Sejumlah lembaga survei gagal memprediksi hasil Pilpres Turki. Recep Tayyip Erdogan yang 'diramal' kalah dalam sekali putaran malah unggul dibandingkan pesaingnya, Kemal Kilicdaroglu.
Dalam survei yang dilakukan Alf Research pada 6-7 Maret 2023, misalnya, Erdogan diprediksi hanya mendapat 44,9 persen suara. Sementara Kilicdaroglu mengantongi 55,1 persen suara. Temuan dari sejumlah lembaga survei lain pun senada. Erdogan disebut kalah telak dan Turki akan punya pemimpun baru.
Persoalannya, berdasarkan hasil penghitungan suara, Minggu (15/5), sang petahana justru mendapat sekitar 49,5 persen suara hampir menyentuh ambang batas untuk menang satu putaran. Sementara Kilicdaroglu mendapat 45 persen suara dan calon lainnya, Sinan Ogan, hanya memperoleh 5,5 persen suara. Praktis, pemilu akan dilaksanakan dalam dua putaran pada 28 Mei mendatang antara Erdogan dan Kilicdaroglu.
Kini pertanyannya adalah: Mengapa survei-survei bisa keliru dalam memprediksi kekalahan Erdogan?
Pengamat politik Timur Tengah Universitas Indonesia, Yon Machmudi, curiga bahwa ada banyak pendukung Erdogan yang tak ter-cover dalam survei. Terlebih, kata dia, Erdogan punya basis pendukung yang loyal selama dirinya dua dekade berkuasa.
“Saya kira ada faktor juga terkait pendukung loyal dari Erdogan yang memang berada pada basis-basis tertentu, ya, di wilayah-wilayah pedalaman yang mungkin tidak tercover oleh survei dan cenderung tidak muncul,” jelas Yon kepada kumparan, Selasa (16/5).
Sejauh ini, menurutnya, masyarakat Turki dihadapi dua pilihan. Tetap mempertahankan Erdogan yang konservatif atau kembali pada rezim terdahulu yang cenderung sekuler seperti yang bakal dibawa Kilicdaroglu. Persoalannya, kata dia, kelompok oposisi sulit untuk meyakinkan masyarakat pedesaan yang notabene jadi basis Erdogan yang religius.
“Tentu pendukung Kemal Kilicdaroglu cukup banyak. Tapi ya bagaimana upaya Erdogan yang selama 20 tahun berkuasa itu kemudian menjadi kekuatan tersendiri. Karena bagaimana pun, dia (Erdogan) menguasai birokrasi dan juga dasar negara,” kata Yon.
Survei sendiri pada dasarnya merupakan instrumen membaca perilaku pemilih saat kuisioner disebar. Sebuah survei akan sangat tergantung pada waktu, lokasi, serta kejujuran responden. Paling tidak ada 5 hal yang menyebabkan hasil survei tidak akurat.
Metode sampling: Jika sampel yang diambil tidak mewakili populasi dengan baik, maka hasil survei dapat menjadi tidak akurat.
Bias responden: Hasil survei dapat dipengaruhi oleh bias responden, yaitu sikap atau pendapat tertentu dari orang-orang yang setuju untuk diwawancarai. Mungkin ada kelompok tertentu yang lebih cenderung untuk berpartisipasi dalam survei, sementara kelompok lain tidak. Hal ini dapat mengakibatkan hasil survei tidak mewakili preferensi seluruh populasi.
Perubahan opini: Selama periode antara survei dan pemilu, pendapat dan preferensi pemilih dapat berubah. Faktor-faktor baru seperti peristiwa politik, kampanye, atau informasi tambahan dapat mempengaruhi keputusan pemilih.
Partisipasi pemilih: Tidak semua responden dalam survei akan benar-benar memberikan suara dalam pemilu. Beberapa responden mungkin tidak memenuhi syarat atau memutuskan untuk tidak memilih pada hari pemungutan suara. Partisipasi pemilih yang rendah atau perbedaan dalam komposisi pemilih yang memilih dapat menyebabkan perbedaan antara hasil survei dan hasil pemilu.
Margin of error: Setiap survei memiliki margin of error yang mengindikasikan sejauh mana hasil survei dapat berbeda dengan hasil sebenarnya dalam populasi
Dalam wawancaranya kepada kumparan pada 2018 lalu, Sekjen Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Yunarto Wijaya, menegaskan survei bukanlah alat memprediksi hasil pemilu. Menurutnya, data yang diperoleh pun merupakan data saat survei yang harinya bisa jadi masih sangat jauh dari hari pemungutan suara.
"Makanya pertanyaannya 'jika pemilu dilakukan hari ini, bukan siapa yang akan Bapak pilih'," kata Yunarto.
Setiap lembaga survei punya metode yang berbeda dalam menentukan sample, jumlah responden, teknik pengolahan data, termasuk penyajiannya. Hasil survei tidak bisa dibandingkan antara satu lembaga survei dengan yang lain, karena waktu pengumpulan data pun berbeda.
"Survei kebutuhannya untuk kandidaat dan timses, bukan untuk masyarakat," ucap Direktur Eksekutif Charta Politika itu.
Salah satu lembaga survei yang terlibat pada Pemilu Turki adalah MAK. Mereka pun telah buka suara soal alasan hasil survei bisa berbeda dengan kenyataan. Menurut pejabat MAK, Mehmet Ali Kulat, gempa besar Turki dan bulan Ramadhan menyebabkan pihaknya kesulitan dalam menggelar jajak pendapat.
Artikel Terkait
Begini Tanggapan Ignasius Jonan Soal Utang Whoosh usai Temui Prabowo
Budi Arie Bantah Projo Singkatan Pro Jokowi, Jejak Digital 2018 Justru Dia Jelas-jelas Ngomong Gitu
Presiden Prabowo Panggil Eks Menhub Ignasius Jonan ke Istana, Bahas Polemik Whoosh?
KPK OTT Gubernur Riau Abdul Wahid