Di grup lain, Sudan mengalahkan Suriah, dan Mesir menang WO setelah Cyprus mengundurkan diri.
Sementara timnas Israel kala itu harus berhadapan dengan Turki pada babak prakualifikasi. Mengingat kondisi penjajahan Zionis Israel di Palestina, Turki menolak bertanding melawan Israel sebagai bentuk solidaritas dengan warga Palestina.
Akhirnya, Indonesia dikelompokkan dalam satu grup kualifikasi dengan Mesir, Sudan, dan Israel. Persoalan kemudian jadi pelik. Harus diingat, kala itu semangat antikolonialisme dan antiimperialisme sedang tinggi-tingginya. Masih ada sejumlah wilayah dikuasai kolonial Eropa.
Israel, oleh negara-negara bekas jajahan dilihat sebagai proyek kolonialis Inggris di Palestina yang sebenarnya sudah dijanjikan menjadi negara merdeka. Negara-negara Arab seluruhnya mencurahkan perhatian pada isu ini. Terkait dalih upaya melawan kolonialisme itu, Presiden Sukarno sedang dalam kampanye merebut Papua melalui Majelis Umum PBB yang bakal digelar pada 1957 itu juga.
Surat kabar warisan kolonial Belanda De Preangerbode menilai inilah faktor utama Indonesia pusing kepala saat harus menghadapi Israel. Indonesia takut kehilangan dukungan negara-negara Arab di PBB dalam upaya merebut Papua.
Tak seperti negara-negara Arab, PSSI sedianya bukan tak bersedia melawan Israel. Mereka hanya meminta pertandingan dua leg itu digelar di wilayah netral, bukan di Tel Aviv maupun Jakarta. FIFA sebenarnya tak keberatan dengan syarat tersebut. Meski begitu, namanya Zionis, Israel tetap keras kepala dengan memaksa bahwa salah satu pertandingan harus di Tel Aviv. Mereka tak keberatan jika leg yang semestinya dimainkan di Jakarta dipindah ke tempat netral.
Pada akhirnya, kondisi ini berlarut-larut sampai menjelang pertandingan pada Oktober 1957. FIFA akhirnya menganulir kesertaan Indonesia dengan alasan tak bersedia bertanding dengan Israel sebab persoalan politik.
Sementara Israel kemudian lolos babak kualifikasi tanpa memainkan satu pertandingan pun karena Mesir dan Sudan menolak bertanding melawan mereka. Mereka hanya disyaratkan memainkan dua pertandingan melawan Wales sebagai syarat bahwa peserta Piala Dunia minimal harus dua kali bermain sebelum babak final.
Bagaimanapun, apakah gegara perlu dukungan untuk merebut Papua, atau karena solidaritas terhadap warga Palestina; yang terjadi pada 1957 tersebut menunjukkan bahwa sepak bola bukanlah segalanya. Banyak hal yang jauh lebih penting ketimbang 22 lelaki atau perempuan berebut bola.
Artikel Terkait
Begini Tanggapan Ignasius Jonan Soal Utang Whoosh usai Temui Prabowo
Budi Arie Bantah Projo Singkatan Pro Jokowi, Jejak Digital 2018 Justru Dia Jelas-jelas Ngomong Gitu
Presiden Prabowo Panggil Eks Menhub Ignasius Jonan ke Istana, Bahas Polemik Whoosh?
KPK OTT Gubernur Riau Abdul Wahid