Oleh:Defiyan Cori
CUKUP cepat tanggapan (respons) yang disampaikan oleh pihak China terkait utang KCJB. Kabar itu diperoleh dari Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) yang disampaikan melalui media nasional. Persis, pasca pendapat kami dimuat beberapa media pada waktu yang sama, yaitu 16 Oktober 2025. Materinya, adalah bahwa pihak China dikabarkan telah menyetujui langkah restrukturisasi utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang bernama Whoosh.
Hanya saja, menurut LBP proses restrukturisasi ini masih menunggu pembentukan tim restrukturisasi melalui penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) dari Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto?
Tentu publik kaget, mengapa harus menunggu Keppres jika penyelesaiannya perhitungan bisnis atau business to business (b to b)? Agak aneh pernyataan LBP menimpakan urusan bisnis ke bisnis kepada beban dan tanggung jawab Presiden RI Prabowo Subianto melalui alas hukum Keppres.
Bukankah sebagai orang yang turun tangan langsung dan sebagai prajurit ksatria harus bertanggung jawab penuh atas resiko bisnis dalam realisasi awal proyek KCJB Whoosh di masa pemerintahan Presiden RI ke-7 Joko Widodo tersebut? Tidak cukupkah pernyataan Menkeu RI Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak penggunaan APBN untuk penyelesaian utang KCJB?
Jika Presiden menerbitkan Keppres dalam situasi yang nihil kemendesakan (urgency), maka akan menjadi preseden buruk bagi investasi yang awalnya didasarkan pada kerjasama b to b. Yang dibutuhkan dalam penyelesaian bisnis ke bisnis utang KCJB ini adalah renegosiasi dan restrukturisasi secara aksi korporasi.
Sebab, pihak China juga terlibat dalam peralihan komitmen yang awalnya tanpa dukungan APBN dan jaminan pemerintah. Selayaknya tim renegosiasi dan restrukturisasi utang KCJB ini berasal dari para pihak yang bekerjasama bisnis. Dalam perspektif perhitungan bisnis inilah penyelesaian diarahkan secara menang-menang (win-win solution) terkait resiko kerugian yang diderita PT. KAI dan PT. KCIC.
Pembentukan tim renegosisasi dan restrukturisasi melalui Keppres itu sama saja melibatkan pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto dan APBN atau uang rakyat. Begitu juga halnya dengan melibatkan BPI Danantara sama saja dengan mengambil laba/dividen BUMN yang dulu dikenal dengan istilah Penyertaan Modal Negara (PMN).
Yang harus mempertanggunjawabkan bisnis intinya adalah pihak yang sedari awal merancangnya dan tidak bisa resiko korporasi dipindahtangankan begitu saja. Kalau pemerintah dan APBN selalu turun tangan atas segala resiko bisnis seharusnya pelaku UMKM juga beroleh haknya. Tidak hanya menggunakan kewenangan jabatan sebagaimana yang dilakukan oleh Luhut Binsar Panjaitan! Kok enak sekali!? rmol.id
(Ekonom Konstitusi)
Artikel Terkait
Kronologi Penggerebekan Pesta Gay di Surabaya, Berawal dari Laporan Aktivitas Mencurigakan
4 Kesamaan Perceraian Andre Taulany dan Baim Wong, Dokumen Bocor hingga Pengacara yang Dampingi
Serangan Baru Israel ke Gaza Tewaskan 45 Orang
Sengkarut Utang Whoosh, Jokowi Sempat Sebut Proyek KCJB Bukan untuk Cari Untung