NARASIBARU.COM - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) telah menyerahkan bukti dokumen kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berupa Surat Keputusan (SK) Menteri Agama RI Nomor 130 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi.
Bukti tersebut diharapkan dapat membantu proses penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan haji Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2023–2024 pada masa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
"Surat Keputusan ini sangat penting karena diduga menjadi dasar pembagian kuota tambahan haji khusus yang pelaksanaannya tidak sesuai ketentuan sehingga mengarah dugaan korupsi," kata Koordinator MAKI Boyamin Saimana, Senin (11/8/2025).
Dalam SK yang ditandatangani Yaqut Cholil Qoumas selaku Menteri Agama pada 15 Januari 2024 itu, pembagian kuota tambahan haji sebanyak 20.000 dari Pemerintah Arab Saudi dibagi 50:50 untuk kuota haji khusus dan kuota haji reguler di Indonesia.
Kuota tambahan haji khusus sebanyak 10.000 terdiri atas 9.222 untuk jemaah dan 778 untuk petugas haji khusus.
Sementara itu, kuota tambahan haji reguler sebanyak 10.000 orang dibagikan ke 34 provinsi.
Provinsi dengan penerima kuota terbanyak adalah Jawa Timur 2.118 orang, Jawa Tengah 1.682 orang, dan Jawa Barat 1.478 orang.
Provinsi lainnya rata-rata memperoleh ratusan hingga puluhan kuota.
"SK ini sulit dilacak keberadaannya, bahkan Pansus Haji DPR 2024 gagal mendapatkannya," tegas Boyamin.
Menurutnya, pembagian tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 Pasal 64 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, yang mengatur porsi kuota haji khusus maksimal 8 persen, sedangkan kuota haji reguler sebesar 92 persen, bukan 50:50.
Lebih lanjut, Boyamin menegaskan pengaturan kuota haji seharusnya berbentuk Peraturan Menteri Agama yang diterbitkan dalam lembaran negara setelah mendapat persetujuan Menteri Hukum dan HAM saat itu.
"Jadi jelas pelanggaran jika pengaturan kuota haji hanya berbentuk Surat Keputusan Menteri Agama yang tidak perlu ditayang dalam lembaran negara dan tidak perlu persetujuan Menkumham (Pasal 9 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019)," ucap Boyamin.
Penyusunan SK Menteri Agama tersebut diduga dilakukan oleh empat orang secara tergesa-gesa.
"AR (Gus AD), saat itu salah satu staf khusus Menteri Agama; FL, saat itu pejabat eselon I di Kemenag; NS, saat itu pejabat eselon II di Kemenag; HD, pegawai setingkat eselon IV di Kemenag," jelasnya.
Menurut Boyamin, potensi nilai korupsi dalam penyimpangan kuota haji tambahan 2024 ini mencapai Rp691 miliar.
Ia menduga terjadi pungutan liar atau pemerasan kepada 9.222 jemaah haji khusus, masing-masing sebesar Rp75 juta atau sekitar USD5.000.
"Jika kuota tambahan adalah 9.222 dikalikan Rp75 juta maka dugaan nilai pungutan liar/korupsi adalah sebesar Rp691 miliar. (Kuota haji khusus tambahan 10.000 dikurangi petugas haji 778 maka diperoleh jumlah haji khusus 9.222 orang)," jelas Boyamin.
Ia menambahkan, dugaan penyimpangan lain adalah adanya mark up atau pemahalan biaya katering makanan dan penginapan hotel, yang nilai kerugiannya belum bisa ditentukan dan menjadi tugas DPR untuk menyelidikinya.
"Untuk melacak aliran uang dan dalam rangka memaksimalkan uang pengganti serta untuk efek jera maka wajib bagi KPK untuk menerapkan ketentuan tindak pidana pencucian uang," pungkas Boyamin.
Adapun KPK tengah mendalami aliran dana yang diduga menguntungkan sejumlah pihak dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi tersebut.
Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa penyidik menelusuri dugaan keterlibatan oknum di Kemenag yang membagikan kuota haji tidak sesuai aturan dan memberikan jatah kuota haji khusus kepada perusahaan travel. Oknum tersebut diduga menerima kickback dari pihak travel.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, porsi kuota haji khusus maksimal 8 persen, sedangkan kuota haji reguler sebesar 92 persen.
Namun, Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI mengaku menemukan kejanggalan pada pembagian tambahan kuota 20.000 jemaah dari Pemerintah Arab Saudi pada 2024, yang dibagi rata 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus (50:50).
