Jokowi, Gibran, Anwar Usman: Nepotisme, Omon-Omon, dan Ancaman Estafet Kekuasaan!
Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Ambisi Jokowi untuk melanggengkan kekuasaan melalui putranya, Gibran Rakabuming Raka, begitu transparan.
Fakta ini terlihat sejak proses “pengguguran” syarat usia minimal 40 tahun bagi calon wakil presiden yang direkayasa lewat tangan sang paman, Anwar Usman, kala itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejarah hukum-politik ini makin nyata saat Majelis Kehormatan MK (MKMK) pada 7 November 2023 menyatakan Anwar Usman bersalah melanggar kode etik karena hubungan semenda dengan Gibran.
Ia dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian dari kursi Ketua MK. Putusan ini jelas mengikat, tetapi tak menyentuh substansi: batalnya pencalonan Gibran.
Padahal, seharusnya MKMK secara tegas menyatakan ketidakabsahan keikutsertaan Gibran dalam Pilpres 2024 karena lahir dari praktik nepotisme.
Meski Anwar mencoba melawan lewat PTUN, Mahkamah Agung menolak gugatannya.
Namun, fakta hukum tetap timpang: putusan MKMK tidak memberi kepastian hukum substantif terhadap keterlibatan Gibran. Artinya, praktik nepotisme tetap berjalan mulus.
Dari perspektif hukum pidana, kasus ini jelas memenuhi unsur delik nepotisme sebagaimana diatur dalam UU No. 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari KKN.
Anwar Usman bukan satu-satunya aktor, tetapi juga mereka yang ikut serta (deelneming), termasuk Gibran sendiri sebagai pihak yang diuntungkan dari pelanggaran etik tersebut.
Ironisnya, laporan hukum atas kasus ini justru mandek. TPUA dan KORLABI sudah melaporkan Anwar Usman ke Polda Metro Jaya sejak 2 November 2023.
Namun hampir dua tahun berlalu, kasusnya tak kunjung diproses.
Bandingkan dengan laporan Jokowi terhadap 12 orang terlapor soal dugaan ijazah palsu—baru dilaporkan pada 30 April 2025, tetapi sudah naik ke tahap penyidikan.
Kontradiksi ini memperlihatkan betapa hukum berjalan timpang ketika menyangkut kepentingan politik Jokowi.
Secara kausalitas hukum (Plato, Aristoteles, Immanuel Kant), Gibran patut dikategorikan sebagai pelaku bersama (pleger atau doen pleger) dalam delik nepotisme.
Dan karena delik ini termasuk delik umum, seharusnya aparat penyidik mengembangkan kasusnya tanpa pandang bulu dengan mekanisme due process of law.
Semua fakta ini memperlihatkan benang merah: Gibran memang sengaja dipersiapkan untuk melanjutkan estafet kekuasaan Jokowi menuju Pilpres 2029.
Jokowi sendiri sudah menyiapkan modal politik, menanam kroni di lingkaran kekuasaan, dan menguasai jaringan partai-partai PENGPENG (penguasa dan pengusaha).
Kini, kunci ada di tangan Presiden Prabowo Subianto. Akankah ia berdiam diri, membiarkan panggung politik nasional diarahkan untuk melanggengkan “cita-cita 3 periode” Jokowi melalui Gibran?
Atau justru bertindak, menegakkan konstitusi, dan melindungi bangsa dari estafet kekuasaan yang lahir dari nepotisme?
Prabowo pernah menyebut gagasan tiga periode sebagai “omon-omon”. Jika ia benar murid Jokowi, ia bisa saja mengamini arah politik itu.
Namun jika ia seorang negarawan sejati, maka dialah satu-satunya benteng yang tersisa untuk mencegah bangsa ini jatuh ke dalam jerat oligarki nepotistik.
Karena itu, publik menunggu sikap Presiden. Apakah ia akan membiarkan dirinya hanya menjadi “penyewa sementara” kursi RI-1, atau benar-benar menunaikan mandat luhur konstitusi sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945: melindungi, mensejahterakan, dan mencerdaskan bangsa.
Dan waktu Prabowo tidak banyak. Mr. President, please don’t be late. ***
Artikel Terkait
VIRAL Sri Mulyani Sebut Guru Beban Negara, Kemenkeu Akhirnya Beri Penjelasan!
Soal Guru Beban Negara, Anak Buah Sri Mulyani Sebut itu Hoaks: Hasil DeepFake AI
Mengenal Desa Wae Rebo di NTT, Warganya Berasal dari Keturunan Minangkabau, Ini Sejarahnya
Biadab! KKB Jhon Badii Aniaya 2 Warga Secara Sadis, 1 Orang Tewas Mengenaskan