"Ada periode 20 hari setelah Ramadan dan secara legal, kami tak boleh menggelar jajak pendapat di 10 hari terakhir. Ini menyulitkan kami. Namun, sebagai perusahaan riset, kami tak boleh mencari-cari alasan," ujar Kulat kepada Reuters.
Sementara itu, ahli strategi perkembangan pasar SEB, Erik Meyerson, menyebut survei di Turki bisa saja salah jika warga tak jujur dalam mengisi survei. Hal itu pun menurutnya bisa terjadi di negara-negara lain.
"Pemilih mungkin memberikan sinyal soal ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan pemerintah dengan memilih oposisi di survei, tapi pada kenyatannya mereka akan tetap memilih petahana saat pemilu," ujar Erik.
Sebelum pemilu putaran pertama berlangsung, Presiden Erdogan sempat murka terhadap Barat. Pemimpin berusia 69 tahun itu melontarkan kritik tajam usai majalah The Economist pada edisi Mei menyasar dirinya dengan sampul bertuliskan ‘Erdogan harus pergi’, ‘Selamatkan demokrasi’, dan ‘Gunakan hak pilih’.
Selain The Economist, media asal Perancis Prancis Le Point dan L’Express turut membahas soal anti-Erdogan. Publikasi serupa juga terbit di majalah berita besar di Jerman, Spiegel, yang menuliskan soal ‘takhta’ Erdogan ‘sedang terguncang’.
Terkait publikasi-publikasi ini, Erdogan dalam sebuah acara kampanye pada Jumat (12/5) mengecam Barat dan menilai itu sebagai upaya eksternal untuk mempengaruhi opini masyarakat Turki.
“Bagaimana Anda menaruh kata-kata ini di sampul majalah-majalah tersebut? Ini bukan urusan Anda, Barat! Ini urusan bangsa saya untuk memutuskannya,” kecamnya.
Apa yang terjadi di Turki lalu membuat orang bertanya: Apakah hasil survei di sana juga merupakan bagian dari penggiringan opini itu? Sulit untuk memastikannya. Namun yang jelas, hubungan survei dengan kecenderungan memilih itu memang ada.
Dalam jurnal 'Bunga Rampai Tata Keola Pemilu Indonesia' (2020) yang diterbitkan KPU RI, survei bisa mempengaruhi pemilih pemula. Studi kasusnya adalah saat Pilkada Jakarta 2017 lalu.
Melalui analisis korelasi pearson, disebutkan bahwa hasil polling berpengaruh terhadap pembentukan opini pemilih pemula sebesar 30,5 persen. Pemilih pemula biasanya baru menginjak usia 17 tahun.
Terlapas dari hasil pemilu, publik Turki sendiri memang tenah berjuang dari krisis. Sejak akhir pemilu 2018, inflasi Turki konsisten berada di angka dua digit. Inflasi dimulai setelah krisis mata uang pada akhir 2021. Itu disebabkan oleh pemotongan suku bunga dan kebijakan ekonomi gaya non-ortodoks yang dilakukan Erdogan.
Mata uang Turki, Lira, pada 2021 kehilangan nilai sebesar 44 persen. Pada 2022 sebanyak 30 persen. Total sejak periode kedua Erdogan menjabat nilai Lira hilang sebanyak 76 persen. Publik pun mengeluh lantaran harga bahan-bahan pokok terus membengkak.
Tak hanya soal inflasi, turunnya dukungan terhadap Erdogan juga disebabkan oleh lambannya penanganan pemerintah saat gempa dahsyat melanda Turki pada Februari 2023 lalu.
Gempa berkekuatan 7,8 magnitudo itu menyebabkan 50 ribu lebih warga Turki kehilangan tempat tinggal. Mayoritas warga menilai pemerintah seharusnya bisa mencegah kerusakan masif.
Di tengah krisis itulah Kilicdaroglu datang. Ia merupakan pemimpin partai oposisi sekuler utama di Turki Partai Rakyat Republik (Cumhuriyet Halk Partisi/CHP). Dia adalah satu-satunya kandidat yang diusung oleh koalisi enam partai oposisi. Koalisi besar yang terdiri atas partai sayap kanan, kiri, dan tengah ini disebut juga dengan Table of Six atau Aliansi Bangsa.
Mereka memegang mimpi mengembalikan sistem pemerintahan Turki kembali ke parlementer, setelah sempat diubah menjadi eksekutif-presidensial oleh Erdogan pada 2016 ketika kudeta terhadap pemerintahannya saat itu gagal.
Pemilu Turki 2023 ini turut bakal menentukan ke arah mana Turki sebagai sekutu NATO di tahun-tahun mendatang. Sebab, Kilicdaroglu punya keinginan agar Turki kembali ke pro-Barat dan lebih demokratis.
Sumber: kumparan.com
                        
                                
                                            
                                            
                                            
                                                
                                                
                                                
                                                
                                                
                                                
Artikel Terkait
Jokowi dan Budi Arie, Dua Orang Paling Ruwet
Begini Tanggapan Ignasius Jonan Soal Utang Whoosh usai Temui Prabowo
Budi Arie Bantah Projo Singkatan Pro Jokowi, Jejak Digital 2018 Justru Dia Jelas-jelas Ngomong Gitu
Presiden Prabowo Panggil Eks Menhub Ignasius Jonan ke Istana, Bahas Polemik Whoosh?