"Aliran dana baik itu dalam konteks karena pembagian kuota, misalkan dari pihak pemerintah, oknum pihak pemerintah atau Kementerian Agama yang karena keputusannya memberikan kuota haji ini tidak sesuai dengan aturan kemudian mendapatkan sejumlah uang," kata Asep melalui keterangannya di Jakarta, Senin (11/8/2025).
Asep menambahkan, KPK juga menelusuri dugaan aliran dana kepada pihak travel umrah yang menerima kuota haji khusus meski seharusnya tidak mendapatkannya, lalu menjual tiket haji tersebut untuk memperoleh keuntungan.
"Kemudian juga tentunya perusahaan-perusahaan ya, perusahaan travel dimana mereka yang seharusnya tidak menerima kuota tersebut," ucapnya.
Menurut Asep, pendalaman aliran dana ini akan menjadi dasar penetapan tersangka, baik dari oknum Kemenag maupun perusahaan agen travel haji.
Penetapan tersangka akan mengacu pada Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Betul, dengan menggunakan Pasal 2, Pasal 3 ada unsur kerugian negaranya yang harus kita atau harus penyidik buktikan. Kemudian, nanti siapa yang diuntungkan gitu ya dengan pasal ini, yang diuntungkan adalah tadi, menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi," jelas.
Sebelumnya, kasus ini resmi naik ke tahap penyidikan pada Jumat (8/8/2025) melalui surat perintah penyidikan (sprindik) umum, sehingga belum ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka.
Asep menjelaskan, penggunaan sprindik umum memberi ruang bagi penyidik untuk lebih leluasa mengumpulkan bukti sebelum menetapkan tersangka.
"Karena kami masih ingin mendalami beberapa peran dari beberapa pihak sehingga nanti dengan sprindik umum ini kita menjadi lebih leluasa untuk mengumpulkan bukti juga mengumpulkan informasi," ujarnya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (9/8/2025).
Dengan status penyidikan, KPK memiliki kewenangan melakukan upaya paksa seperti pemeriksaan saksi, penggeledahan, dan penyitaan, yang sebelumnya tidak dapat dilakukan pada tahap penyelidikan.
"Karena tentu saja pada proses penyelidikan ini ada keterbatasan dimana dalam penyelidikan belum bisa melakukan upaya paksa penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya sehingga kami melihat, kami perlu mengumpulkan bukti yang lebih banyak untuk menentukan nanti siapa yang menjadi tersangkanya," jelas Asep.
Dalam proses penyelidikan, KPK telah memeriksa sejumlah pejabat dan mantan pejabat Kemenag, serta pelaku usaha travel haji dan umrah.
Mereka antara lain mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief, pegawai Kemenag berinisial RFA, MAS, dan AM, Pemilik Travel Uhud Tour Ustadz Khalid Basalamah, Sekjen AMPHURI Muhammad Farid Aljawi, serta Ketua Umum Kesthuri Asrul Aziz.
Yaqut diperiksa di Gedung Merah Putih KPK pada Kamis (7/8/2025) selama hampir lima jam, mulai pukul 09.30 WIB hingga 14.20 WIB.
Ia mengaku dimintai keterangan terkait pembagian kuota tambahan pada penyelenggaraan haji 2024.
"Ya, alhamdulillah saya berterima kasih akhirnya saya mendapatkan kesempatan, mendapatkan kesempatan untuk mengklarifikasi segala hal terutama yang terkait dengan pembagian kuota tambahan pada proses haji tahun 2024 yang lalu," jelasnya.
Namun, saat ditanya mengenai dugaan perintah pembagian kuota haji dari Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi), Yaqut enggan menjawab lebih lanjut.
"Terkait dengan materi saya tidak akan menyampaikannya, mohon maaf kawan-kawan wartawan. Intinya saya berterima kasih mendapatkan kesempatan bisa menjelaskan, mengklarifikasi segala hal yang terkait dengan pembagian kuota tahun lalu," tuturnya.
Sumber: MonitorIndonesia
Artikel Terkait
UPDATE! 148 Negara Kini Akui Palestina, Siapa Saja & Manapula Yang Tidak?
Dicekal KPK Terkait Korupsi Haji, Intip Harta Kekayaan Yaqut Cholil Qoumas yang Tembus Rp 12 Miliar
Prabowonomics Versus Serakahnomics
Parlemen Bakal Bikin Panja Usut Perumahan TNI Mangkrak Era Dudung