Purbaya Target Redenominasi Rupiah Rp 1.000 Jadi Rp 1 Rampung 2027, Apa Untungnya?

- Minggu, 09 November 2025 | 12:50 WIB
Purbaya Target Redenominasi Rupiah Rp 1.000 Jadi Rp 1 Rampung 2027, Apa Untungnya?


NARASIBARU.COM -
Wacana redenominasi rupiah kembali mengemuka.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menetapkan Rencana redenominasi atau penyederhanaan mata uang rupiah masuk Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029

Setelah lama tertahan dan sempat ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintah kini menempatkan perubahan nilai nominal rupiah misalnya dari Rp 1.000 menjadi Rp 1, ke dalam agenda strategis yang ditargetkan tuntas pada 2027. 

Rencana ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kemenkeu 2025–2029 yang ditetapkan pada 10 Oktober 2025.

Dalam beleid tersebut, penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi) menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan.

“RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada tahun 2027,” tertulis dalam PMK 70/2025.

Redenominasi sendiri merupakan penyederhanaan nilai rupiah dengan menghapus beberapa angka nol tanpa mengubah daya beli masyarakat.

Contohnya, uang Rp 1.000 akan menjadi Rp 1, tetapi harga riil barang tidak berubah. 

Baca juga: Belajar dari Asing, Redenominasi Tak Selalu Manis, Turki Sukses, Zimbabwe Justru Berujung Kegagalan

Pernah Ditolak MK 


Upaya serupa pernah diuji di Mahkamah Konstitusi.

Pada 17 Juli 2025, MK menolak permohonan dalam perkara Nomor 94/PUU-XXIII/2025 yang meminta agar konversi nilai nominal dapat dilakukan melalui penafsiran atas UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Hakim menegaskan, redenominasi merupakan kebijakan makro yang hanya bisa dilakukan lewat pembentukan undang-undang baru.

“Redenominasi merupakan penyederhanaan nominal mata uang tanpa mengubah daya beli. Itu ranah pembentuk undang-undang, tidak bisa hanya dengan memaknai ulang pasal,” ucap Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam sidang putusan, dikutip 17 Juli 2025.

MK juga mengingatkan bahwa kebijakan ini menyangkut banyak aspek, mulai dari stabilitas makroekonomi, kesiapan sistem pembayaran, hingga literasi masyarakat.

Alasan Pemerintah Menghidupkan Lagi RUU Redenominasi Rupiah 

Dalam PMK 70/2025, pemerintah menilai penyusunan RUU Redenominasi penting untuk meningkatkan efisiensi perekonomian, menjaga stabilitas nilai rupiah, serta memperkuat kredibilitas mata uang nasional.

Penyederhanaan nominal juga disebut dapat menyesuaikan sistem pembayaran dan pembukuan agar lebih efisien.

Meski sinyal redenominasi pernah muncul sejak era Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution pada 2010, kebijakan tersebut tidak pernah masuk prioritas legislasi.

Kini, pemerintah kembali mendorongnya melalui jalur legislasi resmi.

Kemenkeu Masukkan Redenominasi Rupiah ke Rencana Strategis 5 Tahun


-Kementerian Keuangan memasukkan rencana redenominasi rupiah ke dalam Rencana Strategis (Renstra) 2025–2029.

Langkah ini menandai kembalinya wacana pemangkasan angka nol pada mata uang nasional setelah lebih dari satu dekade mengendap.

Rencana tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Renstra Kementerian Keuangan 2025–2029.

Regulasi ini diterbitkan pada 10 Oktober 2025 dan mulai berlaku sejak diundangkan.

Dalam beleid itu disebutkan, redenominasi dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi perekonomian dan memperkuat daya saing nasional.

“Urgensi pembentukan, efisiensi perekonomian dapat dicapai melalui peningkatan daya saing nasional,” tertulis dalam dokumen tersebut.

Kementerian Keuangan menilai kebijakan redenominasi penting untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi, menstabilkan nilai rupiah, dan melindungi daya beli masyarakat.

Rencana ini juga diharapkan memperkuat kredibilitas rupiah di mata pelaku ekonomi.

RUU tentang Perubahan Harga Rupiah akan disusun di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) dan ditargetkan selesai pada 2027.

Meski belum ada rincian lebih lanjut, pemerintah memperkirakan tahapan persiapan dan konsultasi akan berlangsung bertahap. Gagasan redenominasi sejatinya bukan hal baru.

Pemerintah pernah mengajukan RUU serupa ke DPR pada 2013, dengan usulan pemangkasan tiga angka nol dari uang kertas rupiah.

