Hina Pesantren, Pemuda Aswaja: Seret Trans7 ke Meja Hijau

- Kamis, 16 Oktober 2025 | 17:00 WIB
Hina Pesantren, Pemuda Aswaja: Seret Trans7 ke Meja Hijau


Gelombang kecaman datang dari kalangan santri dan aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU) terhadap stasiun televisi Trans7, setelah sebuah tayangan dinilai menghina pesantren dan tradisi keagamaan yang menjadi ciri khas warga Nahdliyin. Reaksi keras disuarakan oleh Koordinator Pemuda Aswaja, Nur Khalim, yang menegaskan bahwa permintaan maaf pihak Trans7 tidak cukup dan menuntut agar persoalan ini dibawa ke ranah hukum.

“Trans7 harus diseret ke meja hijau. Ini bukan sekadar persoalan salah tayang atau guyonan. Ini penghinaan terhadap pesantren dan tradisi NU yang telah membentuk karakter bangsa,” tegas Nur Khalim dalam keterangan persnya, Selasa (14/10/2025). Ia menilai pimpinan redaksi Trans7 tidak bisa berlindung di balik alasan kelalaian redaksional semata.

Menurut keterangan Pemuda Aswaja, tayangan yang disiarkan Trans7 beberapa waktu lalu menampilkan adegan yang dianggap melecehkan kehidupan santri. Adegan tersebut menggambarkan pesantren dan kiai secara stereotip, seolah tempat pendidikan itu penuh kekolotan dan perilaku konyol. Bagi kalangan pesantren, penggambaran seperti itu bukan sekadar bentuk satire, melainkan serangan terhadap nilai luhur pendidikan Islam tradisional.

Kritik pun bergulir cepat di media sosial. Tagar #BoikotTrans7 sempat menjadi tren di beberapa platform X (Twitter) dan Instagram. Warganet, khususnya dari kalangan Nahdliyin dan santri alumni pondok pesantren, menuntut Trans7 melakukan klarifikasi terbuka dan meminta maaf secara langsung kepada komunitas pesantren di seluruh Indonesia.

Meski Trans7 telah menyampaikan permintaan maaf melalui akun resminya, langkah itu dinilai tidak memadai. Nur Khalim menegaskan, permintaan maaf tidak bisa menghapus dampak sosial dan moral yang telah timbul akibat tayangan tersebut. “Kami menghargai permintaan maaf, tetapi penghinaan ini sudah terlanjur menyebar. Ribuan santri dan alumni pesantren merasa dilecehkan. Harus ada tanggung jawab hukum dan moral dari pihak redaksi,” ujar Nur Khalim.

Pemuda Aswaja menilai bahwa kasus ini bisa dijerat dengan pasal penghinaan terhadap kelompok masyarakat, sebagaimana diatur dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Gerakan Pemuda Aswaja kini tengah mempersiapkan langkah hukum untuk melaporkan pihak Trans7 ke Kepolisian. Mereka juga akan berkoordinasi dengan sejumlah lembaga advokasi santri dan badan hukum NU untuk menyusun gugatan perdata terhadap stasiun televisi tersebut.

Nur Khalim mengatakan, tindakan hukum ini penting sebagai preseden moral agar media tidak seenaknya menginjak martabat lembaga keagamaan.

“Kami tidak anti kritik atau satire. Tapi ada batas antara kritik dan penghinaan. Pesantren adalah lembaga yang melahirkan ulama, kiai, dan tokoh bangsa. Jika pesantren dihina, berarti nilai-nilai bangsa ikut dilecehkan,” tegasnya.

Sejumlah pengasuh pondok pesantren besar di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Banten juga turut menyoroti kasus ini. Kiai Ahmad Syafi’i dari Ponpes Al-Miftah, misalnya, menilai Trans7 telah melanggar etika publik dan moral penyiaran. “Media harus punya tanggung jawab sosial. Jangan sampai untuk mengejar rating, mereka menabrak nilai-nilai agama dan tradisi masyarakat,” katanya.

Di beberapa daerah, para santri juga menggelar aksi tabayyun dan doa bersama, meminta agar masyarakat tetap tenang dan menyerahkan penyelesaian kasus kepada jalur hukum.

Secara hukum, kasus seperti ini bisa ditempuh melalui beberapa jalur.

Pertama, pengaduan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar menilai apakah Trans7 melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Bila terbukti, KPI bisa menjatuhkan sanksi administratif berupa teguran hingga penghentian sementara program.

Kedua, jalur pidana dan perdata. Dalam KUHP, penghinaan terhadap kelompok masyarakat yang memiliki identitas tertentu bisa dijerat pasal 156a, sementara dalam UU ITE, penyebaran konten yang menimbulkan kebencian terhadap kelompok tertentu juga dapat dipidana.

Kasus ini juga berpotensi menurunkan citra dan kepercayaan publik terhadap Trans7. Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap literasi media dan sensitivitas keagamaan, lembaga penyiaran dituntut untuk semakin berhati-hati.

Di satu sisi, para santri dan Pemuda Aswaja menuntut penghormatan terhadap pesantren. Di sisi lain, jurnalis dan aktivis pers berharap agar polemik ini tidak menjadi alasan untuk membatasi kebebasan berekspresi. Namun bagi Nur Khalim, persoalan ini bukan soal membatasi kritik, melainkan mengembalikan tanggung jawab moral media.“Kami tidak ingin menutup ruang kritik. Tapi jangan menjadikan pesantren bahan olok-olok. Media besar seharusnya jadi contoh bagaimana menghormati keberagaman dan nilai-nilai luhur bangsa,” ujarnya menutup.

Kontroversi antara Pemuda Aswaja dan Trans7 membuka ruang refleksi lebih dalam tentang hubungan antara kebebasan media dan penghormatan terhadap tradisi keagamaan. Dalam masyarakat yang plural, sensitivitas terhadap nilai-nilai lokal dan lembaga keagamaan menjadi kunci menjaga harmoni.

Apakah kasus ini akan berlanjut ke pengadilan atau diselesaikan melalui mediasi, publik kini menunggu bagaimana Trans7 membuktikan komitmennya terhadap etika jurnalistik dan tanggung jawab sosial.

Foto: Tayangan Trans7/Net

Komentar