Tak disangka, undangan tersebut ternyata jebakan kolonial guna meringkus Pangeran Diponegoro. De Kock menahan serta meminta sosok pemberani nan tangguh itu untuk menyudahi Perang Jawa (1825-1830). Status sebagai tahanan negara (staatsgevangene) ditetapkan untuk pemimpin Perang Sabil itu.
Menurut sejarawan berdarah Inggris, Peter Carey, sebelum pertemuan di wisma Residen Kedu, Pangeran Diponegoro memang berkeinginan kuat untuk menjadi Pemimpin Suci Perang Jawa.
Sang Pangeran bahkan pada sebuah surat beraksara pegon tertanggal 14 Februari 1830, tertuju Kolonel Jan Baptist Cleerens dan Mayor HF Buschkens menabalkan cap di tengah surat memuat gelar diri sebagai "Ingkang Jumeneng Kangjeng Sultan Ngabdul Chamid Herucakra Kabirul Mu'min Sayidin Pranatagama".
Sang pangeran memang berhasrat menjadi 'raja pemelihara dan penata agama di seluruh tanah Jawa'.
"Dengan gelar tersebut, Diponegoro menolak anggapan bahwa dirinya seorang pangeran haus kekuasaan. Namun, ingin menunjukkan diri sebagai pemimpin Perang Sabil. Tidak heran bila Diponegoro ingin pergi ibadah Haji dan dimakamkan di Haramain," kata Peter Carey seperti dikutip.
Adapun keinginan Pangeran Diponegoro untuk menunaikan ibadah haji, tercatat dalam Babad Dipanegara: An account of the outbreak of the Java War (1825-1830): The Surakarta court version of the Babad Dipanegara with translation into English and Indonesia Malay, dikarenakan malu dan hendak berserah diri berharap pengampunan Allah SWT.
Hal tersebut terlontar saat Diponegoro menaiki kereta kuda dengan pengawalan Kapten Roeps dan Mayor de Stuers menuju Semarang.
Dari Semarang, Diponegoro melanjutkan perjalanan dengan menumpangi kapal uap SS Van der Capellen menuju Batavia pada 5 April 1830.
Ia berharap agar pemerintah Belanda memberikan hak-hak legal kepadanya, apakah akan dikirim ke Mekkah atau ke tempat lain.
"Pangeran juga meminum sebotol air zamzam pemberian seorang haji baru kembali dari tanah suci ketika berada di Magelang agar siap menghadapi segala godaan," kata Peter Carey.
Informasi awal mengenai haji, menurut Peter Carey, hampir pasti didapat Diponegoro paling tidak dari seorang panglima pasukan Suronatan, Haji Badarudin ketika masih sama-sama berada di Tegalrejo.
Haji Badarudin telah dua kali naik haji atas tanggungan Keraton Yogyakarta dan dianggap ahli mengenai tata cara pemerintahan Utsmani di kota-kota suci.
Setelah ditahan selama tiga pekan di Staadhuis atau Balai Kota (Museum Sejarah Jakarta, kini), Batavia, sang pangeran telah siap melakukan perjalanan menuju Manado.
                        
                                
                                            
                                            
                                            
                                                
                                                
                                                
                                                
                                                
                                                
Artikel Terkait
Ahmad Sahroni Cerita Jatuh dari Plafon Saat Rumahnya Dijarah
Media Israel: Netanyahu Lakukan Ritual Penyembelihan Sapi Merah Suci
Andre Taulany dan Natasha Rizky Terlalu Akrab, Desta Cemburu?
3 Tahun Nganggur, Sule Sentil Sosok Artis yang Jadi Biang Kerok, Kini Andalkan Penghasilan di TikTok