Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk tidak segera mencopot Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo menuai kritik keras dari kalangan pengamat politik. Salah satu yang paling menyoroti adalah Muslim Arbi, yang menilai langkah tersebut menunjukkan Prabowo masih berada di bawah kendali mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sejak akhir Agustus 2025, berbagai daerah di Indonesia diguncang aksi unjuk rasa besar. Awalnya, demonstrasi berfokus pada isu sosial-ekonomi, namun eskalasi di lapangan membuatnya berkembang menjadi protes terhadap aparat keamanan. Bentrokan pun tak terhindarkan, menyebabkan korban luka, penangkapan massal, bahkan laporan adanya korban jiwa. Tekanan publik agar pemerintah mengambil langkah tegas semakin kuat, salah satunya dengan mendesak pencopotan Kapolri.
Muslim Arbi menilai kegagalan Prabowo mengganti Listyo Sigit tidak bisa dipandang sebagai sekadar persoalan administratif, melainkan keputusan politik penuh makna. Menurutnya, masih bertahannya Listyo Sigit di kursi Kapolri menandakan bahwa bayang-bayang kekuasaan Jokowi tetap kuat memengaruhi arah pemerintahan baru. Ia melihat, keputusan ini lebih mencerminkan kompromi politik dibandingkan respons nyata terhadap tuntutan masyarakat.
Lebih jauh, Muslim Arbi menilai Prabowo sedang melakukan kalkulasi politik jangka pendek: menjaga stabilitas koalisi dan menghindari konflik internal, meski konsekuensinya adalah merosotnya legitimasi di mata rakyat. “Semakin lama Presiden menahan diri untuk tidak melakukan perubahan, semakin kuat kesan bahwa ia tidak benar-benar independen,” ujar Muslim Arbi, Selasa (2/9/2025).
Situasi ini, menurutnya, berbahaya bagi masa depan pemerintahan. Jika tuntutan akuntabilitas diabaikan, rasa percaya publik akan terkikis, membuka ruang bagi gelombang protes yang lebih besar. Muslim Arbi merekomendasikan beberapa langkah penting: mencopot atau merotasi pucuk pimpinan Polri sebagai simbol akuntabilitas, membentuk tim independen untuk menyelidiki dugaan tindakan represif, membuka dialog dengan perwakilan demonstran, serta melakukan reformasi internal di tubuh Polri.
Di sisi lain, institusi kepolisian menyatakan fokus mengejar pelaku kerusuhan dan pihak yang dianggap sebagai dalang maupun penyandang dana aksi. Pernyataan ini justru mempertegas kontras antara desakan masyarakat sipil yang menuntut reformasi struktural dengan respons aparat yang menekankan aspek penegakan hukum semata.
Implikasi politik dari situasi ini cukup serius. Menurut analisa Muslim Arbi, lambatnya langkah Presiden bisa memengaruhi kestabilan koalisi pendukung, memperburuk relasi antara masyarakat dan aparat, serta mengancam stabilitas nasional. Ia menegaskan bahwa momentum ini harus dijawab dengan keputusan berani agar pemerintahan Prabowo tidak kehilangan legitimasi pada usia yang masih sangat muda.
Kesimpulannya, pilihan Prabowo untuk tidak segera mencopot Listyo Sigit menjadi simbol tarik-ulur antara janji perubahan dengan realitas politik yang masih dibayang-bayangi kekuatan lama. Bagi Muslim Arbi, inilah bukti nyata bahwa Prabowo belum sepenuhnya melepaskan diri dari kendali politik Jokowi. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka risiko delegitimasi dan eskalasi ketegangan sosial akan semakin besar.
Sumber: suaranasional
Foto: Muslim Arbi (IST)
Artikel Terkait
Dinilai Lukai Hati Rakyat, PDIP Didesak Segera Copot Deddy Sitorus dari Anggota DPR
BEM Unisba Akui Polisi Serbu Kampus
Nasdem Minta Gaji, Tunjangan, Hingga Fasilitas yang Melekat ke Sahroni dan Nafa Urbach Dicabut
Beredar Surat Imbauan Pam Swakarsa di Seluruh Indonesia, Mabes TNI Buka Suara