung Laporan Polisi