 Rancangan tersebut tertunda karena pertimbangan situasi ekonomi saat itu.

 Pemerintah belum menyebut berapa angka nol yang akan dihapus dalam rencana terbaru ini.

Namun, dengan masuknya ke Renstra 2025–2029, wacana redenominasi rupiah kini resmi kembali menjadi agenda ekonomi nasional.

Pandangan Ekonom: Implementasi Tidak Bisa Tergesa 


Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai langkah redenominasi tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.

Menurut dia, banyak negara gagal menerapkan kebijakan serupa karena memicu inflasi dan penyesuaian harga yang tidak terkendali.

 “Persiapan tidak bisa 2–3 tahun tapi 8–10 tahun yang berarti 2035 adalah waktu minimum implementasi redenominasi,” kata Bhima ketika dihubungi Kompas.com pada Sabtu (8/11/2025).

Bhima menjelaskan, salah satu risiko utama adalah pembulatan harga barang ke nominal lebih tinggi.

Sebagai contoh, harga Rp 9.000 tidak otomatis berubah menjadi Rp 9 setelah redenominasi, melainkan berpotensi dibulatkan menjadi Rp 10 oleh pelaku usaha.

Ia juga menekankan pentingnya literasi dan penyesuaian administrasi di sektor ritel.

“Gap sosialisasi bisa menyebabkan kebingungan administrasi terutama di pelaku usaha ritel karena ribuan jenis barang perlu disesuaikan pembukuannya,” ujarnya.

Dengan mayoritas transaksi masih dilakukan secara tunai, Bhima menilai kesiapan masyarakat menjadi faktor penentu keberhasilan redenominasi.

Manfaat Redenominasi Rupiah


Manfaat redenominasi rupiah sebenarnya serupa dengan dampak positif yang dihasilkan apabila kebijakan ini benar-benar diterapkan.

Seperti diungkap dalam publikasi 'Rencana Redenominasi Rupiah' oleh Achmad Sani Alhusain, bahwa salah satu manfaat terbesar redenominasi rupiah adalah sebagai upaya untuk memperkuat kurs rupiah terhadap mata uang asing.

Tidak hanya itu saja, redenominasi juga diperlukan oleh negara yang berada dalam proses menuju level negara maju.

Terlebih lagi apabila kebijakan tersebut dilakukan saat kondisi makro ekonomi cenderung stabil, tumbuh, dan inflasi dapat dikendalikan dengan baik.

Manfaat redenominasi juga akan terasa pada perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Dikatakan bahwa dengan adanya redenominasi, proses settlement perdagangan saham di BEI akan berlangsung lebih cepat.

Ini dikarenakan kebijakan tersebut memperkecil angka dari setiap transaksi yang telah dilakukan oleh para investor. Tidak hanya investor domestik saja, tetapi juga asing.

Dampak Redenominasi Rupiah


Terdapat dampak positif dan negatif yang menyertai kebijakan redenominasi rupiah. 

Seperti diungkap dalam buku 'Bonus Demografi sebagai Peluang Indonesia dalam Percepatan Pembangunan Ekonomi' karya Agus Yulistiyono, dkk., bahwa dampak positif redenominasi rupiah yaitu adanya efisiensi dalam perekonomian dan kaitannya dengan kegiatan usaha.

Kemudian dampak redenominasi rupiah lainnya juga dapat mengatasi kendala teknis dalam operasional bisnis.

 Bahkan kebijakan ini juga dapat memberikan dampak terkait meningkatkan derajat rupiah dan juga Indonesia di mata internasional, terutama berkaitan dengan kerja sama ekonomi internasional.

Namun, di sisi lain terdapat dampak negatif redenominasi rupiah yang bisa terjadi. Misalnya saja terjadinya kepanikan di kalangan masyarakat kecil.

Terlebih lagi saat mereka belum memahami terkait redenominasi apabila benar-benar diterapkan oleh BI.

Dampak negatif redenominasi rupiah lainnya yang bisa muncul adalah peluang kenaikan harga yang berasal dari pembulatan nilai suatu barang. Misalnya saja sebuah barang seharga Rp 5.800 setelah mengalami redenominasi, maka akan menjadi Rp 5,8.

Dikhawatirkan dengan adanya redenominasi, harga barang tersebut justru dibulatkan menjadi Rp 6 agar lebih mudah.

Biaya penerapan kebijakan redenominasi yang tidak sedikit juga termasuk dalam dampak negatif.

Hal ini berkaitan dengan biaya sosialisasi kebijakan, biaya pencetakan uang baru, hingga biaya-biaya lainnya yang kemungkinan tidak sedikit.

Komentar