Whoosh Bikin Negara Tekor, DPR Singgung Jebakan ‘Sunk Cost Fallacy’: Sejak Awal Proyek Ini Tak Layak

- Minggu, 02 November 2025 | 14:50 WIB
Whoosh Bikin Negara Tekor, DPR Singgung Jebakan ‘Sunk Cost Fallacy’: Sejak Awal Proyek Ini Tak Layak


NARASIBARU.COM
- Pemerintah RI diminta segera percepat restrukturisasi utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) Whoosh. Langkah ini penting untuk mengakhiri jebakan ‘sunk cost fallacy’.

Anggota Komisi XI DPR RI, Amin Ak, menjelaskan ‘Sunk cost fallacy’ sebagai kebijakan yang terus dipertahankan hanya karena sudah terlanjur menelan biaya besar. Meski kebijakan itu terbukti tidak efisien dan membebani rakyat.

“Sejak awal proyek ini tidak layak secara ekonomi maupun sosial, tetapi terus dijalankan karena sudah terlanjur berbiaya besar. Ini contoh klasik sunk cost fallacy dalam kebijakan publik,” kata Amin dalam keterangannya di Jakarta dikutip pada Minggu, (2/11/2025).

Baca juga: Bukan dari Pegunungan? DPR Desak BPKN Usut Dugaan Sumber Air Aqua dari Sumur Bor
Amin menuturkan dalam teori ekonomi, sunk cost adalah biaya yang sudah dikeluarkan dan tak bisa dikembalikan. Kata dia, kesalahan terjadi saat pemerintah tetap melanjutkan proyek yang merugi hanya karena alasan ‘sayang‘ sudah keluar uang.

Padahal, menurut dia, keputusan masa depan mestinya didasarkan pada prospek manfaat, bukan pada biaya masa lalu.

Dia bilang, proyek yang awalnya dijanjikan sebagai simbol kemajuan teknologi ini kini malah membebani keuangan negara.

Amin menyinggung total biaya proyek membengkak hingga USD 7,9 miliar, dengan utang ke China Development Bank (CDB) mencapai USD 5,5 miliar atau sekitar Rp90 triliun. Laporan keuangan 2024 mencatat kerugian hingga Rp2,6 triliun.

Lebih lanjut, dia menyinggung kembali alasan Fraksi PKS di DPR sejak awal menolak proyek KCJB dengan tiga alasan utama.

Pertama, prioritas APBN saat itu adalah untuk penanganan Covid-19 dan dampaknya terutama bagi rakyat kecil. Dia menjelaskan beban itu sudah sangat menekan APBN. Dengan proyek infrastruktur besar berisiko tinggi bukan merupakan prioritas utama ditengah kondisi ekonomi dan sosial yang berat.

Lalu, kedua, ia memyinggung inkonsistensi kebijakan. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo bilang proyek KCJB adalah investasi dari China dan tidak akan didanai APBN, bahkan tanpa jaminan.

Kemudian, alasan ketiga yaitu kalkulasi investasi yang akhirnya membebani APBN. Menurut dia, proyek ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Sebab, memperburuk kondisi fiskal di tengah naiknya utang negara.

Menurut Amin, pemerintahan sebelumnya seperti terjebak dalam ego politik pembangunan. Mengejar proyek megah tanpa memperhitungkan manfaat nyata.

Dia mengkritisi jarak Jakarta–Bandung yang hanya 142 kilometer membuat dampak ekonominya tak sepadan dengan biaya besar yang dikeluarkan.

“Seharusnya yang jadi prioritas adalah transportasi massal inklusif seperti commuter line atau kereta antar kota yang dirasakan langsung rakyat menengah ke bawah,” tutur Amin.

Maka itu, ia mengusulkan agar KCJB tidak menjadi beban jangka panjang, sebaiknya pemerintah restrukturisasi utang, monetisasi aset, dan efisiensi operasional. Dia bilang Pemerintah perlu mengoptimalkan pendapatan non-tiket melalui skema rail property seperti di Hong Kong.

Kemudian, mengintegrasikan layanan transportasi, serta membuka peluang bagi investor strategis dengan tata kelola transparan.

Selain itu, Amin juga menyarankan dua opsi tambahan. Pertama, skema Joint Operation (JO) antara PT KAI/KCIC dan operator China, dengan pembagian pendapatan proporsional dan transfer teknologi wajib.

Kedua, skema Build-Operate-Transfer (BOT) selama 50 tahun, namun berbentuk ground lease, bukan jual aset. Ia menuturkan evaluasi dilakukan setiap 10 tahun dan negara memiliki hak buy-back untuk memastikan kedaulatan aset tetap di tangan Indonesia.

Dia menuturkan bahwa pengelolaan kawasan Transit Oriented Development (TOD) di sekitar stasiun harus transparan melalui badan bersama dengan alokasi 20% area untuk publik dan perumahan terjangkau. Menurut Amin, skema itu dinilainya bisa menjaga keseimbangan antara kedaulatan nasional, efisiensi ekonomi, dan keberlanjutan investasi.

Namun, Amin mengingatkan agar skema BOT tak menjebak negara pada ketergantungan baru. Ia menyebut konsesi jika diberikan, sebaiknya dibatasi pada 25–30 tahun dengan klausul buy-back dan porsi pendapatan minimal 40% untuk negara.

Pun, untuk pengelolaan Transit Oriented Development (TOD), sebaiknya pakai mekanisme revenue sharing, audit independen, dan transparansi kontrak. Harapannya agar nilai kenaikan lahan (value capture) bisa kembali ke publik. Begitu juga tansfer teknologi dan keterlibatan SDM lokal juga wajib diperkuat.

“TOD harus inklusif, bukan semata komersial. Harus ada pengawasan agar proyek ini tetap berdaulat, efisien, dan memberi manfaat ekonomi luas bagi rakyat,” tutur politikus PKS itu.

Sumber: holopis

Komentar