Bahkan, dengan melakukan hilirisasi industri diyakini akan menjadi lompatan besar peradaban negara.
Sebagai catatan, hilirisasi ini telah dimulai sejak tiga tahun lalu. Saat itu, Jokowi sudah melarang ekspor bijih nikel ke luar negeri yang dibarengi dengan pengembangan hilirisasi nikel di dalam negeri.
Aksi Jokowi ini menuai kontroversi di kancah global. Bahkan, Indonesia pun harus diseret ke meja WTO akibat kebijakan ini.
"Kita harus berani seperti itu. Kita tidak boleh mundur, kita tidak boleh takut, karena kekayaan alam itu ada di Indonesia. Ini kedaulatan kita dan kita ingin dinikmati oleh rakyat kita, dinikmati oleh masyarakat kita," ujar Presiden saat memberikan sambutan pada Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-50 PDI Perjuangan, dikutip (12/5/2023), di JIExpo Kemayoran, Jakarta.
Namun, pada 2022 lalu, pemerintah mengklaim hilirisasi nikel telah mencetak nilai tambah sebesar US$ 33 miliar atau Rp514,3 triliun (kurs Rp15.585 per US$).
Realisasi itu naik signifikan dari yang tahun 2021 mencapai US$ 20,9 miliar, bahkan dari tahun 2018-2019 yang hanya US$ 3,3 miliar.
Jokowi mengungkapkan hal ini merupakan lompatan nilai tambah yang signifikan. Dari yang sebelumnya hanya berkisar Rp17 triliun menjadi Rp360-an triliun pada 2021 dan mencapai Rp 512 triliun pada 2022.
"Ini baru nikel, bauksit kemarin kita umumkan di Desember setop juga mulai Juni 2023 dan akan kita industrialisasikan di dalam negeri saya gak tahu lompatannya tapi kurang lebih Rp20 menjadi Rp60 - Rp70 triliun," ujar Jokowi.
Jokowi menegaskan bahwa pihaknya akan melanjutkan pelarangan ekspor mineral mentah (raw material) ke luar negeri.
Bijih bauksit akan dilarang pada Juni 2023 dan selanjutnya, Jokowi akan melarang ekspor tembaga.
"Kalah di WTO (soal nikel) kita tambah lagi stop ekspor bauksit. Nanti pertengahan tahun kita akan tambah lagi stop ekspor tembaga. Kita harus berani seperti itu," terang Presiden Jokowi dalam kesempatan berbeda.
Sayangnya, kebijakan hilirisasi yang disampaikan Jokowi dan jajarannya dinilai salah kaprah. Hal ini diungkapkan oleh Ekonom Senior Faisal Basri.
Menurutnya, industri adalah penopang perekonomian nasional. Sejarah Indonesia dan negara maju di dunia sudah membuktikannya.
"Hampir tidak ada negara yang sebesar Indonesia bisa digdaya jadi negara maju tanpa industri jadi ibaratnya industri tulang punggung, kalau tulang punggung bongkok jalan lambat," jelasnya.
Dia berargumen industri akan menjadi optimal mendorong perekonomian berkelanjutan ketika diiringi peningkatan teknologi.
                        
                                
                                            
                                            
                                            
                                                
                                                
                                                
                                                
                                                
                                                
Artikel Terkait
Ahmad Sahroni Cerita Jatuh dari Plafon Saat Rumahnya Dijarah
Media Israel: Netanyahu Lakukan Ritual Penyembelihan Sapi Merah Suci
Andre Taulany dan Natasha Rizky Terlalu Akrab, Desta Cemburu?
3 Tahun Nganggur, Sule Sentil Sosok Artis yang Jadi Biang Kerok, Kini Andalkan Penghasilan di TikTok